Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERSIAPLAH mengarungi 2018 yang penuh pergulatan. Kepentingan politik elektoral versus akal sehat ekonomi akan terus bergesekan. Di sisi politik, selain pemilihan umum lokal di 171 daerah, pada 10 Agustus 2018 partai-partai sudah harus punya calon presiden dan wakil presiden untuk didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum. Pada Oktober 2018, Indonesia sudah masuk masa kampanye pemilu presiden dan pemilu Dewan Perwakilan Rakyat.
Di sisi ekonomi, bersamaan dengan riuh-rendah kampanye, Indonesia punya agenda besar: menjadi tuan rumah pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia pada 12-14 Oktober 2018 di Bali. Jawara ekonomi dunia akan ramai menyorongkan gagasan agar pasar Indonesia lebih terbuka. Aliran modal tak boleh terhambat. Investasi adalah kunci.
Di mana pun berlangsung, dari Washington, DC, Amerika Serikat, sampai Lima, Peru, pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia selalu marak dengan protes jalanan. Demonstran ramai-ramai mengecam kapitalisme dan bobroknya sistem finansial dunia. Protes ini dari tahun ke tahun kian keras, sejalan dengan menguatnya kecenderungan populisme dan anti -lobalisme di berbagai belahan dunia.
Kampanye pemilu kian menebalkan protes itu. Akan ada inflasi kata "rakyat". Belum lagi jargon yang dengan menggelora memperjuangkan subsidi, swasembada, dan kembalinya pengendalian ekonomi ke tangan negara sebagai manifestasi kemenangan "rakyat".
Tak usah menunggu hingga Oktober. Pada awal 2018, dari presiden, menteri, sampai bupati giat mendorong program bernuansa populis. Pemerintah pusat, misalnya, menyiapkan berbagai subsidi yang nilai totalnya mencapai Rp 172,4 triliun. Bagi-bagi uang berupa transfer ke daerah dan dana desa bahkan mencapai Rp 761,1 triliun.
Untuk membiayai itu semua, mau tak mau pemerintah mematok target penerimaan yang sangat tinggi. Penerimaan perpajakan, misalnya, targetnya Rp 1.609,4 triliun. Mulailah terjadi gesekan kebijakan politik versus akal sehat ekonomi. Apa mungkin target itu tercapai? Bandingkan dengan realisasi penerimaan perpajakan 2017 sebesar Rp 1.339,8 triliun. Di tengah tahun politik yang ingar-bingar, mungkinkah penerimaan perpajakan tumbuh 20 persen?
Contoh lain, jika melihat harga minyak yang kini terus melambung, US$ 68 per barel, dibandingkan dengan asumsi anggaran yang hanya US$ 48, boleh jadi realisasi anggaran subsidi energi Rp 103,4 triliun melambung lebih tinggi. Belum lagi menggelembungnya kerugian Pertamina karena harus menjual Premium dan solar yang harganya tetap dicencang walaupun harga pokoknya melonjak. Kepentingan politik jelas mendiktekan tak ada kenaikan harga ataupun pengurangan subsidi. Tak ada lagi yang peduli bahwa Presiden Joko Widodo pada masa awal pemerintahannya mendapat pujian justru karena keberaniannya mencabut subsidi.
Masih banyak lagi persoalan, dari pengendalian harga bahan pokok sampai pembiayaan proyek infrastruktur yang tak masuk akal. Tak mudah bagi investor meraba hasil akhir pergesekan ini. Sejauh ini, sentimen pasar masih baik kepada Indonesia. Selama 2017, ada tambahan dana investor asing Rp 170 triliun yang masuk membeli obligasi negara. Tahun ini, pemerintah menargetkan menjual surat utang ke pasar Rp 414,7 triliun.
Itulah ironinya. Ekonomi pasar yang selalu menjadi hujatan justru menjadi katup penyelamat. Tapi semua tentu ada batasnya. Ketergantungan yang amat besar pada pasar dapat berbuah malapetaka jika akal sehat ekonomi tergilas habis dalam pergulatan melawan kepentingan politik yang kini dominan berkuasa.
Yopie Hidayat - Kontributor Tempo
Kurs | |
Pembukaan 5 Januari 2018 | 13.405 |
Rp per US$ | 13.362 |
12 Januari 2017 |
IHSG | |
Pembukaan 5 Januari 2018 | 6.279 |
6.391 | |
Pembukaan 12 Januari 2018 |
Inflasi | |
Bulan sebelumnya | 3,3% |
3,61% | |
Desember 2017 YoY |
BI 7-Day Repo Rate | |
4,25% | |
14 November 2017 |
Cadangan Devisa | |
31 Oktober 2017 | US$ 125,967 miliar |
Miliar US$ | 130,196 |
31 Desember 2017 |
Pertumbuhan PDB | |
2016 | 5,05% |
5,4% | |
Target 2018 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo