Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kans Kecipratan Cuan Perdagangan Karbon

Beberapa emiten di sektor usaha ramah lingkungan berpotensi mendapat keuntungan dari hadirnya bursa karbon di Tanah Air.

28 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sektor usaha yang berpotensi kecipratan dampak dari perdagangan karbon tersebut salah satunya adalah emiten energi terbarukan.

  • Investor asing diharapkan semakin banyak masuk ke pasar modal di Tanah Air. 

  • Dampak perdagangan karbon terhadap kinerja emiten yang rendah karbon dan bergerak di energi terbarukan baru sangat terasa pada jangka panjang.

JAKARTA – Hadirnya bursa karbon dalam waktu dekat diperkirakan semakin mendorong minat investor untuk masuk langsung ke emiten-emiten yang mengedepankan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola alias ESG. Sektor usaha yang berpotensi kecipratan dampak dari perdagangan karbon tersebut salah satunya adalah emiten energi terbarukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Bisnis-bisnis yang ramah lingkungan berpotensi mendapat dampak yang cukup baik dari pengembangan bursa karbon," ujar analis Infovesta Utama, Arjun Ajwani, kepada Tempo pada akhir pekan lalu. Ia memperkirakan likuiditas emiten yang bisa memanfaatkan kehadiran bursa tersebut melonjak. Dengan demikian, hal ini akan menjadi daya tarik bagi investor domestik dan asing untuk melirik perusahaan-perusahaan tersebut. 

Awal bulan ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon. OJK menargetkan perdagangan perdana di bursa karbon bisa terselenggara pada 2023. Namun pelaksanaan perdagangan tersebut masih memerlukan sinergi antara sistem informasi bursa dan sistem registrasi karbon nasional. Menyitir Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023, unit karbon yang diperdagangkan wajib lebih dulu terdaftar di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim, selain terdaftar di bursa karbon.

Arjun melihat peluncuran bursa karbon yang direncanakan dilakukan pada September 2023 itu dapat menjadi isyarat bahwa pasar modal di Indonesia mulai bergerak sesuai dengan tren di negara maju. Dengan demikian, investor asing pun diharapkan semakin banyak masuk ke pasar modal di Tanah Air. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kalau kita lihat dari perspektif jangka panjang, secara logika ini akan terjadi bagaimanapun juga, dan bursa karbon akan mendorong emiten energi hijau dan mempercepat proses ini," kata Arjun. Ia mengatakan emiten-emiten energi konvensional pun akan mulai mengurangi lini usaha batu baranya dan meningkatkan portofolio dari sumber energi ramah lingkungan. "Bursa karbon ini akan memberikan perhatian lebih besar kepada emiten tersebut."

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dok. Tempo/Dhemas Reviyanto Atmodjo

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memperkirakan aktivitas perdagangan karbon lewat bursa sekaligus perdagangan primer antar-entitas bisnis di dalam negeri dapat mencapai US$ 1-15 miliar setiap tahun.

Tempo mencatat beberapa emiten telah membukukan pendapatan dari perdagangan kredit karbon sebelum adanya bursa karbon di Tanah Air. PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, misalnya, mencatatkan pendapatan dari kredit karbon sebesar US$ 747 ribu pada 2022. 

Maret lalu, Direktur Keuangan Pertamina Geothermal Energy, Nelwin Aldriansyah, mengatakan pendapatan dari kredit karbon membuktikan bahwa operasional Pertamina Geothermal Energy telah mendapat sertifikasi dari berbagai lembaga karbon kredit sehingga berhak memonetisasi penjualan karbon kredit dari operasional perseroan.

Kinerja Emiten Energi Terbarukan



Perdagangan karbon dilakukan pada unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 megawatt (MW). Perdagangan karbon itu diimplementasikan melalui dua mekanisme, yaitu perdagangan emisi dan offset emisi.

Di samping itu, dalam laporan keuangannya, PT Barito Pacific Tbk menyatakan perseroan berupaya meningkatkan monetisasi karbon kredit yang hasilnya akan diarahkan untuk berinvestasi lebih banyak ke bisnis energi terbarukan. Pada akhir 2022, perseroan mengkonsolidasikan seluruh aset hijaunya di bawah Barito Renewables. Tahun lalu, perseroan membukukan pendapatan US$ 3,57 juta dari penjualan kredit karbon. 

Selain dua perusahaan yang bergerak di pembangkit listrik panas bumi, beberapa perusahaan yang bergerak di energi terbarukan adalah PT Arkora Hydro Tbk (ARKO) dan PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN). Adapun beberapa perusahaan berbasis batu bara, seperti PT Adaro Energy Indonesia Tbk, PT Indika Energy Tbk, dan PT TBS Energi Utama Tbk, belakangan juga mulai memperbanyak portofolio di energi terbarukan.

Petugas memantau "heavy dump truck" di kawasan tambang milik Adaro di Tabalong, Kalimantan Selatan, 2017. ANTARA/Sigid Kurniawan

Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mencatat perdagangan karbon di Indonesia bisa menembus US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.625 triliun per tahun, yang berasal dari kegiatan menanam kembali hutan yang gundul hingga penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Kredit karbon merupakan representasi hak bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).

Kendati demikian, Senior Investment Information Mirae Asset, Nafan Aji Gusta, memperkirakan dampak perdagangan karbon terhadap kinerja emiten yang rendah karbon dan bergerak di energi terbarukan baru sangat terasa pada jangka panjang. Musababnya, para pemodal juga masih menanti implementasi perdagangan karbon tersebut.

"Kalau eksekusinya berjalan lancar, ini akan mampu meningkatkan transaksi perdagangan bursa pada emiten yang berkomitmen mengembangkan EBT," kata dia. "Tentu emiten yang pengelolaannya baik dalam penerapan EBT sejatinya bisa meningkatkan sustainability dari kinerja fundamental perusahaan ke depan."

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, sepakat bahwa sektor-sektor yang sudah mempersiapkan diri untuk mengurangi emisi yang dihasilkan menjadi sektor usaha yang akan diuntungkan dari beroperasinya bursa karbon tersebut. Musababnya, mereka dapat menjual surplus karbon kepada unit usaha lain yang mengalami defisit karbon di dalam bursa. 

Selain itu, sektor-sektor dengan surplus karbon, seperti kehutanan, kemungkinan dapat memanfaatkan bursa karbon ini. "Adapun sektor energi baru terbarukan akan terinsentif lebih dan memacu pengembangan sumber energi tersebut ke depan karena mereka dapat menjual surplus karbon ke bursa, dan hal tersebut menjadi tambahan penghasilan bagi mereka," kata dia.

Meski demikian, Josua mengingatkan bahwa pemerintah perlu mempersiapkan berbagai macam hal untuk menjamin efektivitas bursa karbon ini. Belajar dari pengalaman negara lain, tingkat harga karbon serta sektor yang bergabung ke dalam bursa karbon menjadi beberapa faktor yang menentukan efektivitas bursa karbon tersebut. "Selain itu, diperlukan pengawasan terhadap emisi yang dilaporkan oleh entitas usaha untuk menjamin keberhasilan bursa karbon tersebut," kata dia.

CAESAR AKBAR | VINDRY FLORENTIN | ANTARA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus