Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden terpilih Prabowo Subianto bakal membentuk badan khusus untuk menangani perubahan iklim dan tata niaga karbon. Hal tersebut disampaikan oleh Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Ferry Latuhihin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ferry meyatakan dirinya tengah menggodok draf peraturan pemerintah yang akan menjadi dasar hukum pembentukan lembaga baru tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Nanti akan disahkan, kemungkinan kepala badan perubahan iklim dan tata niaga karbon ini akan ditunjuk setelah Pak Prabowo resmi dilantik sebagai presiden," kata Ferry saat ditemui usai menghadiri diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Kamis, 22 Agustus 2024.
Ferry menjelaskan nomenklatur lembaga baru ini yaitu Badan Pengelola Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Niaga Karbon (BPPPI-TNK). Namun demikian, dia mengatakan nomenklatur tersebut belum final dan masih akan dibahas. "Yang jelas tugasnya adalah sebagai lembaga yang mengkoordinasikan kebijakan mitigasi perubahan iklim dan perdagangan karbon," katanya.
Pembentukan lembaga baru tersebut merupakan implementasi dari salah satu misi Prabowo-Gibran di sektor ekonomi hijau. Ketika resmi dibentuk, badan perubahan iklim dan tata niaga karbon akan bertanggung jawab langsung kepada presiden. "Ini akan sama seperti Badan Gizi Nasional, jadi dibentuk untuk mencapai target dan tujuan tertentu," ujar Ferry.
Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Ferry Latuhihin, saat ditemui usai menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk Menagih Komitmen Ekonomi Hijau dalam RAPBN 2025, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis, 22 Agustus, 2024. TEMPO/Nandito Putra.
Pembentukan lembaga baru ini merespon banyaknya kebijakan kementerian/lembaga yang tidak sejalan dalam penanganan karbon. Dia menilai hal tersebut akan menghambat potensi Indonesia dalam perdagangan karbon di pasar internasional.
Di lain sisi, Ferry mengatakan skema perdagangan karbon selama ini dikendalikan oleh pedagang karbon dari luar negeri. "Dengan adanya badan khusus, maka optimalisasi nilai ekonomi karbon dilakukan dengan membuat peraturan yang mewajibkan pelaku usaha di dalam dan luar negerI menghormati prinsip dasar bahwa karbon adalah kedaulatan negara," katanya.
Pembentukan badan yang mengurusi tata niaga karbon diharapkan bisa mengendalikan volume karbon yang diperdagangkan. Sebab, klaim dia, data karbon yang diperdagangkan saat ini tidak bisa dideteksi.
Dia menjelaskan secara global permintaan kredit karbon diproyeksikan akan tumbuh 632 juta ton pada tahun 2030. "Dan Indonesia memiliki potensi untuk memasok 20 persen dari jumlah tersebut," katanya.
Ferry menambahkan keberadaan lembaga baru ini bisa memperkuat posisi Indonesia secara geopolitik. Selain itu lembaga ini diharapkan bisa mempermudah perorangan atau perusahaan dalam melakukan carbon offset.
Carbon offset merupakan memungkinkan perorangan dan perusahaan untuk berpartisipasi dalam investasi proyek lingkungan global, seperti perlindungan hutan hujan tropis dan ekosistem terumbu karang. Sederhananya, carbon offset adalah penebusan oleh individu atau perusahaan untuk mengurangi karbon di satu lokasi dengan mengkompensasi emisi karbon di lokasi lain.
"Ketika ada lembaga khusus, ini tata kelola dan tata niaga karbon menjadi lebih terarah dan investasinya akan berdampak terhadap masyarakat adat dan pembangunan di kawasan pedesaan," kata Ferry.