Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, menyarankan presiden terpilih Prabowo Subianto memfokuskan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk kebijakan kontra-siklua (counter-cycle policy). Hal ini disebabkan situasi ekonomi global yang masih diliputi ketidakpastian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“APBN yang terbatas seharusnya difokuskan sebagai counter-cycle policy,” ujar Yusuf saat dihubungi melalui aplikasi perpesanan, dikutip Selasa, 25 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yusuf menjelaskan, counter-cycle polcy adalah kebijakan yang ditujukan melawan pelemahan perekonomian dengan cara mendorong belanja pemerintah yang memberikan efek pengganda (multiplier effect) terbesar pada perekonomian. Pengeluaran itu misalnya untuk belanja modal dan transfer pendapatan yang tepat sasaran ke kelompok miskin.
Dengan rasio pajak (tax ratio) yang rendah dan stagnan dalam 10 tahun terakhir, Yusuf menilai APBN tidak memiliki kemewahan ruang gerak fiskal untuk mengakomodasi program-program populis secara berlebihan. Anggaran pemerintah yang terbatas, kata dia, seharusnya lebih diprioritaskan untuk menambah alokasi dana ke pos belanja yang memberi dampak ekonomi yang luas dan berkelanjutan.
Yusuf mengatakan, dengan APBN saat ini, belanja pemerintah pusat sudah dipenuhi beban belanja "terikat” (non-discretionary spending). Belanja terikat itu antara lain gaji ASN, transfer ke daerah dan pembayaran bunga utang pemerintah.
Selanjutnya: Belanja pemerintah pusat yang terbesar, menurut Yusuf, adalah belanja pegawai....
Belanja pemerintah pusat yang terbesar, menurut Yusuf, adalah belanja pegawai. Belanja ini rerata sekitar 21,3 persen dari total belanja pemerintah pusat dalam 10 tahun terakhir. Kebutuhan ini diikuti belanja barang yakni sekitar 21,1 persen dari belanja pemerintah pusat dan pembayaran bunga utang rerata sekitar 17,7 persen dari total belanja pemerintah pusat.
Secara keseluruhan, Yusuf mengatakan rerata belanja terikat sepanjang 2015–2024 mencapai sekitar 60 persen dari total belanja pemerintah pusat. Dengan kata lain, kata dia, hanya tersisa sekitar 40 persen belanja pemerintah pusat untuk belanja infrastruktur dan belanja sosial. "Selama ini pemerintah tidak pernah mampu menekan belanja terikat,” kata dia.
Sementara ruang fiskal yang tersisa untuk discretionary spending, Yusuf mengatakan, selama ini banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur, subsidi energi dan kompensasi energi, serta bantuan sosial. Alokasi untuk subsidi energi dan kompensasi energi diperkirakan mencapai sekitar 16 persen dari total belanja pemerintah pusat.
Selanjutnya untuk pembangunan infrastruktur atau belanja modal, Yusuf mengatakan, rerata menelan sekitar 12,3 persen dari total belanja pemerintah pusat. Sedangkan alokasi belanja untuk rakyat miskin, yaitu belanja sosial, rerata sekitar 7,1 persen dari belanja pemerintah pusat, dan subsidi non energi rerata sekitar 4,5 persen dari total belanja pemerintah pusat.
Bank Dunia atau World Bank sebelumnya memprediksi pertumbuhan ekonomi global bakal stabil di level 2,6 persen pada tahun ini. Pertumbuhan ekonomi global ini terjadi di tengah gejolak ketegangan geopolitik dan tingkat suku bunga tinggi.
Selama dua tahun mendatang, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global bakal berada di bawah rata-rata pertumbuhan pada 2010 di hampir 60 persen negara, yang mewakili lebih dari 80 persen output dan populasi global. Bank Dunia juga memproyeksikan inflasi dunia akan melambat dibandingkan asumsi sebelumnya, yaitu rata-rata 3,5 persen pada 2024.