Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menceritakan peranan ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo dalam membentuk karakternya. Sejak kecil, ia mengatakan ayahnya kerap mengajak berdiskusi. Dari sini, ia belajar nilai dan gagasan dari begawan ekonomi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya banyak menyerap, banyak mendengar (dari Sumitro)," kata eks Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu lewat keterangan tertulis, Senin, 28 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eks Menteri Pertahanan mengenang, Sumitro dahulu memang terkenal kepintarannya. Di zaman penjajahan Belanda, ia mengatakan ayahnya mampu mampu bersaing dan mengalahkan orang-orang Belanda di sekolah. “Dia orangnya sangat pintar ya. Jauh lebih pintar dari saya," ucap Prabowo.
Di mata Prabowo, Soemitro tak hanya seorang guru besar dan pendidik. Ia juga seorang pemimpin politik. Menurut Ketua Umum Partai Gerindra itu, ayahnya juga seorang yang sangat idealis.
Majalah Tempo pernah menerbitkan wawancara eksklusif dengan Sumitro Djojohadikusumo di edisi 04/28, 5 April 1999, berjudul “Saya Bukan Godfather”. Dalam wawancara tersebut, besan dari mantan Presiden Soeharto ini menceritakan kepribadian Prabowo menurut sudut pandangnya.
Guru besar kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, pada 29 Mei 1917 ini mengatakan sifat Prabowo yang arogan dan cenderung temperamental. Bahkan, ia juga membenarkan Prabowo telah menculik sembilan orang aktivis prodemokrasi sebelum Reformasi 1998.
“Dari segi kemanusiaan, penculikan memang tidak bisa diterima. Tapi, dari sudut ketentaraan, ini adalah perintah. Saya sendiri sulit melihatnya dari sudut pandang mana,” ucap Sumitro yang juga menjadi guru bagi beberapa menteri pada masa pemerintahan Soeharto, seperti B.J. Sumarlin, Ali Wardhana, dan Widjojo Nitisastro.
Sumitro pernah menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian serta Menteri Keuangan pada era Presiden Sukarno. Terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera, ia dihadapkan pada tuduhan korupsi oleh Presiden Sukarno.
Setelah pembubaran Partai Sosialis Indonesia pada 1960, karier Sumitro terpengaruh dan membuatnya harus hidup berpindah-pindah bersama keluarganya hingga masa Orde Baru.
Setelah pengasingan selama era Sukarno, Sumitro kembali ke Indonesia pada pemerintahan Presiden Soeharto. Ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan (1968-1972) dan Menteri Negara Riset (1972-1978).
Sumitro Djojohadikusumo meninggal pada 9 Maret 2001, di usia 84 tahun, di Rumah Sakit Dharma Nugraha, Rawamangun, Jakarta Timur. Sesuai wasiatnya, jenazahnya disemayamkan secara sederhana di kediamannya di Jalan Metro Kencana IV/22, Pondok Indah, Jakarta Selatan, dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak Blok A III.