Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sulit Meningkat karena Minim Peremajaan

Ekspor CPO tahun ini diperkirakan turun gara-gara peningkatan kebutuhan domestik yang tidak diimbangi dengan kenaikan produksi. 

26 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perusahaan dan petani terlambat meremajakan tanaman sawit.

  • Program biodiesel B35 meningkatkan permintaan minyak sawit.

  • Mahal dan langkanya pupuk ikut menghambat peremajaan.

JAKARTA — Ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya diperkirakan kembali turun pada tahun ini gara-gara peningkatan kebutuhan domestik yang tidak dibarengi dengan kenaikan produksi. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebutkan, produksi sawit cenderung stagnan sepanjang tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Bisa naik atau turun, tapi sedikit. Cenderung flat," ujar Ketua Umum Gapki Joko Supriyono, Rabu, 25 Januari 2023. Ia menuturkan, volume produksi diperkirakan stagnan karena pengusaha dan petani telat meremajakan atau replanting tanaman sawitnya. Di sisi lain, mereka juga mengurangi pupuk karena harganya yang melambung, sehingga akan berpengaruh pada jumlah produksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebaliknya, permintaan minyak sawit dalam negeri diperkirakan naik seiring dengan pencanangan program biodiesel B35 pada tahun ini. Program produksi biodiesel sebanyak 13 juta kiloliter diprediksi membutuhkan 9,5 juta ton minyak sawit, yang berarti bertambah 1,5 juta ton dari kebutuhan tahun lalu. Akibatnya jelas, jatah minyak sawit untuk ekspor pun bakal berkurang.

"Pengusaha bisa menaikkan produksi, tapi perlu replanting," ujar Joko. Gapki mencatat bahwa harga yang menjulang tinggi pada 2022 membuat banyak pekebun menunda replanting. Buntutnya, porsi tanaman tua, yang produktivitasnya telah turun, menjadi lebih besar.

Ia mengatakan, cara paling signifikan untuk meningkatkan produktivitas adalah peremajaan tanaman. Musababnya, berbagai upaya memperbaiki tanaman tua, misalnya dengan agronomi dan pupuk, tetap tidak akan signifikan mendongkrak produktivitas. Meski demikian, pelaksanaan replanting  tidak maksimum. Peremajaan sawit petani yang targetnya 500 ribu hektare hanya terlaksana di bawah 200 ribu hektare. Sementara itu, kuantitas replanting perusahaan pun masih di bawah 5 persen.

Pada 2022, produksi CPO di Tanah Air hanya sebesar 46,73 juta ton. Angka tersebut turun tipis dari produksi  2021 yang sebesar 46,89 juta ton. Gapki melaporkan bahwa tren penurunan produksi sawit sudah terjadi selama empat tahun berturut-turut. Sementara itu, konsumsi dalam negeri pada 2022 mencapai 20,97 juta ton atau tumbuh 13,82 persen dari 2021. “Akibatnya, ekspor sepanjang tahun lalu pun turun 8,5 persen; dari 33,67 juta ton menjadi 30,8 juta ton.”

Di samping telatnya replanting, Joko mengatakan, beberapa situasi yang akan mempengaruhi kinerja industri sawit Indonesia pada 2022 antara lain cuaca ekstrem basah, mahal dan langkanya pupuk, hingga pelarangan ekspor yang menyebabkan petani tidak memanen buahnya karena tingginya stok. "Berdasarkan laju pertumbuhan produksi dan konsumsi, faktor-faktor penghambat pertumbuhan produksi harus segera diatasi," ujar dia.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Medali Emas Manurung menuturkan, sumbangan CPO dari petani pada 2021 hanya 26 persen. Angka tersebut jauh dari target awal 42 persen. Memasuki 2022, angka produksi sawit petani memburuk. Saat ini, kontribusi CPO petani terhadap total produksi mencapai 23 persen. "Pada 2023 ini, produktivitas kami perkirakan turun sampai 15 persen. Persoalannya, harga pupuk naik 300 persen, tapi harga TBS (tandan buah segar) turun," ujar Gulat.

Gulat mengatakan, harga pupuk melambung dari Rp 300 ribu menjadi Rp 1 juta per sak tahun lalu. Para petani sawit mau tidak mau tetap membeli pupuk karena sektor perkebunan tidak mendapatkan jatah pupuk bersubsidi. Sebagai catatan, hingga saat ini, harga pokok produksi tanaman sawit mencapai Rp 2.250 per kilogram, sementara harga TBS petani swadaya hanya berkisar Rp 1.800-2.000 per kilogram. Adapun harga TBS petani bermitra Rp 2.250-2.500 per kilogram.

Hambatan Perdagangan

Pekerja memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit ke dalam perahu bermesin di perkebunan kelapa sawit, Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, 20 Januari 2022. ANTARA/Bayu Pratama S

Selain produktivitas, isu lain yang membayangi industri kelapa sawit pada 2023 adalah hambatan perdagangan di pasar global sebagai dampak dikeluarkannya Undang-Undang Deforestasi di Uni Eropa. Persoalan tersebut pun membuat Malaysia mengajak Indonesia menyetop ekspor ke Uni Eropa.

Kepala Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit Marselinus Andry khawatir, jika ajakan untuk stop ekspor diterima Indonesia, akan berpengaruh pada harga. "Berkaca pada pengalaman lalu, ketika ekspor disetop, harga TBS petani merosot," ujar dia.

Sementara itu, harga CPO untuk pasar Uni Eropa lebih tinggi dan diminati sebagai pasar ekspor CPO oleh perusahaan. Di sisi lain, penyerapan dalam negeri juga belum mampu menaikkan harga secara signifikan, terutama harga TBS di petani.

Atas kekhawatiran tersebut, pelaksana tugas Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, Sahat Sinaga, meyakini Indonesia tidak akan kehilangan pasar sawit kendati ekspor ke Uni Eropa terhambat. Ia melihat peluang Cina, Pakistan, dan negara-negara lain di Asia Tengah sebagai pasar alternatif untuk sawit Indonesia.

Berdasarkan data Gapki, ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa mencapai 3,76 juta ton pada Januari hingga November 2022. Angka tersebut turun dari 4,39 juta ton dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Selain Uni Eropa, beberapa pasar besar sawit Indonesia adalah Cina, India, Pakistan, Timur Tengah, Amerika Serikat, dan Bangladesh.

Ihwal perkara dengan Uni Eropa itu, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono menyarankan Indonesia tidak mengikuti langkah Malaysia yang hendak menghentikan ekspor ke negara-negara Eropa. Musababnya, saat ini Indonesia sedang memiliki banyak konflik dagang, seperti larangan ekspor nikel, yang akan diikuti dengan larangan ekspor bauksit dan tembaga.

"Sebaiknya Indonesia tidak menambah konflik dengan negara lain, terlebih pada masa krisis global di mana setiap peluang pasar berharga. Uni Eropa adalah salah satu pasar terbesar ekspor CPO kita," kata dia. Yusuf menambahkan, larangan ekspor CPO yang sempat diberlakukan pada tahun lalu telah membuat harga TBS di tingkat petani  anjlok.  

CAESAR AKBAR

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus