Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengumumkan nama lima obat sirup yang ditarik peredarannya. Kelima obat itu ditarik karena mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang melebihi ambang batas aman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dari penelusuran BPOM ditemukan bahwa mayoritas obat sirup yang beredar di masyarakat saat ini dalam kategori aman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Adapun hal tersebut disimpulkan usai pengujian BPOM dengan acuan Farmakope Indonesia dan acuan lain yang sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai standar baku nasional untuk jaminan mutu semua obat yang beredar.
Kelima obat sirup yang ditarik peredarannya adalah:
1. Termorex Sirup (obat demam), produksi PT Konimex dengan nomor izin edar DBL7813003537A1, kemasan dus, botol plastik @60 ml.
2. Flurin DMP Sirup (obat batuk dan flu), produksi PT Yarindo Farmatama dengan nomor izin edar DTL0332708637A1, kemasan dus, botol plastik @60 ml.
3. Unibebi Cough Sirup (obat batuk dan flu), produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DTL7226303037A1, kemasan Dus, Botol Plastik @ 60 ml.
4. Unibebi Demam Sirup (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DBL8726301237A1, kemasan Dus, Botol @ 60 ml.
5. Unibebi Demam Drops (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DBL1926303336A1, kemasan Dus, Botol @ 15 ml.
Selanjutnya: Profil tiga perusahaan yang disebut BPOM memproduksi lima obat sirup.
Dari kelima obat sirup itu terdapat tiga perusahaan yang memproduksinya, yakni: PT Konimex, PT Yarindo Farmatama dan Universal Pharmaceutical Industries. Seperti apa profil tiga perusahaan tersebut?
PT Konimex
PT Konimex PT Konimex merupakan salah satu perusahaan farmasi nasional yang berfokus pada usaha perdagangan bahan kimia, alat laboratorium, dan alat kedokteran. Perusahaan ini didirikan oleh Djoenaedi Joesoef pada 8 Juni 1967. Situs Majalah Forbes pada 10 Desember 2020 mencatat Djoenaedi Joesoef berada di urutan ke-100 orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaan US$ 360 juta.
Sebelum didirikan menjadi perusahaan pada tahun 1967, Djoenaedi telah merintis usaha farmasi sejak tahun 1949. Melalui dukungan dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang diterima perusahaan sejak tahun 1971, perusahaan kemudian mulai memproduksi obat-obatan secara independen. Pada tahun tersebut, Konimex menjadi pelopor produsen obat kemasan praktis catch-cover isi 4 tablet.
Dikutip dari situs resminya, https://www.konimex.com/, disebutkan Konimex pada tahun 1980 memulai diversifikasi usaha ke industri kembang gula dengan mendirikan NIMM’s dan PT Sinar Intermark sebagai distributor untuk memastikan ketersediaan produk di seluruh Indonesia. Berikutnya, pada tahun 1982, Konimex mendirikan pabrik baru di Sanggrahan, Sukoharjo sebagai pusat produksi demi menjamin standar kualitas yang sama.
Memasuki tahun 1986, Konimex mendirikan distributor kedua, PT Marga Nusantara Jaya seiring dengan peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah terkait dengan pemisahan produsen dan distributor. Untuk mengembangkan bisnis makanannya, Konimex juga mulai membangun pabrik biskuit yang berlabel Sobisco pada tahun 1994.
Seiring perkembangan produk dan target pasar dari tahun ke tahun, perusahaan distributor tersebut semakin memperluas jaringannya. Dari 33 cabang pada tahun 1992, bertumbuh menjadi 56 cabang pada tahun 2017, serta didukung armada kendaraan dan ribuan staf yang merentang dari Banda Aceh hingga Jayapura.
Setelah seluruh pelosok Indonesia terlayani, Konimex semakin melebarkan sayapnya dengan melakukan penetrasi ke pasar internasional, seperti Singapura, Malaysia, Myanmar, Kamboja, Vietnam, dan bahkan ke kawasan Timur Tengah, yaitu Saudi Arabia. Konimex menghasilkan berbagai macam produk yang sejalan dengan bidangnya, yaitu seperti produk-produk farmasi, consumer goods, hingga produk ekstra bahan alami.
Universal Pharmaceutical Industries
Sedangkan Universal Pharmaceutical Industries adalah perusahaan obat yang berlokasi di Tanjung Mulia, Medan, Sumatera Utara. Dari penelusuran Tempo, perusahaan ini diketahui tidak memiliki website resmi dalam bahasa Indonesia. Adapun laman resmi dengan nama Universal Pharmaceutical Industries diketahui berasal dari Suriah.
Selanjutnya: PT Universal Pharmaceutical Industries didirikan pada tahun 1975.
Dilansir dari Laporan Kerja Praktek yang dilakukan oleh Chairunnisya Arief, Ratna Aurora, Sumantri S, dan Yunita, tertulis bahwa PT Universal Pharmaceutical Industries didirikan pada tahun 1975 dan mendapat sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik pada tahun 1995.
Adapun bentuk sediaan yang telah diproduksi sampai saat ini terdiri dari tujuh jenis yaitu: Tablet, Kaplet seperti Antasida dan Antalgin, Kapsul sperti Paracetamol, Cairan Oral seperti Unicyclin dan Uniphenicol, Suspensi seperti New Baby’s Cough, Cairan Obat Luar seperti Unidine, dan Cairan steril obat tetes mata seperti Takarajima.
Oleh karena Universal Pharmaceutical Industries tak punya situs resmi, informasi yang didapatkan tentang perusahaan ini tergolong minim.
PT Yarindo Farmatama
PT Yarindo Farmatama merupakan perusahaan farmasi yang berlokasi di Jakarta Pusat. Sama seperti Universal Pharmaceutical Industries, PT Yarindo Farmatama tidak memiliki laman resmi yang memuat informasi terkait perusahaan tersebut.
Dilansir dari penelitian H Ristiantoro berjudul “Sistem Informasi Monitoring Distribusi Obat” yang ditulis tahun 2018, disebutkan PT Yarindo Farmatama memilki kendala di antaranya tidak ada perencanaan yang mengatur tentang jadwal dan rute pengiriman dan kurangnya informasi wilayah pendistribusian.
Selain itu, jumlah persediaan yang dibawa oleh petugas distribusi tidak sesuai dengan jumlah kebutuhan penerima barang karena tidak adanya pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai berapa jumlah persediaan untuk setiap kali pengiriman, pendataan persediaan obat yang belum terintegasi.
Dalam melakukan pemesanan ke agen perusahaan itu bisa menggunakan telepon dan tidak ada pendataan lebih lanjut mengenai pesanan tersebut. Selain itu pemesanan bisa dilakukan lewat agen, tapi monitoring stok obat pada bagian gudang saat ini diakui masih kurang. Hal ini punya yang kemudian menyebabkan lambatnya komfirmasi kepada agen mengenai ketersediaan obat.
DEFARA DHANYA PARAMITHA
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini