Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Paguyuban Pedagang Warung Tegal dan Kaki Lima se-Jakarta dan Sekitarnya (Pandawakarta) program konversi kompor gas ke kompor listrik yang tengah diujicobakan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perwakilan paguyuban, Hendri Prayogi, menyebut konversi tersebut justru membawa kerugian. Pasalnya, penggunaan kompor listrik akan merepotkan masyarakat yang terbiasa memasak dengan cepat dan butuh tingkat panas tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kompor listrik satu tungku, menurut dia, juga bakal menyulitkan pengguna yang terbiasa masak dengan kuantitas banyak dan berbagai macam menu. “Ini akan menyulitkan masyarakat untuk usaha dagang,” ujar pria yang akrab disapa Yogi kepada Tempo, Senin, 26 September 2022. "Kami dari kelompok pedagang warung makan dan kaki lima menolak kebijakan konversi ini."
Bahkan, kata Yogi, program migrasi ke kompor listrik akan membawa bencana ekonomi bagi masyarakat kelas bawah. Sebabm dari hitungannya, daya listrik pengguna bakal naik dari saat ini 450 VA. “Ini secara otomatis daya listrik jauh lebih boros dan mahal biaya tagihannya,” ujar Yogi.
Selain itu, menurut dia, konversi ke kompor listrik belum tentu akan mengurangi pengeluaran masyarakat. Apalagi mayoritas bahan baku listrik yang digunakan PLN saat ini adalah batu bara yang harganya fluktuatif mengikuti harga acuan global.
Sementara itu Ketua Koordinator Warteg Nusantara (Kowantara), Mukroni, mengatakan konversi kompor listrik tidak bisa mereka lakukan secara instan. Mukroni mengaku butuh waktu untuk melakukan persiapan. “Ini lagi dikaji dengan teman-teman pengurus dan paguyuban lainnya. Mungkin butuh waktu tiga sampai lima tahun lagi,” kata Mukroni kepada Tempo.
Selanjutnya: Kompor listrik tak bisa digunakan untuk semua jenis alat masak.
Mukroni menyebut kompor listrik dengan daya 1.000 watt sulit diterapkan di warteg. Sebab, kebanyakan warteg menggunakan listrik dengan daya di bawah 1.3000 watt. Sementara penggunaan listriknya beragam, misalnya untuk kulkas, kipas angin, blender.
Belum siapnya warteg untuk buru-buru bermigrasi ke kompor listrik, kata Mukroni, juga disebabkan harga kompor listrik yang lebih mahal daripada kompor gas. Sehingga, migrasi secara tiba-tiba bisa menjadi beban. Apalagi jika kondisi ekonomi masih belum sepenuhnya pulih setelah pandemi Covid-19.
“Kompor listrik juga nggak bisa digunakan untuk semua jenis alat masak, dan hanya beroperasi bila menggunakan alat masak yang terbuat dari baja tahan karat atau besi. Ini tentunya merepotkan warteg,” kata dia.
Adapun Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan pemerintah belum memiliki keputusan apapun untuk menerapkan program konversi dari kompor LPG 3 kilogram menjadi kompor listrik induksi. Dia juga memastikan, program ini tidak akan diberlakukan pada tahun ini.
Sampai saat ini, lanjut Airlangga, pembahasan anggaran untuk pelaksanaan program konversi ini juga belum ada pembicaraan apapun dengan DPR RI. "Dapat saya sampaikan bahwa pemerintah belum memutuskan terkait prpgram konversi kompor LPG 3 kilogram menjadi kompor listrik industri," kata Airlangga saat konferensi pers secara virtual, Jumat, 23 September 2022.
RIRI RAHAYU | ARRIJAL RACHMAN
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.