Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Transportasi Perkotaan dari Universitas Lampung Aleksander Purba menanggapi soal pengembangan kereta cepat lokal atau proyek Kereta Cepat Merah Putih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek itu merupakan pengembangan rancang bangun dan prototipe kereta cepat hasil kolaborasi antara Departemen Desain Produk Industri Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), PT Industri Kereta Api (Persero) atau PT INKA, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Terus terang saya baru mengetahui Kereta Cepat Merah Putih,” ujar Aleksander saat dihubungi pada Senin, 9 Oktober 2023.
Menurut Aleksander, pengembangan kereta cepat tidak mudah dan tidak murah, karena teknologi kereta cepat belum terlalu lama. Jepang, kata dia, yang merupakan pionir kereta cepat memulainya pada 1964, dikenal dengan Tokaido Shinkansen dan masih terus mengembangkannya hingga saat ini.
Dia juga mengaku belum pernah mendengar Indonesia sudah atau sedang mengembangkan kereta berkecepatan 250 kilometer per jam, sebagai standar minimum kereta cepat. Namun, Aleksander mengatakan kajian kereta cepat di mana saja biasanya dilakukan bertahap.
“Saya berpendapat kereta dengan kecepatan 150 kilometer per jam sudah sangat mumpuni dan tidak terlalu mahal. Setidaknya tidak semahal Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Kereta Cepat Whoosh,” tutur Aleksander.
Selain itu, Aleksander juga belum mengetahui kemampuan dari PT INKA soal produksi kereta cepat. Namun, dia berujar, jika hal itu benar-benar terwujud, tentu akan menjadi sebuah lompatan yang luar biasa.
“Saya tidak merendahkan kemampuan sumber daya manusia lokal, namun lebih karena terbatasnya informasi bahwa beberapa lembaga berkolaborasi mengembangkan Kereta Cepat Merah Putih,” kata Aleksander.
Sebelumnya, Ketua Tim Peneliti Rancang Bangun dan Prototipe Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Agus Windharto mengungkap proses pengembangan rancang bangun dan prototipe Kereta Cepat Merah Putih itu.
Dosen Departemen Desain Produk Industri ITS mengatakan hal itu dimulai pada 2019. Saat itu dia mendapatkan Pendanaan Riset Inovatif Produktif (Rispro) dari LPDP untuk melakukan rancang bangun dan prototyping kereta cepat Indonesia.
Pendanaannya diberikan selama tiga tahun, dan baru berhasil di tahun 2022. Nilainya sebesar Rp 4,895 miliar. “Namun karena ada Covid-19 kita sempat diperpanjang dan sekarang sudah selesai dari sisi lini kemudi yaitu mulai dari ujung depan sampai ujung belakang, bagian luar dan bagian dalam,” ujar dia dikutip dari akun YouTube LPDP RI, kemarin.
Dalam video berdurasi lima menit dua detik itu, diperlihatkan rancang bangun dan prototipe kereta cepat. Lingkup riset ini termasuk pengerjaan desain envelope cabin dan kokpit. Juga studi human factors engineering dan ergonomis, pengujian aerodinamis, serta perancangan dan pengujian struktur carbody.
Menurut Agus, dari sisi teknologi jika melihat kecepatan, selama ini perkeretaapian Indonesia kecepatannya antara 80-120 kilometer per jam. Sehingga, jika melihat rute Jakarta-Surabaya dengan Argo Bromo Anggrek sebelumnya 12-13 jam, kini bisa ditempuh dengan 8 jam. Namun, dengan kereta cepat ini seandainya diimplementasikan waktu tempuhnya hanya 3 jam 40 menit.
“Puncak dari suatu industri perkeretaapian itu adalah ketika dia bisa membuat dan merancang kereta cepat,” kata Agus.
Jadi, dia berujar, dengan kereta cepat yang digarapnya itu, akan terjadi akselerasi penguasaan teknologi, baik di pihak perguruan tinggi sebagai peneliti, BRIN sebagai mitra penelitian lembaga riset dan pengujian, serta PT INKA sebagai manufaktur. Sehingga, kata Agus, Indonesia akan memiliki lompatan teknologi dengan masuk ke domain kereta cepat ini.
Saat ini, riset rancang bangun dan prototipe Kereta Cepat Merah Putih telah melalui serangkaian tahap analisis dan uji digital yang siap dilanjutkan dengan proses produksi fisik. Biaya produksi untuk dua carbody kereta cepat ini diperkirakan tidak kurang dari Rp 80 miliar. Adapun proses produksi dilakukan oleh PT INKA di Madiun, Jawa Timur, yang ditargetkan rampung pada 2025 dan melalui uji coba sistem pada 2026.