Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Juru Bicara Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP Eri Satriana menyatakan pertambangan tanpa izin di wilayah operasi PT Timah (Persero) Tbk. mendapat perhatian besar oleh pihaknya. Pasalnya, ada potensi kerugian negara sebesar Rp 2,5 triliun yang dimbulkan kegiatan ilegal tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Apalagi, menurut Eri, kerugian PT Timah tersebut berasal dari praktik kegiatan pertambangan tanpa izin terjadi di wilayahnya sebagai pemegang izin usaha pertambangan dan sumber daya timah yang besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Oleh karena itu, BPKP menekankan perlunya perbaikan tata kelola pertimahan yang dimulai dari audit terlebih dahulu. Dalam mengaudit hal tersebut, BPKP perlu menerima data dan dokumen yang menjadi bahan audit. “Hingga saat ini kami belum menerima permintaan audit dari pihak terkait,” kata Eri dalam keterangan resmi, Sabtu, 6 Agustus 2022.
Setelah itu, menurut dia, perlu dilakukan penundaan rencana kerja dan anggaran biaya atau RKAB sektor pertambangan timah sambil menunggu hasil audit dilakukan. Hal ini bergantung pada hasil audit yang dilakukan. “Tentunya, hal tersebut di atas akan dapat dijawab setelah dilakukan proses audit yang dilakukan oleh para auditor BPKP,” ucapnya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ridwan Djamaluddin sebelumnya menyatakan bakal melibatkan BPKP dalam mengaudit seluruh tata kelola timah. "Tata kelola timah kita belum ideal, pemerintah kemarin dalam rapat menugaskan BPKP untuk melakukan audit terhadap tata kelola timah," katanya pada akhir Juli lalu.
Langkah tersebut, menurut Ridwan, merupakan bukti pemerintah hadir untuk memperhatikan industri tambang timah. Dengan begitu diharapkan sejumlah masalah di sektor tambang timah bisa segera diselesaikan.
"Secara sederhana dalam rapat kami juga mengeluarkan surat edaran per 1 Juli 2022 untuk semua smelter harus melaporkan sumber timahnya. Artinya ini adalah bentuk penguasaan yang ingin kita wujudkan dalam waktu dekat," ujarnya.
Dengan adanya pelaporan, kata Ridwan, bisa dilakukan pemantauan alur distribusi dari hulu-hilir. Pemerintah akan mengintegrasikannya dengan sistem informasi batu bara dan mineral (SIMBARA) yang telah dimiliki.
Timah nantinya akan termasuk dalam sistem tersebut. Harapannya adalah aga pemantauan akan lebih detail dengan adanya digitalisasi yang dilakukan.
Pemerintah juga diminta untuk menyatakan status timah sebagai mineral kritis, dari sebelumnya mineral logam yang menjadi salah satu bahan baku industri strategis.
Tujuannya memberikan perhatian lebih terhadap mineral timah yang keterdapatannya cukup terbatas dan belum ada penggantinya yang bernilai ekonomis. Selain itu, agar memberikan manfaat lebih terhadap negara, daerah dan masyarakat.
Menurut Ridwan, liberalisasi tata kelola timah ini telah menimbulkan dampak seperti saat ini, satu sisi bagus, perusahaan swasta meningkat, pembukaan kerja juga meningkat. "Namun, sebagaimana dalam bisnis yang berjalan selalu ada dampak negatifnya."
Oeh sebab itu, Ridwan kembali menyebutkan fair competition dalam bisnis timah dan dukungan penegakan aturan secara tegas dan disiplin diperlukan untuk mengurangi dampak-dampak negatif yang muncul.
BISNIS
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.