Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ragu-ragu di Smelter Nikel

Pertumbuhan pembangunan fasilitas industri pengolahan dan pemurnian nikel dalam dua tahun terakhir melambat. Apa penyebabnya?

23 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perlambatan perekonomian global membuat pengusaha smelter ragu-ragu mengambil keputusan.

  • Ketidakpastian kebijakan membuat invesor asing enggan menggarap proyek smelter nikel.

  • Harga nikel dunia akan mengalami penurunan dengan tren melandai.

JAKARTA — Pembangunan fasilitas industri pengolahan dan pemurnian atau smelter nikel dalam dua tahun terakhir tak lagi gencar seperti sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan smelter ini disebabkan oleh kondisi perekonomian global dan domestik yang melambat. Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Haykal Hubeis mengatakan kondisi itu membuat investor ragu-ragu mengambil keputusan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain faktor perekonomian, sejumlah faktor domestik turut mempengaruhi perlambatan pembangunan smelter. Faktor-faktor itu, kata Haykal, di antaranya soal ketidakpastian iklim usaha, sulitnya proses perizinan, serta banyaknya aturan yang berubah. "Kalau smelter yang baru, ada satu-dua yang berencana berinvestasi, tapi itu juga masih kajian," katanya kepada Tempo, Senin, 22 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Haykal juga mengeluhkan lamanya mengurus legalitas proyek smelter, yang membuat RKAB atau rencana kerja dan anggaran biaya proyek membengkak. Kondisi ini berujung pada sulitnya pelaku usaha memperoleh bahan mentah. Akibat kondisi tersebut, pengusaha smelter lebih memilih meningkatkan kapasitas dan produksi.  

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Djoko Widajatno justru menilai saat ini pembangunan smelter nikel terlalu agresif. Hal itu lantaran, pada 2019, pemerintah gencar mengobral program penghiliran atau kerap disebut hilirisasi, yang membuat pengusaha berlomba-lomba membangun smelter. Hasilnya, saat ini setidaknya ada 54 smelter nikel yang telah beroperasi, dengan rincian 49 smelter berteknologi pirometalurgi dan lima smelter berteknologi hidrometalurgi. 

Smelter nikel, kata Djoko, diminati investor karena memiliki pasar, stok bahan baku, dan harga nikel yang menarik. Dengan kondisi tersebut, investor pun dapat balik modal hanya dalam waktu tiga tahunan karena pasokan nikelnya berlimpah. Karena itu, Djoko menyarankan pemerintah membatasi pembangunan smelter agar pasokan nikel tidak cepat habis. “Tidak bisa cadangan yang terbatas dihambur-hamburkan. Kalau habis, masak kita mengimpor nikel? Kita enggak sempat bikin baterai kendaraan listrik sendiri.”

Kawasan industri berbasis nikel Indonesia Morowali Industrial Park atau PT IMIP di Kecamatan Bahodopi, Sulawesi Tengah, 31 Desember 2023. ANTARA/Mohamad Hamzah

Penyebab Investasi Smelter Gagal 

Sementara itu, Haykal Hubeis mendapati tak sedikit investor asing batal menggarap proyek smelter nikel. Padahal mereka sudah menghabiskan banyak waktu, dana, dan kajian riset. “Proses mereka lama, termasuk menunggu partner lokal, due diligence lanjutan, tapi ujungnya tidak jadi,” katanya. Penyebab gagalnya investasi tersebut, kata dia, biasanya akibat ketidakpastian kebijakan ataupun ketidakpastian kontinuitas suplai bahan baku. 

Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak mengatakan faktor utama yang menyebabkan proyek smelter gagal adalah belum terpenuhinya aspek keekonomian proyek, yakni rendahnya nilai tambah, padahal biaya produksinya tinggi. Dia mencatat, akibat faktor ini, banyak rencana smelter nikel pirometalurgi yang ditunda dan dibatalkan.

Karena itu dia menyarankan pemerintah menyusun kembali cetak biru program penghiliran dan membuat peta jalan yang lebih jelas serta terarah untuk beberapa tahun mendatang. Pasalnya, program penghiliran pemerintah hanya meningkatkan nilai tambah bahan setengah jadi, yang baru di level tengah (mid-stream). Penghiliran nikel, kata dia, baru akan memberikan nilai tambah lebih jika prosesnya berujung hingga ke hilir (down-stream) dan memiliki rantai pasok yang tertata dengan baik.

Indikator keberhasilan program penghiliran adalah menghasilkan produk akhir (end-product), seperti baterai, produk elektronik, serta manufaktur. Achyak menyebutkan program pemerintah Jokowi sebagai penghiliran semu. “Lebih tepat disebut ‘tengahisasi’ yang nilai tambahnya sangat kecil. Hebohnya saja yang besar dan dibesarkan-besarkan,” katanya. Dia mencontohkan, pertambangan nikel di Sulawesi Tengah memang mendorong perekonomian daerah tersebut tumbuh 13 persen. Tapi pendapatan rakyatnya tetap rendah. Sebagai informasi, upah minimum provinsi (UMP) Sulawesi Tengah pada 2024 hanya naik 5,28 persen atau Rp 137.152 menjadi Rp 2.736.698.

Tujuan Penghiliran

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menuturkan hanya ada dua tujuan penghiliran, yakni menciptakan nilai tambah dan ekosistem industri dari hulu hingga hilir. Dia mengatakan pengolahan bijih nikel di dalam negeri kini masih dalam tahap awal. Saat ini, smelter yang beroperasi menghasilkan nickel pig iron, feronikel, dan nickel matte. Menurut dia, proyek penghiliran nikel sebagian besar dinikmati Cina selaku pemilik smelter karena produk tersebut diekspor ke Negeri Panda. 

Pemerintah, kata Fahmi, juga gagal menciptakan ekosistem industri karena baru sebatas menciptakan produk dengan nilai tambah rendah atau produk turunan level dua. Kapasitas untuk mengolah hasil smelter menjadi produk turunan, seperti baja slab, HRC, CRC, dan baterai kendaraan listrik, di Indonesia masih terbatas, bahkan belum tersedia.  “Ada benarnya ungkapan penghiliran ugal-ugalan karena yang dihasilkan baru kenaikan ekspor dan kerusakan lingkungan yang parah.”

Saat ini penambang lokal pun tidak memiliki pilihan selain menjual nikel dengan harga yang ditentukan pemilik smelter, yang didominasi investor Cina. Harga nikel yang ditawarkan, kata dia, kerap di bawah harga internasional. Karena itu dia berharap pemerintah mengajak para pengusaha lokal membentuk konsorsium smelter. Tujuannya agar pengusaha lokal mempunyai daya tawar dalam menjual hasil tambang ataupun memutuskan membuat produk turunan dari nikel.

Adapun Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyoroti pembangunan fasilitas industri pengolahan dan pemurnian tersebut belum banyak dinikmati daerah tempat lokasi smelter. Dia menuturkan beberapa pemerintah daerah melaporkan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan asli daerah jauh dari rencana awal proyek. “Ada keluhan dari daerah penghasil,” katanya. 

ALI AKHMAD NOOR HIDAYAT

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus