Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rajawali, goyang sendiri Garuda: benarkah mereka mengeluh ?

Aksi "tidak terbang" para pilot garuda sudah reda. penyebab resah mereka belum tuntas. kisah terjadi sejumlah pilot menjumpai tuntutan ke dpr dan kesibukan berbagai pihak untuk mengatasinya. (eb)

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DERETAN pesawat jet itu tak lagi berjajar bagaikan parade perabot di hanggar-hanggar pelabuhan udara Kemayoran. Satu per satu, sejak malam Minggu lalu, sejumlah DC-9 dan F-28 mulai ditarik menuju apron pelabuhan. Tadinya hanggar, yang biasanya sepi pesawat, sampai Sabtu pagi 2 Februari masih dihuni sekitar 28 burung-burung besar itu: duapuluh tiga DC-9 dan lima F-28. Tapi setelah empat malam parkir, mulai Minggu pagi sebanyak 26 pesawat tadi sudah saling beterbangan, lepas landas pelabuhan udara Kemayoran. Itu pertanda aksi tak-mau-terbang para pilot Garuda berakhir. "Kami menyadari bahwa hal itu tak bisa berlarut-larut. Dengan suatu kesadaran dan tekad yang bulat, kami menyatakan siap terbang." Begitu bunyi pernyataan para penerbang Garuda, yang mereka buat Sabtu malam di kompleks perumahan GIA di Jl. Pluit Murni V, Jakarta Utara, salah satu 'markas' mereka. Rupanya untuk tiba pada suatu keputusan siap terbang memang tak mudah. "Ini merupakan suatu keputusan yang berat," kata Kapten Pilot Djalmo Santoso kepada rF.MPO. Djalmo, yang siangnya menemui Pangdam V Jaya Mayjen Norman Sasono, menyatakan kekhawatiran "kalau-kalau kami semula dianggap sudah mengkhianati teman-teman penerbang yang dipecat," katanya. Seperti diketahui, penerbang Garuda yang dipecat itu adalah Iwan Hernawan, Ari Darjata Singgih, dan Gatot Purwoko (ketiganya kapten pilot F-28). Sementara Sri Soebekti, kapten pilot DC-9 yang baru bekerja 14 tahun, tiba-tiba dipensiun. Mereka, melalui secarik surat keputusan direksi Garuda yang ditandaatangani Soesetio, kepala biro personalia, diputuskan hubungan kerjanya, tanpa mereka sendiri merasa jelas apa sebabnya. Maka 2 Februari lepas maghrib, di markas Pluit Murni sebanyak 247 penerbang -- baik F-28, DC-9 dan ko pilot DC-10 -- berdebat seru: Sudahkah waktunya mengakhiri masa tidak terbang? Kompromi akhirnya tercapai, lewat voting. Hasilnya, sebanyak 127 pilot menyatakan "setuju" untuk terbang lagi, dan selebihnya, sejumlah 120 pilot menyatakan "tidak". Tak ada yang blangko. Selisih suara itu tipis. Tapi setidaknya, seperti dikatakan seorang pilot senior, itulah cara yang paling baik untuk menjaga kekompakan. Juga tak terkesan bahwa para pilot itu merasa terpaksa untuk terbang lagi. "Melalui cara voting yang demokratis ini mereka juga terhindar untuk mengisi formulir yang diminta oleh Pangkopkamtib Sudomo," katanya. Nasib sekawan kapten pilot yang dipecat itu sampai awal pekan ini memang belum ketahuan. "Tapi kami tidak mungkin meninggalkan mereka, kami akan tetap memperjuangkan nasib mereka ini," ucap Djalmo lagi. Menurut kapten pilot F-28 ini -- ia oleh teman-temannya ditunjuk sebagai anggota tim dalam pertemuan pers singkat di Press Club, Jakarta, didampingi pihak Laksusda Jaya -- usaha-usaha untuk merehabilitasi mereka tengah giat dilakukan. Dia mengutip keterangan Mayjen Norman Sasono, mengenai akan dibentuknya suatu tim interdepartemental. Tim tersebut nantinya akan ditugasi mengatasi masalah keresahan yang timbul dalam tubuh Garuda, termasuk soal pemecatan beberapa pilot dan karyawan lainnya. Perkara ini memang jadi sumber ketidakpastian di kalangan karyawan. Diam-diam, selain para pilot itu, sudah banyak juga pegawai yang akhir-akhir ini dikeluarkan oleh direksi Garuda. Mereka terdiri dari para teknisi, yang turut aktif memberi saran-saran kepada direksi. Mereka antara lain adalah Herry Soetomo (sehari-hari montir kepala pada bagian workshop), Bachtari Hasan, Iswandi dan Subaryo. "Bagaimana tidak makin resah," kata seorang pegawai teknik. "Pembentukan tim kerja teknik itu adalah atas anjuran Laksamana Sudomo. Eh, tahu-tahu Herry Soetomo, ketua tim kok malah dipecat." Namun awal mula kcresahan berputar pada soal gaji juga, terutama bagi karyawan seperti teknisi. Dan itu mulai merembes keluar beberapa bulan setelah diumumkannya Kenop 15. Pimpinan Garuda yang mengatakan rugi besar akibat Kenop itu, merasa tak bisa menaikkan gaji para karyawannya. Gaji bulan ke-13 pun tak pernah dikenal di Garuda. Sekalipun, ada yang disebut uang pendidikan atau uang bangku yang besarnya maksimal Rp 100.000. Uang pendidikan atau bangku yang biasanya diterima pada setiap akhir tahun itu pun diundur menjadi bulan Juni, yang kebetulan jatuh bersamaan dengan dimulainya tahun ajaran baru yang diperkenalkan Mentcri P&K Daoed Josoef. Suatu keputusan yang oleh para karyawan dianggap "adil" juga. Tapi keadaan cepat berubah ketika janji-janji direksi Garuda itu tak dipenuhi. Alkisah, Dir-Ut Garuda Wiweko Supono menjanjikan kepada para karyawan, bahwa gaji mereka akan segera dinaikkan begitu pemerintah menyetujui kenaikan tarif yang diminta Garuda. Untuk mengimbangi aliibat Kenop itu, pihak direksi memperhitungkan tambahan kenaikan 25% untuk semua penerbangan dalam negeri. Pemerintah ketika itu memang tak cepat mengiyakan. Tapi mendahului yang lain, pada 5 Maret tahun lalu pemerintah malah memberikan kenaikan 35% untuk Garuda, dengan catatan yang 10% itu untuk menutupi akibat kenaikan harga BBM yang dimulai 1 April tahun lalu. Nah, setelah tarif naik dengan lumayan, sang gaji rupanya tak dikutik-kutik. Kejengkelan para karyawan teknik ketika itu jadi meletup ketika masing-masing menerima amplop gaji akhir Mei tahun lalu. Mereka sebenarnya mengharapkan menerima bonus 'uang pendidikan anak' itu. Tapi yang hari itu disodorkan oleh kasir adalah pengumuman baru direksi, tentang keharusan untuk memakai topi pengaman (helm) bila mengendarai sepeda motor. Bonus memang dibagikan dua minggu setelah adanya maklumat helm itu. Tapi tak ayal kejadian di hari gajian itu telah menimbulkan sikap masa bodoh di kalangan karyawan, terutama di bagian teknik. Maka untuk mencari jalan keluar 11 teknisi dan 6 pilot Garuda membentuk suatu tim yang maksudnya ingin mengaukan saran-saran perbaikan nasib. Tim 17 yang diketuai oleh Kapten Pilot Sri Soebekti waktu itu beranggapan, untuk menemui Dir-Ut Garuda yang dikenal pintar itu mereka harus siap dengan konsep dan data. Tapi anak buah yang nampaknya membutuhkan perhatian atasan itu nampaknya sial. Ketika mereka sedang berkumpul menyusun konsep, datang pihak Laksus dan Skogar menggerebek mereka. Malah 5 pilot yang sedang berada di rumahnya dibawa oleh sekuriti Garuda untuk diserahkan kepada Laksus. Sejak itu cuaca buruk -- di Garuda, lalu dimonitor DPR. Bahkan Pangkopkamtib Sudomo, yang dalam peristiwa kemarin tampil sebagai Ketua Pusdalsis (Pusat Pengendalian Krisis), sejak awal November lalu sudah turun tangan. Adalah Sudomo yang menganjurkan kepada para karyawan Garuda itu untuk membentuk tim, dan mengajukan konsep perbaikan nasib, terutama struktur gaji. Menurut para pilot, yang dipersoalkan ialah struktur gaji, bukan besarnya. Tapi Dirjen Perhubungan Udara Sugiri, dalam wawancara dengan TEMPO, beranggapan keterangan para pilot itu tidak benar. Mereka pada akhirnya -- seperti tercantum dalam konsep tertulis mereka, kata Sugiri -- menghendaki cara penggajian yang akan sangat menaikkan pendapatan mereka secara menyolok (box). Tim 5 orang, yang antara lain terdiri dari Kapten Pilot Ari Singgih yang dipecat itu, awal Desember lalu memang menyodorkan saran-saran mereka. Tentang gaji pokok, tim menyarankan agar disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1977, yang mengenal gaji pokok minimal Rp 12.000, atau maksimal Rp 120.000. Sedang pos-pos tunjangan yang demikian banyaknya dalam struktur gaji di Garuda agar disedehanakan: dari 12 pos menjadi 7 pos saja. Struktur gaji di Garuda memang berlapis-lapis. Seorang pegawai Garuda bahkan mengatakan, sistem gaji Garuda inilah di Indonsia yang paling sarat dengan tunjangan. Penggajian itu dibuat demikian rupa, sehingga gaji pokok, bagi seorang kapten pilot F-28 menjadi jauh lebih rendah dari Rp 12.000, -- sama dengan gaji pokok terendah yang diterima pegawai negeri sipil golongan pesuruh dan penjaga malam departemen. DEMIKIANLAH, seorang kapten pilot F-28 dengan masa kerja 5 tahun, membawa pulang uang sebanyak Rp 500.000. Tapi gaji pokoknya cuma Rp 5.500, tak sampai separuh gaji pokok seorang pesuruh yang baru diangkat menjadi pegawai negeri golongan I.a. Setelah 6 tahun kerja si pesuruh itu, sekalipun tak naik golongan, gaji pokoknya naik menjadi Rp 15.600. Sementara seorang ko-pilot DC9 dengan masa kerja dua tahun, bergaji pokok Rp 4.000, sekalipun seluruh penghasilannya mencapai sekitar Rp 160.000 sebulan. Tim mengusulkan agar penghasilan bersih rata-rata seorang kapten pilot F28 mencapai US$ 500 atau Rp 300 ribu lebih. Dan untuk kapten pilot DC-9 sebanyak US$ 750 atau sekitar Rp 468. 000. Bagi kapten pilot DC-10 tim mengusulkan supaya diberi penghasilan rata-rata US$ 1.000 atau Rp 625.000. Setumpuk usul yang dilontarkan tim, seperti kata beberapa penerbang, bukannya harga mati. Ada hal-hal yang masih bisa didiskusikan. Tapi diskusi itu pula yang tak diinginkan oleh pimpinan Garuda. Dan Korpri Garuda? Itupun tak bisa diharapkan banyak. Selain baru nampak kembali akhir-akhir ini, Korpri di Garuda itu diketuai oleh Salman Hardani, sehari-hari manajer umum Garuda, sedang Sekjennya adalah Soesetio, kepala biro personalia yang tugasnya antara lain menandatangani surat-surat pemecatan tadi. Maka, seperti kata Ketua DPR RI Daryatmo, "ketua Korpri haruslah orang yang dipilih oleh para karyawan sendiri." Ketua DPR yang sejak pecahnya krisis 5 hari itu didatangi para pilot, dan aktif menawarkan penyelesaian, meminta, agar dalam menindak anak buah, direksi Garuda tidak gegabah main pecat begitu saja. Tapi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang membawahkan Direktorat Jenderal Bina Lindung, sejak awal keresahan yang menjangkiti Garuda nampaknya lebih suka diam saja. Menteri Naker Trans Harun Zain beberapa waktu lalu pernah berkata kepada TEMPO, sedang meneliti soal keresahan di Garuda (TMPO, 17 November 1979). Barangkali Menteri Harun Zain diam karena menunggu sampai pimpinan Garuda meminta uluran tangan departemennya. Tapi menurut pengamat, itulah hal yang tak akan dilakukan Dir-Ut Wiweko, dalam menghadapi kemelut Garuda yang sekarang. Namun siapa tahu? Dulu, ketika Dir-Ut Garuda memberhentikan sisa 425 karyawannya yang tak lagi bisa dipakai, atas permintaan Garuda, tak kurang dari dua departemen yang turun tangan membantunya. Maka lahirlah pada 23 Februari 1970 SK Bersama Menteri Perhubungan dan Menteri Tenaga Kerja, yang singkatnya mendukung tindakan rasionalisasi besar-besaran itu. WALAUPUN demikian kini, 10 tahun kemudian, belum ada tanda-tanda uluran tangan seperti itu kembali. Penyelesaian institusional tak lagi dicampuri baik Mentcri Naker Trans maupun Menteri Perhubungan Rusmin Nurjadin, yang sama sekali tak kedengaran suaranya. Rupanya dibutuhkan lembaga yang lebih berbobot, dalam hal ini Kopkamtib yang langsung dipimpin Pangkopkamtib Sudomo sendiri. Adalah Sudomo yang mengatur 'jembatan udara' dengan mengerahkan armada pesawat seperti Pelita, MNA sampai TNI-AU. Tentu saja balabantuan berupa F-27, Hercules sampai Boeing 707 dari Pelita itu jauh dari mencukupi kebutuhan yang biasa diangkut armada Garuda dalam sehari. Selama empat hari operasi 'jembatan udara' itu telah dilakukan sebanyak 82 penerbangan, yang hanya mampu mengangkut sekitar 6.000 penumpang. Tak sedikit pihak yang memaki, gara-gara merasa rugi selama krisis 5 hari itu. Ada sejumlah inang-inang yang menangis karena impor lomboknya dari Surabaya ke Medan via Jakarta menjadi busuk semua. Ada hotel seperti HBB (Hotel Bali Beach) yang merasa kehilangan 120 tamu, karena yang ditunggu-tunggu itu tak muncul. Ada pula sejumlah turis asing yang terpaksa harus menginap di ruang tunggu pelabuhan udara Ngurah Rai. Perusahaan-perusahaan taksi yang parkir di lapangan udara, seperti juga berbagai biro perjalanan darl agenagen Garuda, pada menderita. Sekalipun ada juga yang merasa untung: koran-koran daerah yang laris, karena koran yang masuk dari Jakarta terlambat. Penerbangan swasta juga panen, juga tukang catut. Garuda sendiri dari pelabuhan udara Kemayoran rata-rata memiliki 53 penerbangan dalam sehari. Akibatnya, selama dua hari pertama aksi tak terbang, diperkirakan ada 10 ribu penumpang yang tak terangkut. Soalnya, selama 5 hari tak bekerja itu, dari sekitar 420 pilot Garuda, boleh dibilang sebagian besar turut "tak terbang", termasuk segenap ko-pilot. Menurut beberapa sumber TEMPO di Garuda, hanya kapten pilot DC-10 yang berjumlah 15 orang itu yang terus bekerja. Juga ada 20 kapten pilot DC-9, di samping hanya 3 kapten pilot F-28 yang terus terbang. Penambahan pesawat dari perusahaan penerbangan lain tak mudah dilakukan, karena barangnya memang tak ada. Seperti kata kepala humas MNA, Sofyan, yang ada hanya penambahan frekuensi Merpati. Itu pun pasti terbatas. Maka tak heran kalau Presiden Soeharto, seperti disampaikan Pangkopkamtib Sudomo, minta perlunya dipikirkan adanya cadangan angkutan udara nasional. Antara lain dengan melatih penerbang TNI-AU agar juga bisa menerbangkan pesawat F-28, DC-9, DC-10 dan Airbus. KETRAMPILAN seperti itu adalah ideal kalau bisa dimiliki para pilot. Tapi prosesnya lama. Bagi seorang kapten pilot DC-10 sekalipun, bila suatu waktu dibutuhkan untuk menerbangkan pesawat F-28 atau DC-9, paling sedikit perlu masa penyesuaian dengan berlatih 1 bulan. Latihan yang disebut type rating itu, menurut seorang pegawai Garuda yang mengetahui, harus dipertahankan para penerbang. Itupun harus keluar biaya cukup banyak. Boleh dibilang seorang pilot Garuda yang ditugasi latihan type rating, rata-rata membutuhkan 2 bulan. Biayanya, menurut sumber Garuda, berkisar antara Rp 7 sampai Rp 10 juta, tergantung jenis pesawat dan lama latihan. Bisa dibayangkan betapa kompleks dan banyaknya biaya yang keluar kalau saja para penerbang TNI-AU kelak diminta untuk serba bisa menerbangkan berbagai ems dan merk pesawat. Barangkali, salah satu jalan keluar lain untuk bersiap-siap menghadapi kemungkinan buruk seperti aksi penerbang kemarin, adalah membolehkan perusahaan penerbangan lain memiliki pesawat jet. Sampai sekarang jetisasi praktis hanya boleh dinikmati pesawat Garuda. Berbagai pimpinan perusahaan penerbangan lain, seperti Mandala, Bouraq, MNA, sudah harus senang kalau misalnya mendapat pesawat bukan jet F-27 warisan Garuda. Apa sebabnya? Dir-Ut Wiweko beranggapan, kalau jetisasi dibolehkan menyebar ke perusahaan penerbangan lain, akibatnya terjadi persaingan yang mungkin saling mematikan. Kalangan perusahaan penerbangan lain, bukan rahasia lagi, banyak yang menentang pendirian ini -- dan mengharap agar beleid pemerintah di sini berubah. Tapi Garuda memang flag carrier (pembawa bendera). Ia dibolehkan menikmati kelebihan dari yang lain. Yang jadi soal, seperti dikemukakan para pengritik Wiweko, adilkah "posisi monopoli" itu dipertahankan terus selama 12 tahun? Banyak orang beranggapan, jetisasi itu sudah waktunya untuk juga dimiliki yang lain. Namun pendapat ini biasanya dibantah belum tentu penerbangan lain, andaikata diizinkan memiliki pesawat jet mampu berkembang biak seperti perusahaan Garuda. Banyak cacat manajemen di sana. Itu tak berarti selama 12 tahun memimpin dengan kuasa yang besar, Wiweko sendiri selalu berhasil. Buktinya: keresahan para pilot yang beberapa kali terjadi. Wiweko banyak yang menganggap "tak tergantikan", melihat suksesnya, termasuk dalam berhubungan dengan bank luar negeri. Tapi justru "tak tergantikan" itulah ia juga dinilai tak bisa menyiapkan kader -- setelah 12 tahun. Seorang pionirkah dia, atau sekedar seorang pemimpin perusahaan yang tak ingin ada orang lain yang menyainginya? Jawabannya belum jelas. Dibesarkan sebagai anak lelaki sulung dari suatu keluarga terpelajar, pada Wiweko masih nampak pengaruh masa kecilnya kehidupan keluarga yang tertib dan ketat dengan aturan. "Hampir puritan," kata beberapa orang yang mengenalnya. DIA sejak bocah dikenal sebagai anak yang cerdas dan selalu mencapai angka-angka tertinggi dalam pelajaran. Dari masa itu pula kabarnya Wiek -- demikian panggilannya -- telah amat kagum pada seorang aviator Amerika yang berhasil mengarungi Samudera Atlantik sendirian pada tahun 1927: Charles Lindbergh. Kemashuran dan keberanian orang ini konon menggugahnya. Lindbergh dijuluki the lone eagle -- burung rajawali yang terbang sendiri, seorang yang suka menyendiri dan tak suka dengan pers yang dianggap mengganggu. lni pun mirip-mirip dengan sikap Wiweko, yang sampai sekarang selalu was-was terhadap wartawan. Sugiri menyebut sikap ini "diam adalah emas" seraya ia nampaknya mengakui bahwa sikap itu tak selalu efektif di Indonesia. Mungkin karena rajawali yang terbang sendiri -- citra terbaik seorang dalam kokpit -- bukan sikap terbaik seorang manager. Kenyataannya orang No.I dalam Garuda itu nampak berdiri jauh di atas bawahannya. "Dia lebih suka mempunyai bawahan yang patuh daripada mendidik mereka menjadi manajer yang berhasil," kata beberapa bekas pilot Garuda. Dia juga dianggap kurang menjelaskan soalnya ke masyarakat -- padahal Garuda adalah milik negara. Benar tidaknya kritik-kritik begitu, entahlah. Tapi sebagai perintis dunia penerbangan di Indonesia, dia sekali lagi diuji keberaniannya untuk meneruskan mana yang baik di samping berani menerima kritik orang lain. Kalau belum terlambat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus