Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Komisaris Otoritas Jasa Keuangan atau DK OJK Mahendra Siregar menyampaikan beberapa tantangan internal dan eksternal OJK di tengah perekonomian negara serta secara global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Tantangan internal kami berupa pemenuhan infrastruktur kantor pusat di IKN dan kantor OJK di daerah. Sampai saat ini gedung ataupun infrastruktur kantor di Jakarta itu dipinjamkan Kementerian Keuangan, disewa,” katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR di Senayan, Rabu, 26 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mahendra mengatakan OJK juga perlu memenuhi formasi efektif sumber daya manusia (SDM) untuk mendukung penambahan kewenangan pengawasan sebagaimana amanat UU P25K. Ia melanjutkan perlunya pemenuhan komposisi dan kompetensi penyidik OJK serta dukungan infrastruktur penyidikan.
“Pengembangan sistem informasi untuk mendukung pengawasan dan perizinan terintegrasi. Penguatan infrastruktur IT untuk mendukung pelaksanaan tugas dan pengamanan aplikasi dalam upaya pencegahan serangan siber,” ujarnya.
Sedangkan untuk tantangan eksternal, Mahendra menuturkan proses transisi peralihan wewenang baru OJK dalam pengawasan aset kripto dan koperasi jasa keuangan (open loop) termasuk penyelesaian ketentuan (RPP) dalam rangka pelaksanaan wewenang pengawasan baru ini masih berlangsung.
“Peningkatan kualitas penawaran efek di pasar perdana dan likuiditas transaksi saham yang wajar di pasar sekunder,” katanya.
Selain itu, Mahendra juga merasa penting meningkatkan literasi dan inklusi keuangan untuk produk syariah dan produk selain pada sektor perbankan. “Penanganan entitas ilegal berupa pinjol dan investasi ilegal, serta transaksi keuangan ilegal seperti judi online,” katanya.
Ia menjabarkan, saat ini perekonomian global di 2024 menunjukkan ketakpastian yang masih tinggi, dan pertumbuhan dari 2024 cenderung sideways, diiringi divergensi yang tinggi disebabkan oleh inflasi di AS, dan risiki stagflasi di Eropa serta perlambatan ekonomi di Tiongkok.
“Sedangkan 2025, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan masih sideways, artinya tak apa perubahan berarti dari tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Ia menuturkan kebijakan keuangan global masih ketat seiring suku bunga diperkirakan turun, namun di lain pihak ruang pemerintah negara industri menghadapi stimulus fiskal yang sangat terbatas.
“Besaran dari defisit neraca transaksi berjalan akan dipengaruhi oleh kebijakan domestik. Kebijakan moneter dalam negeri lebih fokus menjaga rupiah, sementara kinerja sektor keuangan melanjutkan normalisasi namun perlu dicermati pergerakan risiko kredit,” katanya.