Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FRUSTRASI mencapai puncaknya di hati Arthur Kane, Selasa lalu. Dengan pistol di pinggang, Arthur mendatangi kantor pialang Merryl Lynch & Co., di Miami. Ia langsung menggedor pintu masuk ruangan Wakil Presiden Jose Argilagos. Lalu, dor! Bos itu pun kontan terkulai, mati, bersimbah darah. Seperti orang kesurupan, Arthur lalu kabur ke kantor bos pialang yang lain, Lloyd Kolokof, yang masih gemetar mendengar ledakan pistol. Tapi, sekali lagi, dor! Kolokof, 38 tahun, setelah menjerit, roboh. Mujur, lelaki itu tak mengalami nasib sial seperti Arthur, dan sampai awal pekan ini kabarnya masih dirawat di rumah sakit. Bak cerita film action, Arthur, 53 tahun, sehari-hari investor dari Kendall, Florida, akhirnya menghabisi dirinya dengan pistolnya. "Dia babak belur di bursa saham," kata besan Arthur. Esoknya, di kota yang sama, mayat Vernon Lambert, 58 tahun, ditemukan di sebuah motel. Ia bekas presiden sebuah pabrik mesin. Dan ia rupanya memilih bunuh diri dengan mencopot pipa gas untuk pemanas kamar motel. Baik Arthur maupun Vernon kehabisan uang untuk melunasl utang-utangnya yang jatuh tempo Senin pekan lalu. Rupanya, pihak pialang yang memberi kredit tak bersedia mengulur waktu cicilan. Mereka, sebagaimana juga terjadi pada sejumlah orang lain, praktis bangkrut. Bagi Vernon, nilai sahamnya rontok sampai setengah juta dolar, berarti menguras hampir seluruh kekayaanny Para pilang rupanya tak punya banyak pilihan, kecuali melakukan pengetatan deadine tagihannya. Bayangan gulung tikar sudah makin dekat mengancam mereka. Sampai awal minggu lalu saja, sudah lima perusahaan pialang yang terpaksa ditutup, lantaran kelewat bernafsu memutar uangnya di jual-beli saham. Semuanya dengan alasan "kesulitan keuangan." Terakhir adalah Haas Securities Corp, di Manhattan, yang menyatakan diri bangkrut di hari Rabu pekan lalu. Padahal, perusahaan yang di Amerika relatif kecil itu masih menanggung rekening dari 12 ribu langganannya. Ancaman itu juga sudah mulai merasuk proyek raksasa Eurotunnel, terowongan bawah laut yang menghubungkan Prancis dan Inggris. Proyek itu masih butuh satu seperempat milyar dolar, yang baru mau ditawarkan ke bursa di Paris dan London pekan depan. "Kami paling bisa bermain selama beberapa minggu," ujar Emmanuel Vasseur, Wakil Presiden Banque Indozues yang ikut mengelola pemasaran saham Eurotunnel di Paris. Di London, kendati biaya kampanyenya mencapai 7 juta dolar, nasib terowongan itu agaknya tak lebih baik. Sulit mencari perusahaan yang mau jadi penanggung. Mereka masih dibayangi ketakutan malapetaka British Petroleum. Bayangkan, para penanggung pemasaran saham perusahaan minyak elite dunia itu diperkirakan sudah rugi 1,5 milyar dolar. Penguasa Hong Kong, yang tak ingin para pialang sahamnya ikut bergelimpangan, sejak pekan lalu ambil langkah penyelamatan. Lewat kerja sama dengan berbagai lembaga keuangan, termasuk Bank of China milik RRC, telah disuntikkan 4 milyar dolar. Dengan perincian, 2 milyar dolar berbunga setengah lunak untuk dibagikan kepada anggota bursa saham yang bermodal minimum 25 juta dolar dan sisanya untuk anggota lainnya yang bermodal 10 juta dolar, dengan bunga tetap 7,5 persen setahun. Sebaliknya, gejolak itu malah diramalkan akan membawa para pialang saham Jepang menduduki tangga puncak, menggusur para saingannya di Wall Street. Sehingga, kecemasan pun mulai menjalar di sana. "Ini menakutkan, tapi benar," ujar Ivo Felder, analis dari Baring Securities Ltd. Rahasianya ? Para pialang negeri itu dibentengi oleh perundangan yang berlaku sejak 22 tahun silam. Yakni mereka hanya boleh memakai seperlima modal perusahaan untuk diputar di bursa atas nama sendiri. "Jadi, kerugian tak akan nol, tapi juga tak akan kelewat besar," ujar juru bicara Nomura Securities Co. Kelebihan lainnya, sebagian besar keuntungan para pialang di sana berasal dari komisi. Sedangkan perdagangan saham hanya menyumbang seperlima dari seluruh keuntungan. Sehingga, Brian Waterhouse, analis dari James Capel & Co., mengandalkan Jepang sebagai juru selamat. Baginya, dalam keadaan terjepit, pialang Jepanglah yang paling mampu memberi suntikan dana. Benar atau tidaknya ramalan itu memang terlalu pagi untuk dijawab. Pasar masih terbilang loyo, meski Jumat lalu menunjukkan sedikit gairah. Di Wall Street, menurut Dow Jones Industrial Average, harga saham naik 2,8 persen menjadi 1.993,53 poin. Di Tokyo, menurut Nikkei Stock Average, naik 3,32 persen menjadi 22.765,04 poin. Di London, menurut Financial Times 100-share naik 4,03 persen menjadi 1.749,80 poin. Yang pasti, krisis itu sudah mulai dapat porsi di kalangan politikus dunia. Kamis silam, lewat Menteri Keuangan Edouard Balladur, Prancis mengimbau pimpinan puncak Kelompok 7 Negara Industri Maju agar mengadakan pertemuan khusus, untuk mengatasi krisis. Imbauan itu tak lain karena perjanjian tujuh negara maju di Louvre, Prancis, Februari tahun ini, dianggap terlalu sempit. Dengan alasan perjanjian itu hanya menyangkut soal kontrol nilai tukar mata uang kuat -- dolar, mark, franc, dolar Kanada, dan lira Italia. Isinya, antara lain, mempertahankan nilai dollar AS di sekitar 1,80 mark. Itu pun tak jalan. Sejak pekan lalu, nilai dolar terendam sampai di bawah kesepakatan itu. Bahkan sampai Jumat lalu, setelah naik sedikit, nilai dolar masih 1,79 mark. "Kemerosotan itu akan menggenjot inflasi di AS dan memacetkan perekonomian Jepang dan Eropa," ujar Balladur kepada pers di Paris. Memang, semakin kuatnya mata uang beberapa negara maju terhadap dolar AS, berarti makin mahal harga barang mereka di Amerika sebagai pasar terbesar di dunia. Bahkan, sehari sebelumnya, dolar mencetak rekor terendah terhadap yen sejak Perang Dunia Kedua. Pada hari itu, di bursa mata uang Jepang dan Inggris, dolar rontok sampai tinggal 137,55 yen, kendati Bank Sentral Jepang sudah mengintervensi pasar. Jadi, tak mengherankan kalau di sana orang pada berebut menjual dolarnya. Situasi serupa juga terjadi di Jerman Barat, gara-gara rontoknya dolar sampai menjadi 1,75 mark. Rekor terendah sejak 7 tahun silam. "Ini benar-benar kacau. Kita terperosok dalam lingkaran setan," ujar Susumu Taketomi, ekonom senior dari Industrial Bank of Japan. Kalau sekarang situasi membaik, itu lantaran para menteri keuangan dari tujuh negara maju tak henti-hentinya memborong dolar. Bahkan, kabarnya, Bank Sentral Jepang, Prancis, Jerman, dan Italia pekan lalu sudah menyedot semilyar dolar dari pasar. Dan Jepang sendiri memborong semilyar dolar lagi dari pasar dalam negerinya. Tapi perbaikan itu oleh Prancis dipandang masih rapuh. Karena itu, Balladur juga mengharapkan agar Jerman dan Jepang bersedia menurunkan tingkat bunganya. Dan AS diminta memotong defisit anggaran belanjanya, agar tak terlalu banyak menyedot duit dari pasar bebas, yang berakibat merangsang naiknya bunga. Untuk mengamankannya, Balladur punya resep: Kesepakatan Louvre harus diperluas, hingga mencakup seluruh soal ekonomi dan keuangan. Artinya, termasuk kebijaksanaan moneter dan tingkat bunga. Hanya saja, rencana pertemuan puncak Balladur tersandung pada gertakan PM Yasuhiro Nakasone. Menurut Nakasone, Jepang mau hadir kalau saja AS bersedia memotong defisit anggaran belanjanya. Bagi Presiden Ronald Reagan, gertakan itu memberi tiga pilihan: menggenjot pajak, memotong anggaran militer, atau mengorbankan kesejahteraan rakyatnya. Pilihan pertama, tentu saja, paling dibenci Reagan. Mengingat justru mempertahankan tarif pajak adalah jantung dari "Reaganomics" strategi ekonomi makro yang paling dibanggakan Reagan (baca Biarkan Dolar Turun) Valery Giscard d'Estaing, bekas presiden Prancis yang jangkung itu, tak urung ikut bersuara. Dia menilai AS telah menyia-nyiakan dua kesempatan emas untuk memotong defisit anggarannya lewat pajak. Pertama, negara adidaya itu tak langsung mempraktekkan pajak nilai tambah ketika MEE melaksanakannya. Kedua, impor minyak tak dipajaki sejak harganya melorot tajam, sehingga tak berpengaruh pada konsumsi. Mudah-mudahan, kartu yang dilemparkan Nakasone-San akan bisa cepat disambut oleh rekannya di Gedung Putih. Agar tak lebih banyak pialang yang menjadi korban peluru aklbat rontoknya saham. Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo