Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terbit Dahulu, Tersangkut Kemudian

Payung hukum baru yang mengatur pemanfaatan PLTS atap belum kunjung diimplementasikan. Regulasi tersebut masih menunggu restu Presiden Joko Widodo karena berpotensi mengurangi pendapatan PLN dan menghambat penyerapan kelebihan pasokan listrik.

31 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Payung hukum baru yang mengatur pemanfaatan PLTS atap belum kunjung diimplementasikan.

  • Berpotensi mengurangi pendapatan PLN dan menghambat penyerapan kelebihan pasokan listrik.

  • Kementerian ESDM menunggu persetujuan Presiden.

JAKARTA – Payung hukum baru yang mengatur pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap belum kunjung diimplementasikan. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana, menuturkan regulasi tersebut masih menunggu restu Presiden Joko Widodo. "Dibutuhkan proses administrasi akhir untuk mendapat persetujuan Presiden," ujar dia kepada Tempo, kemarin.

Sejak diterbitkan pada Agustus lalu, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum belum mendapat lampu hijau dari Kementerian Keuangan. Dadan mengklaim pembahasan dengan instansi yang dipimpin Sri Mulyani itu telah dilakukan. "Pada prinsipnya tidak ada pending issues sehingga kami harapkan sama-sama peraturan tersebut dapat segera diterapkan," katanya.

Kementerian Keuangan dikabarkan khawatir kehadiran PLTS atap akan menggerus pendapatan PT PLN (Persero). Permintaan listrik bakal turun dan perusahaan setrum harus menyerap surplus listrik pelanggan pembangkit atap. Peraturan yang baru mengatur perubahan nilai transaksi ekspor listrik dari pembangkit atap sebesar 65 persen menjadi 100 persen.

Berdasarkan kajian Kementerian Energi, penerapan PLTS atap memang akan mengurangi pendapatan PLN. Pemerintah menargetkan kapasitas pembangkit ini sebesar 3,6 gigawatt (GW) pada 2025 dan, jika terealisasi, pendapatan perusahaan setrum negara berpotensi turun Rp 2,21 triliun per tahun. Namun Dadan mencatat bakal ada penurunan biaya pokok produksi listrik sebesar Rp 12,61 per kWh sebagai gantinya. "Ini berpotensi mengurangi subsidi sebesar Rp 900 miliar dan kompensasi sebesar Rp 2,7 triliun."

Petugas membersihkan panel surya yang berada di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Irigasi Tanjung Raja di Desa Tanjung Raja, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, 18 November 2021. ANTARA/Nova Wahyudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Tempo mencoba menghubungi Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu perihal dampak penerapan kebijakan ini dan sikap instansinya, tapi tidak mendapat respons. Konfirmasi juga dilakukan kepada PLN melalui Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan, Bob Sahril; Executive Vice President Komunikasi Korporasi PLN, Agung Murdifi; serta juru bicara PLN, Intan Fahdiana. Tapi juga tidak ada jawaban.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia, Anthony Utomo, menyayangkan regulasi yang sudah resmi terbit ini tidak diimplementasikan segera. "Banyak pelanggan yang bertanya kenapa transaksi ekspor (listrik PLTS atap) mereka masih dikalikan 65 persen, bukan 100 persen," katanya. Dari sisi industri, kondisi ini membawa ketidakpastian.

Soal dampak PLTS atap terhadap pendapatan PLN, Anthony juga mencatat adanya potensi penurunan pendapatan. Merujuk pada kajian USAID & NREL berjudul "Distributed Photovoltaic Impact Analysis in Indonesia", besaran penurunan pendapatan PLN sebesar 0,2 persen jika kapasitas terpasang PLTS atap mencapai 3 GW dengan tingkat tarif dasar saat ini. Namun dia yakin penurunan pendapatan ini bisa dikompensasi dengan pembukaan lapangan kerja baru serta keberhasilan mengurangi emisi tanpa anggaran negara.

Selain regulasi, yang tak kalah penting adalah dukungan industri. Anthony menuturkan harga panel surya masih mahal akibat mayoritas bahan bakunya impor. Ditambah lagi harga baterai yang tersedia saat ini masih mahal.

Perekayasa ahli utama di Badan Riset dan Inovasi Nasional, Andhika Prastawa, menyatakan industri panel surya yang ada saat ini masih berupa pabrikan yang merakit dari bahan baku jadi. "Industri panel surya ada sekitar 12 pabrik perakitan panel surya," tuturnya.

Menurut Andhika, pengembangan industri komponen panel surya baru akan berkembang jika pasar di dalam negeri telah terbangun. Jika pasar mencukupi, tingkat kandungan dalam negeri untuk produk panel surya PLTS atap bisa semakin tinggi.

VINDRY FLORENTIN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus