Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Moratorium sawit menjamin perbaikan tata kelola sawit dan melindungi lingkungan.
Produksi sawit terjaga dalam tiga tahun terakhir.
Harga CPO bakal tertekan apabila moratorium dihentikan.
JAKARTA - Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) menyebut moratorium lahan sawit penting untuk meningkatkan produktivitas. Wakil Ketua DMSI, Sahat M. Sinaga, meminta pemerintah memperpanjang kebijakan menunda pemberian izin operasi untuk perkebunan kelapa sawit melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 yang berakhir pada 19 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau moratorium dihentikan, perusahaan (besar) akan melebar ke mana-mana, dan perusahaan petani akan mati karena tidak ada yang peduli," tutur Sahat kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menilai, moratorium juga mendorong produktivitas petani rakyat. Apabila moratorium dihentikan, Sahat menyebutkan, dampaknya akan buruk bagi produktivitas petani rakyat. Selain itu, target sertifikasi sawit berkelanjutan atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk kebun milik petani rakyat akan sulit tercapai.
Juru kampanye Forest Watch Indonesia, Agung Ady Setiyawan, mengatakan hasil pemberlakuan Inpres Nomor 8/2018 selama tiga tahun baru sebatas penyelarasan data di tingkat kementerian perihal tutupan dan luas izin sawit. Menurut dia, semestinya indikator keberhasilan bukan hanya soal tidak adanya pemberian izin baru selama masa moratorium, tapi juga harus bisa menyelesaikan persoalan produktivitas, keberterimaan pasar, deforestasi, kepastian hukum petani sawit, serta tumpang tindih dan konflik lahan.
"Kami sangat mendukung perpanjangan moratorium sawit, namun harus dilaksanakan secara serius dan lebih transparan. Publik harus lebih banyak dilibatkan," kata Agung.
Pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya, menilai perpanjangan kebijakan moratorium sawit juga bisa memperkuat komitmen mitigasi perubahan iklim. Dalam komitmen perubahan iklim, Indonesia berjanji akan menurunkan emisi 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.
Pengisian minyak goreng dari Crude Palm Oil di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 24 Juli 2020. Tempo/Tony Hartawan
"Moratorium diperlukan agar ambisi untuk mencapai net zero carbon di sektor kehutanan dan lahan pada 2030 dan agenda Indonesia FOLU (The Food and Land Use Coalition) 2030 bisa dicapai,” kata Teguh. Adapun ambisi terbesar penurunan emisi adalah sebesar 17,2 persen hingga 24,5 persen pada 2030.
Perpanjangan Inpres Nomor 8/2018 tentang Moratorium Sawit juga dipercaya bakal menjamin masa depan tata kelola sawit yang lebih baik dan berkelanjutan. Pasalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 dan PP Nomor 24 Tahun 2021 sebagai turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja tidak mengatur larangan perusahaan sawit melakukan ekspansi lahan di kawasan hutan.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono berujar, selama kebijakan moratorium perluasan lahan sawit berlangsung, tidak ada perubahan signifikan terhadap harga dan produksi sejak 2018. Ia mencatat produksi sawit pada 2018 mencapai 47,3 juta ton. Tahun berikutnya, terjadi kenaikan produksi mencapai 51,8 juta ton. Kemudian, produksi pada 2020 tercatat sebanyak 51,6 juta ton.
"Kalau kita lihat dari 2018 justru ada kenaikan produksi, meskipun tidak ada izin perluasan lahan baru," ujar Eddy.
Ia menjelaskan, kenaikan produksi terjadi karena ada peningkatan produktivitas hasil sawit selama periode moratorium. Selain itu, ada panen tanaman baru. Ia berharap Gapki ikut membantu program peremajaan sawit rakyat. "Apabila berjalan sesuai dengan rencana, maka 3-4 tahun ke depan akan terjadi peningkatan produktivitas nasional," tutur Eddy.
Kepala Ekonom PT Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro, menilai perpanjangan kebijakan sebagai solusi yang baik untuk lingkungan dan ekonomi. Ia berujar, selama tiga tahun moratorium, pemerintah secara efektif menghentikan pemberian izin baru untuk konsesi sawit. Hal itu dinilai menjadi bagian dari upaya melindungi lingkungan, serta meningkatkan tata kelola dan produktivitas produsen minyak sawit.
Menurut Satria, jika Indonesia sebagai eksportir minyak sawit terbesar dunia tiba-tiba mengizinkan perluasan perkebunan sawit, akan memberikan sinyal kenaikan pasokan. "Hal ini dapat memicu koreksi harga CPO yang telah melonjak lebih dari 50 persen dalam setahun dan menopang neraca perdagangan dan rupiah di tengah kekhawatiran taper tantrum," ujar Satria.
Pada bulan lalu Indonesia mencatat surplus perdagangan sebesar US$ 4,7 miliar. Produk minyak sawit merupakan kontributor terbesar, yaitu 19 persen dari ekspor bulanan sebesar US$ 21 miliar yang sebagian besar dikirim ke Cina dan India. Menurut Satria, industri CPO juga memegang kunci pemulihan ekonomi karena mempekerjakan sekitar 4 juta petani.
"Mengizinkan kembali perluasan perkebunan CPO dapat memicu reaksi internasional karena bertepatan dengan penghentian perjanjian deforestasi REDD+ baru-baru ini dengan Norwegia,” ujar Satria.
ANTARA | LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo