Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rencana Tambah Porsi Energi Terbarukan

Penyusunan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030 belum juga rampung. Namun sejumlah hal krusial sudah disepakati, terutama terkait dengan porsi energi baru dan terbarukan (EBT). Pembangunan pembangkit EBT yang murah, seperti pembangkit listrik tenaga surya, diprioritaskan.

28 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • RUPTL 2021-2030 memberikan porsi lebih besar kepada pembangkit EBT.

  • Pemerintah akan memperbanyak PLTS waduk dan atap.

  • Pertumbuhan permintaan listrik dari industri yang stagnan menghambat pengembangan EBT.

JAKARTA - Penyusunan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 belum juga rampung. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rida Mulyana, menyatakan pembahasan masih berjalan. Namun sejumlah hal krusial sudah disepakati, terutama terkait dengan porsi energi baru dan terbarukan (EBT).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rida berujar, RUPTL 2021-2030 akan memberikan porsi lebih besar kepada EBT dibanding energi fosil. Jika saat ini porsi pembangkit dari energi fosil mendominasi hingga 70 persen, pemerintah mengupayakan jumlahnya dikurangi hingga menjadi 58,5 persen dalam sepuluh tahun ke depan. Kebijakan ini sekaligus untuk memenuhi target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"RUPTL yang sekarang kami susun, kami upayakan lebih hijau," katanya, kemarin.

Dalam rancangan RUPTL tahun ini, pemerintah berencana menambah kapasitas pembangkit sebanyak 39,9 gigawatt. Khusus untuk EBT, kapasitas pembangkit yang ditambah sebanyak 16,1 gigawatt yang terdiri atas tenaga air dengan kapasitas 9 gigawatt, panas bumi 3,5 gigawatt, serta energi bersih lainnya sebanyak 3,7 gigawatt.

Rida mengatakan pemerintah akan memprioritaskan pembangunan pembangkit EBT yang memiliki biaya pokok produksi rendah. Salah satunya adalah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang kini harganya mulai bersaing. "Teknologinya sudah lebih matang, berkembang, sehingga dengan sendirinya akan turun harganya," ujarnya. Selain itu, ongkos pengadaan lahan untuk pembangkit listrik jenis ini bisa ditekan dengan memanfaatkan waduk. Pemerintah juga akan menggalakkan PLTS atap.

Pekerja mengangkat panel surya di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat, 2 Desember 2020. TEMPO/Tony Hartawan

Pengembangan energi bersih juga akan dilakukan dengan skema co-firing atau mencampurkan biomassa pada pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU). PT PLN (Persero) telah menargetkan implementasi dengan porsi rata-rata biomassa 10 persen untuk PLTU di Jawa dan Bali. Sedangkan di luar wilayah tersebut, perusahaan akan mencampurkan 20 persen biomassa di PLTU.

Rida menyatakan pemerintah juga akan mengevaluasi kembali target operasi berbagai proyek pembangkit dari tenaga air dan panas bumi agar lebih realistis. Selain itu, kapasitas EBT akan bertambah dengan mengkonversi pembangkit diesel ke pembangkit EBT. Rida mencatat, dari sekitar 5.200 unit pembangkit, terdapat potensi 2 gigawatt energi bersih.

Upaya mendorong pemanfaatan energi bersih ini juga didukung dengan keputusan pemerintah melarang pembangunan PLTU baru. Sejumlah PLTU juga akan mulai dipensiunkan secara bertahap pada 2025 sehingga pada 2056 tak ada satu pun PLTU yang masih beroperasi.

Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Lontar, Tangerang, Banten. TEMPO/Tony Hartawan

Wakil Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, optimistis listrik yang dihasilkan pembangkit EBT baru dalam 10 tahun ke depan bisa terserap. Tambahan kapasitas tersebut telah dihitung berdasarkan proyeksi pertumbuhan listrik yang dipangkas menjadi 4,87 persen dalam rancangan RUPTL 2021-2030 dari 6,42 persen dalam RUPTL 2019-2028.

Namun, di sisi lain, koreksi asumsi permintaan listrik ini mengakibatkan perlambatan pertumbuhan beban selama 3 tahun. Darmawan mengatakan, terdapat potensi target bauran EBT 23 persen pada 2025 tak tercapai. Berdasarkan prediksi tahun lalu, permintaan listrik pada 2025 diperkirakan mencapai 361 terawatt hour (TWh). Namun, dengan koreksi proyeksi permintaan listrik di RUPTL tahun ini, permintaan dengan kapasitas 361 TWh baru akan terjadi pada 2028. "Namun PLN tetap berkomitmen mencapai bauran energi EBT 23 persen pada 2025," tuturnya.

Sementara itu, untuk jangka panjang hingga 2060, PLN mencatat ada ruang penambahan kapasitas pembangkit EBT hingga 1.380 TWh. "Market size utility di 2060 adalah 1.800 TWh," katanya. Saat ini produksi listrik baru sebesar 300 TWh dan tambahan dari proyek 35 GW hanya 120 TWh.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa, optimistis permintaan listrik masih akan tumbuh sehingga pembangunan pembangkit EBT baru tetap perlu didorong. "Tugas PLN memastikan permintaan, terutama dari industri, terus didorong untuk menyerap pasokan," tuturnya. Selama beberapa tahun terakhir, pertumbuhan permintaan listrik dari industri cenderung stagnan.

VINDRY FLORENTIN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus