Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Rezeki dari Hijabers

Makin banyak perempuan berhijab mendorong berkembangnya produk kosmetik berlabel halal. Berbagai merek berebut pasar jutaan konsumen muslimah di Indonesia.

28 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada keraguan bagi Rizkitha Putri, 22 tahun, untuk menaburkan bedak ke wajahnya yang baru saja terbasuh air wudu. "Kosmetiknya kan sudah halal, jadi wudunya tetap terjaga," ujar Finalis World Muslimah Beauty 2012 yang akrab dipanggil Gita itu kepada Tempo, dua pekan lalu. Menggunakan kosmetik halal kini jadi pilihan utama bagi Gita dan kawan-kawan muslimahnya yang berhijab atau hijabers.

Buat mereka, tampil cantik tak bisa lepas dari unsur suci atau tidak ada najis dan kandungan bahan haram yang bisa mengganggu ibadah sehari-hari. Sementara dulu orang susah mencari kosmetik halal, tidak demikian untuk dua tahun terakhir. "Produk dengan label halal sudah menjamur, dari produk lokal sampai luar negeri juga ada," kata Gita.

Pasar kosmetik halal memang sangat menggiurkan. Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) mencatat pertumbuhan produk kosmetik ini bisa mencapai ratusan persen dalam dua tahun terakhir.

"Dulu cuma ada satu produsen kosmetik halal, sekarang bisa sampai 10 produsen atau pabrik. Itu pun baru yang tercatat di MUI pusat, belum yang di daerah," ujar Wakil Direktur LPPOM MUI Osmena Gunawan ketika dijumpai di kantornya, dua pekan lalu.

Kebutuhan akan kosmetik halal sesungguhnya sudah ada sejak dulu. LPPOM MUI bahkan sudah mensosialisasinya sejak 1989. Sayang, saat itu belum ada produsen kosmetik yang menggubrisnya. Baru pada 1995 pasar ini mulai dilirik salah satu produsen lokal, yaitu PT Paragon Technology and Innovation (PTI), yang sekarang dikenal sebagai produsen kosmetik halal dengan merek Wardah.

PTI sebetulnya pemain lama dalam industri kosmetik. Pabrik mereka sudah beroperasi sejak 1985. PTI memutuskan mengalihkan target pasar kepada jutaan muslimah pada 1995, alasannya tak lain karena mereka yakin pangsa pasar tersebut cukup besar dan para wanita muslimah itu butuh ketenangan dalam mengenakan riasan wajah. Keyakinan mereka kini terbukti, "Sekarang kalau soal omzet, Wardah merupakan produk kosmetik lokal dengan penjualan terbesar," papar Direktur Marketing PTI Salman Subakat.

Mengusung label halal, menurut Salman, bukanlah satu-satunya faktor penentu yang membuat perusahaannya bisa menggapai sukses. Produk-produk kosmetik yang sudah beredar dan menguasai pasar sebelumnya juga merupakan produk halal. Hanya, produk-produk tersebut belum ditempeli label halal.

Ia juga sadar, jika hanya mengandalkan halal tanpa disertai kualitas yang memuaskan konsumen, produknya tidak akan bertahan lama di pasar. Apalagi, saat mulai merintis untuk mendapat sebuah produk halal, hasilnya belum bisa langsung dikaitkan sebagai produk berkualitas baik. Butuh usaha berkali lipat agar produk kosmetik mereka menghasilkan kualitas yang baik tapi kehalalannya tetap terjaga. "Kalau bisa dicapai dengan mudah pasti langsung sukses, tapi kami baru sukses di tahun kelima atau keenam sejak Wardah pertama kali diluncurkan ke pasar."

Meski kini banyak produk kosmetik halal muncul, hal itu tidak mengganggu pertumbuhan bisnis Wardah. Dua tahun belakangan, bisnis Wardah justru berkembang semakin pesat seiring dengan makin tingginya kesadaran para wanita Indonesia untuk mengenakan hijab. Tren mengenakan hijab yang tengah digandrungi para perempuan muda ini, kata dia, justru memudahkan perusahaan menyampaikan pesannya akan konsep kecantikan yang diusung mereka.

Tak hanya berusaha memenangi persaingan pasar kosmetik halal di dalam negeri, Wardah kini juga sedang berfokus menembus pasar internasional, dimulai dari kawasan Asia lebih dulu. "Pasar internasional sudah menunggu. Apalagi Wardah memang sudah siap bersaing secara global."

Selain Wardah, salah satu produk lokal yang berkembang pesat dengan mengusung kosmetik halal adalah PT Wellys Multi Indonesia (Wellys). Bedanya, Wellys berkembang pesat di pasar dengan menggunakan skema penjualan multilevel marketing (MLM).

Direktur Utama Wellys, Sarhasi Pamungkas, mengatakan skema penjualan berjenjang ini dipilih karena pasarnya masih sangat terbuka. "Belum ada yang bermain di MLM," ujarnya beralasan. "Saya pernah mencoba usaha retail, tapi kurang berhasil. Jadi apa salahnya mencoba sistem MLM, dan alhamdulillah bisa berjalan baik."

Wellys diluncurkan sekitar satu setengah tahun lalu hanya dengan tujuh pegawai. Mengincar pasar ibu rumah tangga dan wanita pekerja, perusahaan ini bisa menjaring hingga 15 ribu anggota dan meraup omzet hingga sebesar Rp 2 miliar di tahun perdananya.

Penjualan produk kosmetik halal juga terus mencatat pertumbuhan signifikan, setidaknya sebesar 30 persen setiap tahun. Dengan terus berkembangnya bisnis, Sar­hasi menargetkan setidaknya bisa menjaring sebanyak 50 ribu anggota dan membuka beberapa klinik kecantikan mulai tahun depan hingga 2015.

Ia mengakui produk Wellys belum begitu populer di telinga masyarakat, terutama di Pulau Jawa. Tapi, jika kita beranjak ke Sumatera, seperti ke Padang, Riau, bahkan Daerah Istimewa Aceh, produknya sudah cukup dikenal. "Pasar kami mayoritas di sana. Sumatera berkontribusi hampir 70 persen dari total omzet kami saat ini," dia menjelaskan.

Untuk mendongkrak angka penjualan di luar wilayah Sumatera, Wellys menggunakan strategi promosi di media televisi dengan menjadi sponsor tata rias di beberapa program televisi swasta. Ke depan tren hijabers juga menjadi harapan Wellys untuk mendorong bisnisnya. "Kami sudah mulai merancang kelas-kelas kecantikan bagi para hijabers, bekerja sama dengan beberapa sekolah untuk target pasar remaja kami."

Meski sudah mulai menjamur, menurut Osmena Gunawan, pasar kosmetik halal di dalam negeri masih cukup kecil jika dibandingkan dengan produk konvensional lainnya, yaitu sekitar 15 persen. Hal ini lantaran persyaratan untuk mendapatkan label halal bukanlah perkara sepele. Setidaknya ada beberapa tahapan yang harus dilalui produsen untuk mendapatkan cap tersebut. Dari pendaftaran, proses audit produksi, hingga proses pertimbangan hasil audit oleh Komisi Fatwa MUI.

Setelah mendapatkan label halal, produsen kosmetik harus ikut serta sistem jaminan halal. Selama dua tahun masa label berlaku, produsen kosmetik wajib melapor ke MUI setiap enam bulan sekali dan setiap ada perubahan kandungan di dalam produk kosmetiknya untuk menjamin kehalalan.

Dalam proses tersebut, yang paling rumit adalah proses audit kandungan dan produksi kosmetik. MUI harus datang ke pabrik dan menguji beberapa bahan yang disebut sebagai "titik kritis" dalam kandungan kosmetik, yaitu lemak, kolagen, elastin, ekstrak plasenta, zat penstabil vitamin, asam alfa hidroksil, dan hormon.

Melihat maraknya minat produsen untuk memasang label halal, LPPOM MUI pun mencoba berbagai langkah agar pendaftaran bisa dibuat mudah, di antaranya dengan membuka pendaftaran online melalui situs mereka agar lebih cepat diproses. Untuk bisa mendapatkan label ini, produsen dikenai biaya dengan besaran minimal Rp 2,5 juta untuk kosmetik dengan kelas produksi skala rumah tangga. Biaya ini bisa mencapai ratusan juta rupiah jika produk yang didaftarkan dalam skala besar dan memiliki banyak variasi serta turunannya.

Gustidha Budiartie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus