Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ribut Berulang Gula Rafinasi

Sejuta ton lebih gula lokal tak terserap pasar, dengan kerugian diklaim mencapai Rp 2,5 triliun. Pemerintah menuding pedagang bermain dua kaki.

29 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gedung Griya Sabha Wiratama di Pabrik Gula Jatiroto, Lumajang, Jawa Timur, berubah fungsi sejak beberapa bulan lalu. Aula serbaguna seluas hampir seperempat lapangan sepak bola yang biasa menjadi ajang pertemuan atau hajatan itu kini penuh dengan ribuan karung gula.

Ditumpuk hingga nyaris menyentuh langit-langit, setiap karung berbobot bersih 50 kilogram. "Ini terjadi sejak Agustus lalu," kata Kepala Gudang Pabrik Gula Jatiroto, Machrufin, kepada Tempo, Selasa dua pekan lalu. Menurut dia, penumpukan gula dengan jumlah begitu besar belum pernah terjadi di pabrik anak perusahaan PT Perkebunan Nusantara XI itu.

Sebenarnya, Pabrik Gula Jatiroto mempunyai 13 gudang induk khusus untuk menyimpan gula. Setiap gudang memiliki kapasitas 4.200 ton. Tapi sekarang semua gudang tersebut sudah penuh. Pengelola pabrik terpaksa menggunakan Griya Sabha Wiratama serta dua ruang kosong lain di bagian selatan dan utara ruang produksi sebagai tempat penampungan sementara gula yang melimpah. Total gula yang tersimpan di 16 lokasi penyimpanan itu sekitar 56.500 ton. Sebanyak 12.500 ton di antaranya bagian yang menjadi jatah petani, sementara sisanya milik Pabrik Gula Jatiroto.

General Manager Pabrik Gula Jatiroto Widodo Karjianto mengatakan penumpukan gula produksi pabriknya terjadi akibat tidak laku dalam lelang. Dalam rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lumajang, pertengahan Oktober lalu, Widodo sempat mengeluhkan kesulitan produsen gula dalam negeri. Dia mengatakan harga lelang saat ini sangat jauh dari harga patokan pemerintah, yaitu Rp 8.500 per kilogram. Dalam lelang, para pedagang menawar gula dengan harga rata-rata Rp 7.543.

Seperti yang sudah-sudah, petani dan produsen menuding gula rafinasi impor yang merembes ke masyarakat menjadi penyebab jatuhnya harga lelang gula lokal. Akibatnya, gula lokal harus ditumpuk di gudang-gudang dalam jumlah besar.

Dalam laporannya pada November lalu, Dewan Gula Indonesia menyatakan stok gula lokal nasional sampai 31 Oktober berjumlah 1,5 juta ton. Rinciannya adalah gula milik pabrik 676 ribu ton, milik pedagang 621 ribu ton, dan milik petani 229 ribu ton. Direktur Utama Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Ismed Hasan Putro mengatakan penumpukan gula itu mengakibatkan nilai kerugian mencapai Rp 2,5 triliun lebih. Bersama beberapa PT Perkebunan Nusantara, PT RNI adalah salah satu badan usaha milik negara yang memproduksi gula.

Berbeda dengan gula kristal produksi lokal, gula rafinasi adalah gula mentah (raw sugar) yang dimurnikan untuk kebutuhan industri makanan-minuman, industri farmasi, dan pabrik penyedap rasa monosodium glutamate atau MSG. Gula kristal terlihat bening agak kekuningan, sedangkan gula rafinasi berbentuk bubuk, lebih halus, dan putih. Sesuai dengan ketentuan, gula rafinasi tidak boleh dijual langsung ke masyarakat atau diecer ke pasar-pasar. Tujuannya agar gula yang dihasilkan pabrik dan petani tebu dalam negeri tetap mempunyai pembeli.

Masalahnya, harga gula lokal lebih mahal dibanding gula rafinasi di pasar internasional. Negara produsen gula utama, seperti Brasil, Cina, India, dan Thailand, yang memiliki lahan tebu luas, umumnya juga jauh lebih efisien. Sebagai perbandingan, di Thailand, rata-rata rendemen atau kadar gula dalam tebunya mencapai 11,82 persen. Adapun di Indonesia, rata-rata rendemen masih berkisar di angka 7 persen. Perbedaan harga tentu saja membuat para pedagang cenderung memilih impor ketimbang beli dari produsen lokal. Di sinilah berbagai cerita penyelundupan dan impor gula ilegal berawal.

Data Dewan Gula Indonesia menyatakan total kebutuhan gula untuk 2014 secara nasional adalah 5,9 juta ton. Jumlah itu terdiri atas kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga sekitar 2,75 juta ton dan kebutuhan industri 3,17 juta ton. Kebutuhan industri mayoritas adalah untuk produksi makanan dan minuman, yang jumlahnya 2,87 juta ton. Selebihnya diserap untuk industri farmasi dan pabrik MSG.

Di sisi lain, kemampuan produksi pabrik gula dalam negeri sampai akhir musim giling 2014 diperkirakan hanya 2,6 juta ton. Jumlah tersebut digunakan seluruhnya untuk kebutuhan konsumsi masyarakat. Artinya, masih ada kekurangan pasokan gula untuk masyarakat sebesar 150 ribu ton, sementara kekurangan untuk keperluan industri sekitar 3,2 juta ton.

Nah, kebutuhan bagi industri makanan-minuman itu dipasok 11 pabrik gula rafinasi, yang tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI). Pada 2014, mereka memperoleh hak impor raw sugar sebesar 2,8 juta ton. Kontras dengan keadaan di gudang-gudang BUMN produsen yang penuh dengan tumpukan gula kristal, pabrik gula rafinasi justru kehabisan stok raw sugar.

Kondisi itu terlihat di pabrik gula rafinasi PT Sentra Usahatama Jaya, yang berlokasi di Cilegon, Banten. Gudang-gudang penyimpanan raw sugar terlihat nyaris kosong melompong. Mesin pabrik memang masih beroperasi, tapi hanya mengerjakan sisa-sisa stok gula mentah yang ada. Sebagian karyawan pun sudah dirumahkan. "Sepuluh hari ke depan, pabrik ini akan berhenti beroperasi," ujar Ketua AGRI Wisnu Hendraningrat di hadapan Menteri Perindustrian Saleh Husin, yang berkunjung ke pabrik itu, pertengahan November lalu.

Kurangnya stok raw sugar dikatakan telah pula membuat empat pabrik rafinasi terpaksa tutup sejak awal November lalu. Pabrik itu adalah PT Dharmapala Usaha Sukses, PT Duta Sugar International, PT Makassar Tene, dan PT Berkah Manis Makmur. Di depan Menteri Saleh, Wisnu meminta Kementerian Perindustrian memperjuangkan penambahan jatah impor raw sugar untuk industri makanan dan minuman tahun depan menjadi 3,2 juta ton.

Pernyataan Wisnu tentang tutupnya pabrik akibat kekurangan raw sugar membuat pelaku industri gula dalam negeri geram. Ismed salah satunya. Bagi dia, mengumbar-umbar pabrik tutup adalah bentuk tekanan supaya pemerintah melunak terhadap permintaan AGRI soal importasi gula. "Pabrik gula rafinasi tutup itu omong kosong. Sudah ada puluhan pabrik gula BUMN yang tutup. Tahun ini RNI tutup dua. Kami enggak ngemis-ngemis," kata Ismed.

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Abdul Wahid menuding kuota impor raw sugar sudah melebihi jumlah yang diperlukan. Kondisi itu dianggap akan membunuh petani. "Tamatlah riwayat petani tebu Indonesia, karena kebijakan negara sangat merugikan," ujar Abdul Wahid. Dalam catatan APTRI, hingga kini masih ada 400 ribu ton gula petani yang belum terserap pasar.

Soal gula rafinasi yang diduga beredar di masyarakat, AGRI tak menampiknya. Direktur Eksekutif AGRI Yamin Rahman mengatakan, selain memasok industri makanan-minuman skala besar, pabrik gula rafinasi menjualnya ke industri kecil melalui distributor. Persentase pasokan ke distributor sekitar 25 persen dari total gula rafinasi yang diproduksi. "Tentu ada ekses-ekses yang tidak bisa dihindari: gula merembes ke masyarakat." Karena bentuk dan warnanya berbeda, tak sulit menemukan gula rafinasi ini di pasar-pasar.

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel memperkirakan jumlah rembesan gula rafinasi ke masyarakat sekitar 200 ribu ton. Itu sebabnya, pemerintah kini mengaudit lagi berapa persisnya kapasitas produksi pabrik dan kebutuhan gula rafinasi, sehingga kuota impor bisa ditentukan dengan tepat. Kalau gula rafinasi masih merembes juga, sanksi akan dikenakan, berupa pengurangan jatah impor. Ancar-ancarnya, keran impor raw sugar untuk 2015 diperkirakan tak akan melebihi 2,8 juta ton, sama seperti tahun ini.

Rachmat Gobel menganggap klaim 1,5 juta ton gula yang menumpuk di gudang akibat rembesan gula rafinasi tak masuk akal. "Bagaimana enggak menumpuk, tebu itu musim gilingnya hanya enam bulan, Mei-Oktober, lalu harus masuk gudang. Kebutuhan per bulan rata-rata 200 ribu ton, ya, sisanya harus disimpan," katanya. Dia balik menuding: penumpukan gula di gudang-gudang adalah permainan pedagang. Mereka ingin mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan membeli gula lokal di bawah harga patokan pemerintah Rp 8.500.

Di Kabupaten Lumajang, petani sudah mencoba menurunkan harga penawaran ke angka Rp 8.100 per kilogram. Itu pun pedagang masih belum mau beli. Pada lelang awal Desember lalu, pedagang berhenti di harga Rp 7.543 per kilogram. "Tidak mungkin kami melepas dengan harga sebesar itu. Bisa rugi kami," ujar Sekretaris Himpunan Petani Tebu Rakyat Kabupaten Lumajang Budi Susilo.

Rachmat Gobel menyesalkan ribut soal gula berulang hampir setiap tahun. Sebagai jalan keluar, Kementerian Perdagangan menyiapkan roadmap yang ujungnya bercita-cita bisa swasembada gula dalam tiga tahun mendatang. Salah satu ketentuan yang akan diterapkan adalah keharusan pabrik gula rafinasi mempunyai lahan tebu sendiri.

Yamin Rahman mengatakan AGRI siap dengan ketentuan ini asalkan pemerintah memberi jaminan lahan tebu yang akan dipakai clean and clear. Tapi persis di sinilah letak repotnya. "Cari lahan tebu tak gampang." Rachmat Gobel mengakui. "Kalimantan dan Papua kurang cocok, sementara di Jawa dan Sumatera lahan sudah rebutan dengan perkebunan lain."

Amirullah, Iqbal Muhtarom (Jakarta), David Priyasidharta (Lumajang), Edi Faisol (Semarang), Agita Sukma Listyanti (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus