Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak Efektif Menyerap Kelebihan Listrik

Penggunaan rice cooker tak akan signifikan menaikkan konsumsi listrik karena minimnya frekuensi penggunaan. 

10 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • PLN kelebihan pasokan listrik sebesar 7 GW hingga akhir tahun lalu.

  • Kementerian ESDM memperkirakan penggunaan rice cooker bisa meningkatkan konsumsi listrik hingga 140 GWh.

  • Solusi untuk mengatasi kelebihan pasokan listrik adalah pensiun dini PLTU batu bara.

JAKARTA – Pemerintah mengaitkan program pembagian alat masak berbasis listrik alias rice cooker dengan peningkatan penjualan listrik. Sejumlah pihak menilai langkah tersebut bukanlah jawaban atas kelebihan pasokan listrik yang sedang terjadi. 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berencana membagikan 500 ribu unit rice cooker secara gratis pada tahun ini. Sasarannya adalah pelanggan PT PLN (Persero) berdaya 450-1.300 VA, memiliki akses listrik 24 jam, serta belum memiliki alat memasak berbasis listrik. 

Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penyediaan Alat Memasak Berbasis Listrik bagi Rumah Tangga disebutkan bahwa alat yang dimaksudkan minimal memiliki fungsi menanak nasi serta menghangatkan dan mengukus makanan. 

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi Jisman P. Hutajulu menuturkan pemanfaatan setengah juta unit rice cooker bisa meningkatkan konsumsi listrik hingga 140 gigawatt-hour (GWh). "Bagi PLN, program ini dapat meningkatkan penjualan listrik," katanya, kemarin.

PT PLN (Persero) membutuhkan kenaikan penjualan listrik di tengah kondisi kelebihan pasokan sekitar 7 GW hingga akhir tahun lalu. Namun Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa memperkirakan efek pemberian rice cooker tidak signifikan menyeimbangkan permintaan dengan pasokan listrik. 

"Efektivitas program ini sangat tergantung banyak faktor," ujarnya, kemarin. Salah satunya adalah lama waktu memasak. Pemerintah tak bisa mengabaikan risiko bahwa alat ini tidak terpakai. Para penerima bantuan, yang masuk kategori masyarakat miskin, berpotensi tidak punya makanan untuk diolah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deretan meteran listrik di rusun kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, 9 Oktober 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan frekuensi satu kali menanak nasi, Fabby memperkirakan rice cooker dengan rata-rata daya 200 watt butuh waktu sampai tiga hari untuk mencapai 1 kilowatt-hour (kWh). "Dalam satu bulan berarti baru mengkonsumsi 10 kWh," tuturnya. Pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi ihwal keuntungan pemakaian rice cooker selain untuk menanak nasi agar dapat menambah penggunaan listrik.

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menilai program bagi-bagi rice cooker merupakan kebijakan yang konyol. Di tengah kenaikan harga beras, dia mempertanyakan potensi penggunaan alat ini oleh masyarakat miskin dan rentan miskin yang menjadi sasaran program tersebut. Selain itu, para penerima bantuan berpotensi mengeluarkan biaya tambahan, antara lain untuk perawatan produk. 

Berfokus pada Pensiun Dini PLTU

Baik Fabby maupun Bhima sependapat bahwa solusi kelebihan pasokan listrik adalah pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. "Khususnya yang di Jawa dan Bali," ujar Bhima.

Alternatifnya, menurut Fabby, adalah mengurangi kapasitas produksi PLTU. PLN diharapkan bisa bernegosiasi dengan mitra untuk menurunkan kapasitas setidaknya menjadi 60-65 persen dari perjanjian yang berlaku saat ini sebesar 80 persen.

"Seharusnya, saat Covid-19 lalu, pemerintah mengeluarkan payung hukum yang menyatakan ini force majeure. Tapi entah kenapa tidak dilakukan," kata dia.

Baca juga: Opsi Pembiayaan Pensiun Dini PLTU

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo sebelumnya menyatakan upaya negosiasi dengan mitra sudah pernah digelar. "Beberapa pembangkit swasta yang sedang tahap konstruksi kami renegosiasi dan tunda masuk ke sistem PLN," katanya. 

Dari sisi permintaan, PLN mencoba bergerilya meningkatkan konsumsi dari sektor pertanian dan kelautan. Contohnya pemanfaatan anjungan listrik di dermaga untuk menggantikan generator. Skema ini diklaim mampu menurunkan biaya operasional hingga 30 persen. PLN juga membujuk pelaku industri beralih menggunakan layanan PLN dibanding mengandalkan pembangkit sendiri. 

Petugas PLN memasang meteran listrik smart meter AMI (Advance Metering Infrastructure) di rumah pelanggan PLN di Grogol, Petamburan, Jakarta, 20 Juli 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Ihwal usulan penutupan PLTU lebih cepat dari masa operasinya, Executive Vice President of Energy Transition and Sustainability PLN Kamia Handayani menuturkan perusahaan masih menunggu bantuan pembiayaan, khususnya dari institusi internasional. "Kalau dibantu, baru bisa," katanya. Sebab, proyek ini membutuhkan dana yang tak sedikit.

Meski begitu, PLN saat ini berupaya tidak memperpanjang masa operasi PLTU yang sudah beroperasi. "Nanti tidak ada lagi perpanjangan lifetime, misalnya dengan retrofit, meskipun memungkinkan," tutur Kamia. Dengan catatan, pembangkit tersebut telah mencapai keekonomiannya. 

VINDRY FLORENTIN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus