Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Laporan teranyar dari Google, Temasek, serta konsultan global Bain and Company menunjukkan nilai bisnis ekonomi digital masih terus menanjak di tengah ancaman resesi. Dalam kajian yang dinamai e-Conomy SEA 2022, valuasi atau gross merchandise value (GMV) ekonomi digital di Indonesia akan mencapai US$ 77 miliar pada akhir tahun ini—tumbuh 22 persen dari capaian pada 2021 yang sebesar US$ 63 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Country Director Google Indonesia, Randy Jusuf, menyebutkan angka itu masih bisa melambung hingga tiga kali lipat pada 2030, dengan rata-rata pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 19 persen. "Besar sekali kesempatan ekonomi digital untuk terus berkembang," kata Randy dalam jumpa pers virtual, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia menjadi satu dari enam negara di Asia Tenggara yang dianalisis Google dan rekannya dalam laporan tersebut. Dalam wilayah negara ini, nilai ekonomi digital diproyeksikan menembus US$ 194 miliar pada akhir 2022—terus meningkat hingga US$ 330 miliar pada tiga tahun ke depan. Di Indonesia, layanan e-commerce atau toko daring, transportasi berbasis digital, serta pesan-antar makanan sudah dimanfaatkan secara merata di kalangan masyarakat perkotaan.
Dengan perkembangan yang dominan, menurut Randy, kontribusi e-commerce terhadap "kue" ekonomi digital mencapai 77 persen. Nilai GMV e-commerce yang masih tercatat sebesar US$ 25 miliar pada 2019 diprediksi tumbuh menjadi US$ 59 miliar pada akhir tahun ini. Dengan tren tahunan (CAGR) berkisar 17 persen, nilai bisnis e-commerce Indonesia berpeluang naik hingga US$ 95 miliar pada 2025.
"Pertumbuhan tercepat kedua (setelah Vietnam)," ucap Randy. "Untuk mendorong pertumbuhan jangka pendek, bisnis kini lebih berfokus mencapai profitabilitas dengan memangkas biaya dan mengoptimalkan operasi."
Minat Belanja Online Tak Surut
Suasana Kantor Bukalapak, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA), Bima Laga, membenarkan bahwa minat belanja daring masih tumbuh meski mobilitas masyarakat sudah lebih longgar. Tak hanya soal konsumen, jumlah penyedia jasa bidang ini pun terus bertambah. "Sekarang anggota aktif kami sudah lebih dari 240 entitas—baik yang murni e-commerce maupun jasa pendukung, seperti logistik," tutur Bima, kemarin. "Banyak pelaku bisnis baru yang muncul selama masa pandemi."
Partner and Head of Digital Practice Bain and Company di Asia Tenggara, Aadarsh Baijal, mengatakan pola pergerakan bisnis setiap sektor ekonomi digital bervariasi ketika diterjang pandemi. Layanan e-commerce hanya sempat sedikit melambat, tapi terus meningkat. Adapun bisnis pesan-antar makanan berbasis aplikasi menanjak drastis saat pandemi, kemudian melandai ke volume normal ketika restoran sudah menerima tamu. "Sedangkan pola layanan transportasi berbentuk U (U-shape)—awalnya tinggi, lalu berkurang drastis, dan pulih seperti semula ketika pandemi reda."
Bila digabung, nilai bisnis transportasi dan pesan-antar makanan diperkirakan menembus US$ 8 miliar pada akhir tahun ini serta naik ke US$ 15 miliar pada 2025. Aadarsh pun mengungkit soal GMV sektor perjalanan berbasis daring yang bisa menembus US$ 10 miliar pada 2025. Pergeseran perilaku transaksi pun membuat layanan keuangan digital tumbuh subur. Gross total value (GTV) pembayaran digital di Indonesia pada 2022 diperkirakan sebesar US$ 266 miliar dan pada 2025 diperkirakan mencapai US$ 421 miliar. Ada juga valuasi media berbasis Internet yang akan menyundul US$ 6 miliar pada akhir tahun ini.
Investor Lebih Selektif
Deputy Head Technology & Consumer and Southeast Asia Temasek, Fock Wai Hoong, menyebutkan minat investasi pada ekonomi digital Indonesia masih tinggi. "Karena fundamentalnya yang kuat, seperti memiliki basis pengguna yang sangat aktif dalam jumlah besar dan ekosistem startup teknologi yang dinamis," ucapnya.
Berdasarkan laporan e-Conomy SEA 2022, Indonesia dan Singapura menjadi tujuan investasi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada tahun ini. Indonesia tercatat menarik 25 persen dari total nilai pendanaan swasta di kawasan. Layanan keuangan daring, khususnya pinjaman dan pendanaan business to business, menjadi sasaran investasi terbesar—mencapai US$ 1,5 miliar pada paruh pertama 2022. Namun kajian itu pun mengungkap soal hambatan ekonomi makro yang membuat nilai transaksi ekonomi digital turun hingga US$ 2 miliar secara tahunan.
Petugas layanan logistik JX-Express sedang melakukan pengecekan terhadap paket pesanan platform e-commerce JD.ID di Drop Point, Gambir, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, menuturkan pemodal ventura kian selektif di tengah perlambatan ekonomi global. Meski pendanaan tetap mengalir, kata dia, investor cenderung melirik perusahaan digital yang pertumbuhannya stabil dan berorientasi pada profit. "Resesi memang berdampak pada keputusan investasi karena ada efek inward looking dan risk off atau menjauhi perusahaan yang berisiko tinggi."
Kepala Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menilai penetrasi bisnis digital tak akan terbendung karena jumlah generasi pengguna produk berbasis Internet terus membesar. "Secara alami tumbuh. Pemerintah tinggal memikirkan pemerataan keuntungan ekonomi digital agar bisa dinikmati segala kalangan."
IDHAM VIRYAWAN | RIRI RAHAYU | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo