Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mandeknya Regenerasi Petani

Riset Lukas Bonar Nainggolan, peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, mendapati rendahnya minat lulusan bidang ilmu pertanian Institut Pertanian Bogor untuk bekerja dan berusaha di sektor tersebut. Temuan ini bisa menjadi ancaman kerawanan pangan, mengingat usia rata-rata petani Indonesia yang terus menua. Tulisan ini dibuat untuk memperingati Hari Tani Nasional, 24 September.

26 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata usia petani meningkat dari 39,9 tahun pada 2000 menjadi 45,7 tahun pada 2020. Hal ini menunjukkan tren penuaan tenaga kerja sektor pertanian dan rendahnya minat anak muda menjadi petani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayangnya, hasil riset saya terhadap 577 mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan bahwa lulusan bidang pertanian memiliki minat yang rendah untuk bergelut di sektor ini karena kurangnya pengetahuan mereka, rendahnya kepercayaan diri, stigma, hingga ketiadaan dukungan dari orang tua dan pendidik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keinginan mahasiswa IPB menjadi petani cukup rendah, yaitu sebesar rata-rata 5,65 dari 10, jauh di bawah rata-rata keinginan mereka untuk membuka bisnis di sektor lain, yaitu sebesar 8,29.

Hal ini bisa menjadi ancaman karena menurut penelitian beberapa pakar, petani tua cenderung kurang produktif dan kurang efisien serta enggan mengadopsi teknologi terbaru. Indikasi ancaman ini dibuktikan dengan 4,79 persen penduduk Indonesia atau setara dengan 13 juta penduduk mengalami kerawanan pangan pada 2021, yang salah satunya dapat disebabkan oleh kekurangan produksi pangan dalam negeri.

Kekurangan produksi pangan juga ditunjukkan dengan rata-rata peningkatan impor pangan sebesar 5,98 persen setiap tahun. Padahal, dengan adanya krisis global saat ini, termasuk pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina yang mengguncang perdagangan lintas negara, para ahli mengakui perlunya mencapai swasembada dan ketahanan rantai pasokan.

Menghadapi situasi ini, Indonesia butuh regenerasi di sektor pertanian dan lebih banyak petani muda.

Petani menyiapkan bibit padi di musim rendeng di area persawahan Gedebage, Bandung, Jawa Barat, 15 Desember 2021. TEMPO/Prima Mulia

Mengapa Generasi Muda Enggan Menjadi Petani?

Saya menemukan beberapa faktor yang signifikan mempengaruhi keinginan mahasiswa menjadi petani.

Keakraban atau pengetahuan mahasiswa terhadap aktivitas bertani berpengaruh positif terhadap keinginan mereka menjadi petani. Rata-rata tingkat keakraban mahasiswa IPB terhadap aktivitas bertani hanya sebesar 5,83 dari 10.

Hasil tersebut mengindikasikan bahwa sekalipun mereka adalah mahasiswa di universitas pertanian, bukan berarti mereka mendapat pengetahuan yang cukup perihal aktivitas bertani dari kegiatan belajar di kelas. Aktivitas ini termasuk produksi pertanian di lapangan, baik dalam bercocok tanam, manajemen tenaga kerja, maupun penjualan hasil panen. Sulit bagi mereka membayangkan menjadi petani jika mereka merasa asing dengan aktivitas bertani itu sendiri.

Saya juga menemukan bahwa kepercayaan diri mahasiswa untuk mengambil risiko menjadi faktor yang signifikan di balik keinginan menjadi petani.

Hasil survei yang saya lakukan menunjukkan bahwa rata-rata skala kesediaan mahasiswa mengambil keputusan berisiko apabila mereka menjadi petani hanya berkisar di angka 5,42.

Memang, penelitian menyebutkan bahwa pekerjaan petani memiliki risiko yang lebih besar daripada pekerjaan lain. Petani harus menghadapi beragam tantangan, seperti kegagalan panen karena iklim atau hama, harga yang tidak stabil di pasar, bunga dari pembayaran pinjaman, kecelakaan kerja, dan kesehatan. Tanpa keyakinan yang tinggi untuk mengambil risiko, berat bagi generasi muda untuk memiliki aspirasi menjadi petani.

Sementara itu, dukungan dari orang tua memiliki pengaruh yang positif terhadap keinginan mahasiswa menjadi petani. Terdapat sekitar 47,5 persen mahasiswa yang tidak mendapat dukungan dari orang tua untuk menjadi petani.

Mahasiswa yang mendapat dukungan yang rendah dari orang tua ada kemungkinan terkait dengan faktor lain yang saya temukan berpengaruh terhadap keinginan mahasiswa menjadi petani, yaitu pendidikan ayah. Temuan saya menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan ayah, semakin rendah keinginan anaknya untuk menjadi petani. Hal ini sejalan dengan data yang saya temukan bahwa 48 persen mahasiswa yang ayahnya berpendidikan SMA dan universitas tidak mendapat dukungan dari orang tua untuk menjadi petani.

Saya juga menghubungkan penemuan tersebut dengan faktor lain yang signifikan dalam mempengaruhi keinginan mahasiswa menjadi petani, yaitu pandangan mahasiswa bahwa pekerjaan petani untuk orang yang berpendidikan rendah. Bisa jadi, karena responden adalah mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan tinggi di universitas, mereka (begitu pula orang tuanya) tidak bisa membayangkan untuk menjalani profesi yang lekat dengan stigma pendidikan rendah.

Dukungan untuk tidak menjadi petani ternyata dapat diteruskan antargenerasi. Saya menjumpai mahasiswa yang keinginannya rendah juga akan tidak mendukung anak mereka di masa depan jika ingin menjadi petani.

Terakhir, saat ditanya hal apa yang dapat meningkatkan keinginan mahasiswa untuk menjadi petani, kebanyakan menekankan pentingnya akses terhadap modal dan aset. Hal ini mengindikasikan juga bahwa rendahnya keinginan mereka menjadi petani adalah karena tidak memiliki kecukupan sumber daya untuk memulai usaha bertani.

Petani mengemas tomat saat panen di Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Prima Mulia

Lalu, Bagaimana Meningkatkan Keinginan Mereka Menjadi Petani?

Untuk meningkatkan pengetahuan dan keakraban mahasiswa terhadap aktivitas bertani, universitas dapat bekerja sama dengan petani individu ataupun perusahaan untuk menawarkan program magang kepada mahasiswa. Selain membuat lebih akrab dengan aktivitas bertani, hal ini membuat mahasiswa memiliki sosok mentor untuk ke depannya.

Mentor juga dapat mengenalkan mahasiswa tentang keputusan berisiko apa saja yang harus diambil sebagai petani sekaligus meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa untuk masuk ke sektor pertanian.

Kita juga perlu mengubah persepsi mengenai pekerjaan petani, khususnya bahwa pekerjaan ini hanya untuk mereka yang berpendidikan rendah. Persepsi tersebut harus direm supaya tidak berlanjut ke generasi berikutnya dan membuat semakin sedikit yang ingin menjadi petani.

Pemerintah bisa mulai mempromosikan kampanye bahwa penting bagi Indonesia untuk memiliki petani muda yang berpendidikan tinggi demi mendukung produksi pangan lebih produktif, efisien, dan inovatif. Upaya mengubah persepsi ini perlu mendapat dukungan penuh dari orang tua dan pendidik.

Sekitar 70 persen mahasiswa yang disurvei merasa mendapat dukungan dari dosen untuk menjadi petani. Dukungan tersebut secara signifikan berdampak positif terhadap keinginan mahasiswa menjadi petani. Hal ini perlu ditingkatkan lagi agar keinginan mahasiswa menjadi petani semakin tinggi dan dirasakan oleh semua mahasiswa.

Terakhir, pemerintah perlu meningkatkan program bantuan modal dan aset bagi mahasiswa yang ingin menjadi petani sekaligus secara gencar mempromosikan program tersebut. Sebab, peningkatan keinginan mahasiswa menjadi petani sangat diperlukan untuk menjamin keamanan pangan serta tercapainya swasembada dan ketahanan rantai pasokan.

---

Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus