Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Risiko Aturan Baru Pelanggaran Cukai

Aturan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang bea diharapkan bisa mendongkrak penerimaan negara. Peredaran rokok ilegal malah berisiko meningkat. 

29 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2023 diharapkan bakal meningkatkan efek jera bagi pelanggar aturan bea-cukai.

  • Mekanisme restorative justice dalam aturan baru ini hanya diberikan kepada sejumlah pelanggaran pidana bea-cukai.

  • Adanya mekanisme restorative justice dikhawatirkan membuat produsen dan penjual rokok ilegal kian merajalela.

JAKARTA — Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2023 tentang Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai untuk Kepentingan Penerimaan Negara diharapkan bakal meningkatkan efek jera bagi pelanggar aturan cukai sekaligus mendongkrak penerimaan negara dengan penetapan denda yang lebih besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen Bea dan Cukai) Nirwala Dwi Heryanto menerangkan, dalam beberapa kasus, penerimaan negara dari denda tindak pidana di bidang cukai sangat kecil. Hal itu terjadi karena, biasanya, para terpidana memilih menjalani pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda. "Aturan ini semacam restorative justice bagi pelaku yang sudah dalam tahap pengadilan," ujar Nirwala saat berkunjung ke kantor Tempo, Kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, cukai merupakan instrumen fiskal sehingga penerapan sanksi administratif berupa denda dipandang akan lebih memberikan manfaat dan efek jera. Selama ini Ditjen Bea dan Cukai sebetulnya memiliki mekanisme percepatan penyelesaian perkara pidana di bidang cukai, yakni ultimum remedium. Mekanisme ini, kata Nirwala, bukan menghilangkan unsur pidananya, melainkan mempercepat penyelesaian kasusnya. “Jangan sampai yang pelanggarannya kecil, karena pidana, prosesnya lebih panjang."

PP Nomor 54 Tahun 2023 yang resmi diundangkan pada 22 November 2023 tersebut merupakan produk turunan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang terbit pada 2021. Dengan adanya aturan ini, penyidikan pidana bidang cukai dapat dihentikan dengan beberapa ketentuan. “Dengan ini menteri tidak harus mengurusi pelanggaran cukai, seperti penjualan empat atau lima slof rokok ilegal,” ujar Nirwala.

Dalam aturan tersebut disebutkan tersangka dapat mengajukan penghentian penyidikan kasus cukai. Namun mekanisme restorative justice ini hanya diberikan kepada beberapa pelanggaran aturan cukai. Di antaranya pelanggaran perizinan, pengeluaran barang kena cukai, barang kena cukai tidak dikemas, barang kena cukai yang berasal dari tindak pidana, serta jual-beli pita cukai. 

Untuk menghentikan penyidikan, tersangka diwajibkan membayar sanksi administratif berupa denda empat kali nilai cukai yang seharusnya dibayarkan ke rekening pemerintah yang dikelola Ditjen Bea dan Cukai.

Peredaran Rokok Ilegal Bisa Meningkat

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan ketentuan serupa ultimum remedium dalam aturan ini berpotensi meningkatkan risiko peredaran rokok ilegal. “Para penjual rokok ilegal tidak takut lagi, tinggal bayar sanksi administrasi, risikonya kecil bagi mereka,” katanya, kemarin.

Pengenaan cukai pada rokok dan produk sejenis merupakan instrumen untuk memitigasi kerugian atas dampak kesehatan yang ditimbulkan. Pemerintah menerapkan cukai khusus ini sebagai upaya untuk mengurangi konsumsi rokok dan mendorong masyarakat menjalani hidup sehat. Pabrik-pabrik rokok harus membayar excise tax (pajak khusus) berdasarkan jumlah rokok yang diproduksi atau diimpor.

Cukai rokok saat ini menjadi penyokong pemasukan terbesar bagi penerimaan cukai negara. Data Ditjen Bea dan Cukai menyebutkan 96 persen kontribusi cukai berasal dari produk hasil tembakau. Sementara itu, sebanyak 4 persen sisanya berasal produk lain seperti minuman beralkohol.

Fajry mengkritik aturan baru yang dapat menghentikan penyidikan pelanggaran atas jual-beli pita cukai rokok demi meningkatkan penerimaan negara. Menurut dia, cukai berbeda dengan pajak. “Ada aspek pengendalian dalam cukai, tak bisa disamakan dengan pajak yang fokusnya penerimaan." Menurut dia, para produsen dan penjual rokok ilegal harus diberi efek jera, tak cukup dengan sanksi administrasi untuk penerimaan negara.

Sependapat dengan Fajry, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan pelaku rokok ilegal akan menjadi yang paling diuntungkan oleh aturan ini. “Karena tersangka bisa mengajukan penghentian penyidikan dan terlepas dari kasus pidana. Pelaku yang belum terdeteksi pasti akan lebih berani lagi.” Dampaknya, ia melanjutkan, realisasi penerimaan negara justru bisa berpotensi menurun karena penindakan rokok ilegal bisa melalui sanksi administratif dan terlepas dari pidana.

Peredaran rokok ilegal, menurut Andry, juga bakal semakin masif akibat kenaikan cukai secara eksesif. Hal ini memunculkan fenomena downtrading, yakni masyarakat mencari rokok yang murah. Pilihannya bisa jatuh pada rokok ilegal. Karena itu, menurut dia, dengan adanya aturan ini, semangat Kementerian Keuangan dan Ditjen Bea-Cukai untuk memberantas rokok ilegal justru mengendur. 

ILONA ESTERINA PIRI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus