Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Beban utang pemerintah berpotensi bertambah seiring dengan tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia belum sepenuhnya terasa dampaknya pada stabilisasi rupiah karena masih membutuhkan waktu yang lebih panjang.
Total utang luar negeri pemerintah hingga Juni 2023 mencapai US$ 192,54 miliar, lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya, yang berada di posisi US$ 187,35 miliar..
JAKARTA — Beban utang pemerintah berpotensi bertambah seiring dengan tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Utang luar negeri pemerintah, baik yang bersumber dari pinjaman bilateral, multilateral, maupun Surat Berharga Negara (SBN) dan denominasi valuta asing atau global bond, bakal melonjak meski pemerintah tak menambah utang baru.
Sebab, kalkulasi pendapatan dan pembayaran utang selama ini dilakukan dengan mengacu pada rupiah. Maka, ketika rupiah melemah, beban anggaran untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang luar negeri pun bertambah.
“Melihat asumsi makro pemerintah bahwa (nilai tukar) rupiah ada di 15 ribu per dolar AS pada tahun ini, tapi kemudian terjadi depresiasi hingga menembus 16 ribu per dolar AS, kenaikan biayanya bisa mencapai 8 persen,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, kepada Tempo, kemarin.
Kurs tengah Bank Indonesia atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) kemarin tercatat mencapai 15.636 per dolar AS. Nilai tersebut merangkak dibanding sehari sebelumnya di level 15.600 per dolar AS. Adapun nilai tukar rupiah ditutup melemah 54 poin ke level 15.634 per dolar AS dalam perdagangan kemarin sore.
Uang pecahan 100 dolar Amerika di penukaran valuta asing di Jakarta, 4 Oktober 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Tauhid, pemerintah harus mengkompensasi kenaikan biaya akibat pelemahan rupiah itu dengan melakukan lindung nilai alias hedging. Salah satu strategi yang selama ini diterapkan adalah melakukan natural hedging dengan menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran sehingga tidak terjadi lonjakan keperluan kas. “Di sisi lain, pendapatan APBN dari bea masuk dan bea impor juga tergerus karena pengaruh pelemahan nilai tukar ini. Hal itu membuat penerimaan negara berkurang,” kata dia.
Merujuk pada data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) oleh Bank Indonesia, total utang luar negeri pemerintah hingga Juni lalu mencapai US$ 192,54 miliar, lebih tinggi dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya, yakni US$ 187,35 miliar. Sebanyak US$ 55,37 miliar merupakan pinjaman yang terdiri atas pinjaman bilateral US$ 17,35 miliar, komersial US$ 3,58 miliar, dan multilateral US$ 34,43 miliar. Berikutnya adalah surat utang sebesar US$ 137,17 miliar, terdiri atas SBN internasional sebesar US$ 80,71 miliar dan SBN domestik US$ 56,45 miliar.
Dibedah berdasarkan mata uang yang digunakan, utang berdenominasi dolar AS mendominasi, yaitu mencapai US$ 95,34 miliar, dengan negara kreditor atau pemberi pinjaman terbesar adalah AS, yaitu senilai US$ 20,93 miliar. Adapun sejumlah SBN internasional tercatat bakal jatuh tempo dalam waktu dekat. Di antaranya SBN seri RI0124 dengan nilai US$ 2 miliar yang jatuh tempo pada Januari 2024 serta berikutnya RI0224 senilai US$ 0,75 miliar yang jatuh tempo pada Februari 2024.
Pemerintah dan Bank Indonesia tidak tinggal diam dan berupaya memitigasi pelemahan rupiah yang signifikan. Di antaranya mengintervensi di pasar keuangan hingga mengoptimalkan segala instrumen yang telah dirilis bank sentral, seperti implementasi kebijakan menahan devisa hasil ekspor sumber daya alam (SDA) hingga penerbitan sekuritas rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk menarik investor asing.
Tempat penukaran mata uang asing di Jakarta, 4 Oktober 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengimbuhkan kebijakan ini belum sepenuhnya terasa dampaknya pada stabilisasi rupiah karena masih membutuhkan waktu yang lebih panjang. “Instrumen yang ada harus terus dikuatkan untuk menarik aliran modal asing masuk serta mendorong terjaganya suplai valas di domestik,” kata dia.
Kebijakan parkir DHE resmi diberlakukan pada 1 Agustus 2023, merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam pada 14 Juli 2023.
Bank sentral sebelumnya yakin DHE yang akan masuk ke sistem keuangan Indonesia bakal tinggi karena eksportir diwajibkan menyimpan 30 persen devisanya minimal selama tiga bulan sesuai dengan ketentuan. Menurut Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, jika kepatuhan para eksportir mencapai 90 persen, DHE yang masuk dapat mencapai US$ 9,2 miliar per bulan. “Perkiraan ini tentu akan sangat bergantung pada tingkat kepatuhan eksportir. Tapi ini diproyeksikan baru masuk secara penuh pada Desember. Jadi, perlu sekitar tiga bulan untuk optimalnya,” ucapnya.
Di sisi lain, tutur Perry, jika tingkat kepatuhan hanya 75 persen, DHE yang masuk diperkirakan US$ 8 miliar per bulan. Dan jika tingkat kepatuhan hanya 50 persen, DHE yang masuk berkisar US$ 5 miliar per bulan. “Jadi, rata-ratanya kami optimistis bisa US$ 8-9 miliar per bulan.”
Perry mengatakan manfaat kebijakan DHE ini, antara lain, juga untuk kebutuhan pembiayaan ekonomi dengan memastikan ketersediaan likuiditas valas yang memadai agar utang luar negeri tidak meningkat. Berikutnya, untuk mendorong penghiliran dan pendalaman pasar uang dalam negeri.
Sementara itu, instrumen surat utang baru bank sentral, yaitu SRBI, telah meluncur pada 15 September lalu. Instrumen ini menawarkan tenor jangka pendek, dari 1 pekan hingga 12 bulan, yang diharapkan mampu menggaet investor asing ataupun domestik.
Pada lelang perdana, permintaan SRBI mencapai Rp 29,9 triliun atau 4,25 kali target lelang Rp 7 triliun. Berikutnya, lelang kedua yang ditargetkan sebesar Rp 5 triliun menghasilkan penawaran 3,12 kali lipat, yaitu Rp 15,6 triliun. “Bank Indonesia akan terus menginovasi kebijakan moneter, termasuk memastikan inflasi terkendali dan nilai tukar rupiah stabil,” ujar Perry.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo