Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah organisasi masyarakat sipil (NGO) di Uni Eropa mengungkap hubungan antara lembaga keuangan dan kerusakan lingkungan hidup. NGO itu terdiri dari Greenpeace International, Friends of the Earth Belanda, dan lembaga NGO lain di Uni Eropa. Laporan itu bertajuk “Uni Eropa Membiayai Perusakan Ekosistem” atau EU Bankrolling Ecosystem Destruction .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan laporan data yang disusun oleh lembaga riset Profunda, mereka membuktikan ada sekitar US$ 1.257 triliun atau Rp 19.842 triliun kredit global mengalir ke grup-grup peruhasaan di sektor yang berisiko terhadap ekosistem dan iklim. Selain itu, seperlima dari kredit global atau sekitar €256 miliar (sekitar Rp 4.394 triliun) di antaranya berasal dari lembaga-lembaga keuangan di 27 negara anggota Uni Eropa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendanaan itu kemudian mengalir ke 135 perusahaan atau pemain utama di sektor yang berisiko terhadap lingkungan hidup. Misalnya, kedelai, peternakan, kelapa sawit, karet, kayu, dan komoditas lainnya yang berpotensi tinggi merusak ekosistem.
Perusahaan besar yang dimaksud seperti JBS asal Brasil, Cargill asal Amerika Serikat, dan Royal Golden Eagle serta Sinarmas asal Indonesia. Dua peruhasaan asal Indonesia itu diinformasikan tak membenarkan maupun menampik tudingan soal penerimaan dana dari lembaga keuangan di Uni Eropa. Namun, mereka mengklaim telah mengadopsi bisnis berkelanjutan. Keduanya juga membantah terlibat dalam deforestasi serta kebakaran hutan dan lahan.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Ali Arta Siagian, mengatakan Uni Eropa dan Indonesia perlu memperketat regulasi untuk lembaga-lembaga keuangan tersebut. Agar mereka lebih bertanggung jawab dan tidak membiayai kerusakan lingkungan.
Oleh karena itu, Walhi dan Greenpeace Indonesia mengimbau lembaga keuangan di Indonesia untuk merefleksikan laporan tersebut. Sebab mereka menilai kebijakan keuangan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih jauh dari ideal.
"Temuan laporan ini harus menjadi perhatian khusus gugus tugas EUDR yang beranggotakan Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa, untuk memastikan aliran dana investasi ini hanya disalurkan untuk mengembangkan pekebun kecil dan rantai pasok yang bebas deforestasi," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas.
Ia berharap perbankan Uni Eropa tidak lagi mendanai peruhasaan yang terlibat perusakan lingkungan. Begitupun dengan pemerintah Indonesia yang seharusnya memastikan tidak ada lagi deforestasi.
"Karena ini besar sekali kontribusinya memperparah krisis iklim,” kata dia.