Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH menjadi tradisi di pasar finansial, dolar Amerika Serikat dan emas selalu menjadi tempat berlindung dalam situasi kalut. Maka jangan bingung jika belakangan ini harga dolar Amerika dan emas merosot justru ketika kabar baik tentang keberhasilan vaksin untuk mengatasi pandemi Covid-19 mulai muncul. Persepsi bahwa situasi sudah aman membuat investor mulai keluar dari tempat pengungsian, melepas dolar dan emas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para analis bahkan memprediksi tren pelemahan dolar berlangsung panjang hingga tahun depan. Pasar yang tidak lagi tertekan kepanikan akan kembali bergerak mengikuti berbagai faktor yang lebih fundamental. Harga-harga aset akan bergantung pada sentimen yang lebih rasional, bukan lagi kepanikan emosional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taruhlah dolar Amerika Serikat, sebagai misal. Kebijakan The Federal Reserve yang habis-habisan mencetak likuiditas dolar agar pasar tidak kolaps tentu berdampak pada kemerosotan nilainya. Demikian pula niat The Fed menjaga suku bunga tetap serendah-rendahnya, entah sampai kapan. Dua faktor fundamental ini membuat dolar kehilangan daya tarik dalam situasi tenang, ketika tidak ada lagi kedaruratan yang mendesak investor mencari perlindungan.
Luruhnya dolar Amerika tecermin pada Indeks Dolar, yang mencerminkan nilai dolar Amerika terhadap enam mata uang utama dunia. Pada pertengahan Maret, di puncak kepanikan pasar saat wabah meledak, Indeks Dolar melejit menjadi 102,82. Pada akhir pekan, Jumat, 20 November lalu, Indeks Dolar cuma 92,35, sudah merosot 10,2 persen dari titik tertinggi pertengahan Maret itu.
Kendati demikian, investor di Indonesia yang memegang aset dalam rupiah harus waspada. Pergerakan nilai rupiah terhadap dolar Amerika sejak awal November ini ternyata tidak berjalan seirama dengan pelemahan dolar terhadap mata utama dunia. Memang, rupiah juga sempat menguat. Namun apresiasi rupiah terbatas saja, belum sempat menyentuh titik terkuat tahun ini ketika pasar belum panik, sekitar 13.600 per dolar. Penguatan rupiah seolah-olah terhenti ketika hendak menyentuh kurs 14 ribu.
Bahkan nilai rupiah kemudian terperosok lagi setelah Bank Indonesia memangkas suku bunga rujukannya, BI 7-day Reverse Repo Rate, sebesar 0,25 persen menjadi 3,75 persen, Kamis, 19 November. Setelah itu, rupiah kembali melemah mendekati 14.200 per dolar Amerika ketika pasar Jakarta tutup pada 20 November.
Kembalinya rupiah ke tren melemah menunjukkan satu hal: Indonesia masih tersandera pasar yang tetap menuntut bunga tinggi. Meski kondisi fundamental sebetulnya bagus untuk penurunan bunga, inflasi sudah sedemikian rendah, dan neraca transaksi berjalan secara kuartalan di kuartal II 2020 mencatat surplus US$ 964 juta, pasar tetap tidak puas jika bunga turun.
Inilah warisan pandemi Covid-19 yang akan terus membebani ekonomi kita hingga bertahun-tahun mendatang. Meledaknya defisit anggaran pemerintah untuk mengatasi wabah, yang harus dibiayai secara langsung oleh BI, membuat keyakinan pasar pada rupiah tak lagi sekuat dulu. Sebagai kompensasi, investor menuntut imbalan lebih besar untuk investasi dalam rupiah.
Masih lemahnya selera investor asing untuk berinvestasi ke obligasi pemerintah RI berdenominasi rupiah bisa menjadi salah satu indikator belum pulihnya keyakinan itu. Sebelum pandemi meledak, awal Februari lalu, posisi investor asing senilai Rp 1.071 triliun. Ketika pasar panik, dana asing berhamburan keluar hingga posisi ini menyentuh titik nadir Rp 921 triliun, April lalu. Per 18 November lalu, posisinya masih Rp 960 triliun, masih jauh dari pulih.
Meledaknya defisit anggaran pemerintah akan menjadi beban panjang. Maka, meskipun pasar mulai menghitung bahwa nilai dolar Amerika akan terus merosot hingga tahun depan, investor di Indonesia tidak bisa terlalu berharap banyak bahwa rupiah akan turut menguat.
Beban ini juga membuat BI tak leluasa memainkan kebijakan bunga sebagai pendorong ekstra untuk menggairahkan ekonomi. Ini resep klasik sebetulnya: bunga rendah akan membuat ekonomi lebih bergairah. Namun, karena beban warisan Covid itu, bunga rendah juga dapat membuat rupiah kian merana.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo