Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Saatnya Mewujudkan Bank Tanah

Di bawah tekanan suku bunga tinggi, pasar properti diprediksi tetap berkembang. Apartemen kelas menengah paling banyak diminati.

3 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RANCANGAN Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (RUU Tapera) kandas disahkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014. Pasalnya, Menteri Keuangan saat itu, Muhamad Chatib Basri, menolak draf rancangan undang-undang inisiatif DPR dimajukan ke sidang paripurna.

Ketentuan ini mengatur kewajiban tabungan perumahan bagi setiap warga negara berpenghasilan. Simpanan ini nantinya dikelola negara dan digunakan sebagai dana jangka panjang menyubsidi warga yang ingin membangun tempat tinggal.

Ketua Panitia Khusus RUU Tapera Yosep Umar Hadi menilai penolakan itu sebagai akal-akalan untuk tak melanjutkan pembahasan. Menurut dia, sikap enggan berulang kali ditunjukkan Kementerian Keuangan selama dua tahun pembahasan aturan ini. Kementerian Keuangan dan Kementerian Perumahan Rakyat juga sering berbeda pendapat. "Antarpemerintah tidak kompak," katanya Rabu tiga pekan lalu.

Ali Tranghada, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, menilai gagalnya pengesahan RUU Tapera menggambarkan masih buramnya sektor properti di kelas menengah ke bawah. Padahal defisit kebutuhan hunian mencapai 15 juta unit.

Namun optimisme subsektor perumahan akan kembali terangkat seiring dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ali yakin Kalla akan kembali menghidupkan pembangunan 1.000 tower rumah susun sederhana milik (rusunami) yang tidak sukses digulirkan saat dia menjabat pada periode 2004-2009. Ketika itu, realisasi pembangunan 1.000 tower rumah susun murah kurang dari 35 persen.

Program yang dicanangkan pemerintah ini gagal karena harga jualnya naik tajam dan tidak terjangkau rakyat kecil. Dua proyek yang meleset adalah rusunami Kalibata City dan Green Pramuka City. Menurut Ali, agar hunian rusunami benar-benar terjangkau, ke depan pemerintah harus terlibat aktif mengontrol harga. Jika peran ini bisa diwujudkan, industri properti di kelas ini akan menggeliat sepanjang pemerintahan baru mendatang. "Syaratnya pemerintah harus menyediakan bank tanah," ujarnya.

Dia menjelaskan, bank tanah menjadi faktor penolong di tengah harga tanah yang makin menggila. Tingginya harga tanah inilah yang menyebabkan hunian kelas atas juga menjadi pasar jenuh. Hunian kelas atas masih terkonsentrasi di Jakarta dan sekitarnya, terutama kawasan Bumi Serpong Damai dan Alam Sutera di Kota Tangerang Selatan, Summarecon di Kabupaten Tangerang dan Kota Bekasi, serta Sentul di Kabupaten Bogor.

Harga tanah di Alam Sutera sudah mencapai Rp 17 juta per meter persegi dan di Summarecon Tangerang Rp 15 juta per meter persegi. Menurut dia, tingginya harga tanah menguntungkan pengembang, tapi juga sebagai jebakan. Pengembang akan kesulitan membangun hunian rumah konvensional (landed house). Situasi ini lebih dulu terjadi di Jakarta, yang harganya menjulang tinggi. "Pilihannya hanya membangun vertikal, seperti apartemen dan kondominium," kata Ali.

Dengan fenomena tersebut, Ali memprediksi peningkatan pertumbuhan tertinggi ada pada hunian apartemen dan kondominium. Gairah membeli apartemen dan kondominium terlihat tinggi untuk daerah Jakarta dan sekitarnya. Bahkan di sekitar Jakarta, seperti di Serpong, Tangerang, dan Bekasi, mulai tumbuh tower apartemen.

Kendati demikian, pertumbuhan apartemen dan kondominium ditopang oleh permintaan yang tinggi di sekitar kawasan bisnis. Riset perusahaan konsultan bisnis properti, Jones Lang LaSalle, menyebutkan penyerapan pasar kondominium melonjak 20 persen di sekitar Jakarta dengan total angka penjualannya mencapai 12 ribu unit hingga kuartal ketiga tahun ini.

Adapun permintaan terhadap hunian konvensional kelas atas, Ali memprediksi akan menurun. Geliat pasar hunian kelas atas pada 2009-2010 telah berimbas menjadikan pasar di kelas itu semakin jenuh. Harga rumah di beberapa kawasan bahkan sudah terlampau mahal.

Ali memberi ilustrasi. Harga rumah baru kelas A sebesar Rp 1,2 miliar pada 2009. Pada 2011, rumah baru yang sama sudah dibanderol Rp 2,7 miliar. Anehnya, harga rumah jenis sama yang dibangun pada 2011 (pasar sekunder) harganya Rp 2,3 miliar. Menurut dia, fenomena ini mengindikasikan para pengembang menggoreng harga properti.

Akibat ulah permainan harga itu, konsumen akan beralih ke segmen menengah. Menurut Ali, hunian kelas menengah-atas dengan harga Rp 500 juta-Rp 1 miliar akan banyak diincar. "Menjadi primadona tahun depan," ujarnya.

Direktur Strategis Jones Lang LaSalle, Herully Suherman, mengatakan apartemen dan kondominium kelas menengah juga semakin banyak peminat. Banyak kondominium yang dibangun di area luar Jakarta, seperti Bintaro dan Alam Sutera di Kota Tangerang Selatan, Bekasi, bahkan Balaraja, Kabupaten Tangerang. Area ini termasuk kawasan permukiman menengah.

Riset Jones Lang LaSalle menyebutkan angka penjualan kondominium tingkat menengah naik drastis. Total angka penjualan mencapai sekitar 6.500 unit, naik dari 4.500 pada tahun lalu. "Banyak yang memutuskan membeli unit kelas menengah sebagai investasi jangka panjang," katanya.

Selain itu, bisnis properti sektor hunian akan dipengaruhi tingkat suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR). Kebijakan Otoritas Jasa Keuangan yang membatasi suku bunga deposito, dinilai Ali, akan menurunkan suku bunga KPR. "Akan menggairahkan," ucapnya. "Namun tergantung pasokannya ada atau tidak."

Kepala Riset PT Property Connection Indonesia Anton Sitorus mengatakan suku bunga KPR di Indonesia sangat tinggi berkisar 13-14 persen. Sebelum mencapai kisaran itu, bunga KPR mencapai 7-8 persen dan paling tinggi 11 persen. "Kalau naik lagi, akan berimbas negatif ke masyarakat," katanya.

Lesunya sektor hunian diikuti permintaan sektor perkantoran di kawasan bisnis (CBD). Head of Markets Jones Lang LaSalle, Angela Wibawa, mengatakan bisnis ruang perkantoran tahun depan dibayangi anjloknya permintaan ruang kantor di CBD sebesar 37 persen pada kuartal ketiga tahun ini. "Ini akibat sedikitnya suplai ruang kantor baru," ujarnya.

Namun geliat sektor perkantoran justru meletup di luar kawasan bisnis, terutama di kawasan Jalan Tahi Bonar Simatupang, Jakarta Selatan. Direktur Riset Colliers International, Ferry Salanto, mengatakan riset lembaganya menemukan ada 16 gedung perkantoran baru di jalan itu yang dalam pengerjaan ataupun tahap perencanaan sepanjang 2014-2017.

Country Head Jones Lang LaSalle Indonesia Todd Lauchlan memprediksi pertumbuhan bisnis properti di pasar domestik bisa mencapai 20-30 persen. Ali punya hitungan berbeda. Pertumbuhan properti paling tinggi pada 2009 hingga awal 2013 mencapai 50-60 persen. "Tahun ini hanya 10-15 persen," katanya. "Era booming properti sudah lewat."

Akbar Tri Kurniawan, Yolanda Ryan Armindya, Amirullah, Pingit Aria

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus