BANYAK kritik dikemukakan Menteri Keuangan Radius Prawiro ketika
ia pekan lalu menyerahkan tiga naskah Rancangan Undang-undang
(RUU) mengenai perpajakan kepada DPR. Kata Menteri, sistem
perpajakan yang kini berlaku ternyata "sangat rumit dan sukar
dipahami, baik oleh pemungut maupun pembayar pajak." Bahkan
tingginya tarif Pajak Pendapatan (PPd) perorangan, antara 10%
dan 50%, malah menimbulkan rangsangan besar untuk
menghindarinya. Buktinya, 90% penerimaan PPd yang punya 10
lapisan itu, kata Menteri, justru datang dari gaji karyawan yang
dipotong oleh perusahaannya.
Bertolak dari kenyataan itu, pemerintah akhirnya berusaha
menyederhanakan tarif dan lapisan kena pajak. Dalam pengaturan
mengenai pajak perorangan dan badan usaha yang dituangkan dalam
satu naskah, yakni RUU Pajak Penhasilan 1984, pendapatan kena
pajak hanya terdiri dari tiga lapisan dengan tarif 15%, 25%, dan
35%. Sedang yang sekarang ada terdiri dari 58 tarif: PPd
perorangan dengan tarif 10%-50% punya 10 lapisan, dan Pajak
Perseroan (PPs) dengan tarif 20%-45% punya 48 lapisan. "Walaupun
sistem sekarang cukup progresif, dalam pelaksanaan dirasakan
tidak memenuhi sasarannya," ujar Menteri Radius.
PPs yang dapat dipungut pada tahun anggaran lalu memang hanya Rp
674,5 milyar dari sasaran Rp 822,5 milyar. Karena itu, perbaikan
diperlukan, apalagi mengingat kenaikan penerimaan dalam negeri
di luar pajak minyak tampak pelan, jika dibandingkan pajak
minyak (lihat grafik). Seperti diketahui, peranan pajak
nonminyak ini hanya mencapai 6% dari produk domestik bruto yang
Rp 61,7 milyar tahun lalu - padahal peranannya dua tahun lalu
masih 9%.
Dalam RUU mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang-barang Mewah, penyederhanaan tarif
dan struktur pemungutan pajak juga tampak dilakukan. Untuk obyek
pajak barang umum, rancangan itu hanya mengenal dua tarif - 0%
dan 10%. Ketentuan tarif baru itu dianggap cukup maju jika
dibandingkan dengan peraturan sekarang yang mengenal delapan
tarif atas perdagangan dalam negeri, dan enam tarif atas usaha
impor.
Tarif yang sederhana ini, kata Menteri Radius, akan gampang
dilaksanakan karena mudah diDahami, baik oleh pemungut maupun
pembayar pajak. Jadi, kalau misalnya harga suatu barang eks
pabrik Rp 1.000, dan sesudah melalui pedagang besar, lalu
pengecer, dan akhirnya sampai ke konsumen menjadi Rp 1.500, maka
jumlah pajak yang masuk ke barang itu hanya Rp 100. Atau 10%
dari harga jual eks pabrik. Jadi, Jumla pajak yan ditanggung
konsumen hanya Rp 100 atas harga akhir eks pengecer Rp 1.500.
Karena pembayaran pajak secara kredit diperbolehkan dalam sistem
baru itu, maka pungutan berganda diharapkan pula akan lenyap.
Jadi, suatu perusahaan pengolahan yang sebelumnya dipungut
pajak atas bahan baku yang dibelinya kelak bisa memotongkan
jumlah pajak yang dibayarnya itu jika menjual hasil produksinya.
Dengan kata lain, pungutan pajak tidak akan dikenakan lagi pada
setiap perpindahan barang seperti terjadi kini, yang hanya
memberatkan konsumen. Diharapkan pula, kata Menteri Radius,
perusahaan-perusahaan tidak akan terdorong lagi melakukan
integrasi vertikal demi menghindari pajak berganda.
Berbeda dengan ketentuan sebelumnya, kini pemerintah kelihatan
berusaha memperlakukan barang mewah secara khusus, dengan
memberlakukan tarif pajak penjualan 10% dan 20%. Jika
diperlukan, tarif ini bisa diubah jadi serendah-rendahnya 5%,
dan setinggi-tingginya 30%. Pajak penjualan sebesar itu
dikenakan sebagai tambahan atas Pajak Pertambahan Nilai Barang,
dan bukan sebagai pengganti dari pajak itu. Karena itu, Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dipungut secara bersama dengan
Paii jak Pertambahan Nilai.
Sasaran pembebanan pajak yang tinggi itu, menuj rut penjelasan
RUU itu, ditujukan "untuk mengurangi pola konsumsi mewah."
Adapun barang-barang yang dikelompokkan mewah itu, antara lain
alat olah raga, misalnya golf, kendaraan bermotor, kamera, kapal
pesiar, organ, dan kelompok barang yang membahayakan lingkungan
hidup, seperti senapan angin. Banyak pihak tentu akan tidak
setuju dengan pengelompokan ini. Misalnya truk dan kendaraan
maga lainnya, juga motor, tak blsa dibilang "mewah" zaman
sekarang. Untuk mencegah perbedaan penafsiran mengenai mewah
tidaknya suatu barang, pemerintah akan mengeluarkan suatu
peraturan dalam penggolongan itu.
Tapi, jika barang mewah dan barang umum tadi diekspor, semua
pajak yang membebaninya bisa diminta kembali atau, dengan kata
lain, semua barang ekspor hakikatnya dibebaskan dari pajak.
Dengan beleid semacam itu - di dalam harga barang ekspor tidak
termasuk beban pajak - diharapkan oleh pemerintah "barang ekspor
bisa lebih bersaing di pasaran internasional." Belum jelas benar
apakah beleid itu kelak akan menghapuskan pelbagai pungutan di
daerah atas pelbagai komoditi dan barang ekspor.
Yang sudah pasti, menurut rancangan itu, pengusaha kecil yang
menghasilkan dan menjual barang atau memberikan jasa langsung
kepada pemakai dibebaskan dari pajak. Toh ada juga sejumlah
kalangan yang meragukan aparat pemerintah akan mampu menangani
pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah itu. Sebuah organisasi besar yang
rumit dengan pengawasan ketat, kata sumber itu, jelas diperlukan
untuk, misalnya, melaksanakan pengembalian beban pajak atas
barang yang diekspor. Tapi, untuk itu, "aparat pajak belum siap
bahkan rencana pendidikandan usaha komputerisasi hingga kini
belum dilakukan," katanya.
Kalangan ini juga mengkritik rencana pemerintah, seperti
tertuang dalam RUU Pajak Penghasilan, yang meniadakan sama
sekali fasilitas pajak untuk PMA dan PMDN. Pencabutan fasilitas
pajak itu, kata mereka, justru hanya akan menyebabkan Indonesia
bukan lagi jadi tempat menarik. Benarkah?
Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Suhartoyo justru
melihat rancangan ItU, yang mengenakan tarif maksimum 35%, masih
menguntungkan pengusaha. Ambil contoh sebuah PMA, yang dikenai
tarif maksimum 45% dan masa bebas pajak enam tahun, selama 30
tahun berusaha praktis harus membayar pajak 1.080%. Tapi, dengan
ketentuan baru, yang tarif maksimumnya 35%, pengusaha selama 30
tahun hanya bayar pajak 1.050%.
Keringanan sebesar 30% itu, menurut Suhartoyo, "masih tetap
merupakan rangsangan." Tapi keharusan membayar pajak mulai tahun
pertama produksi itu, menurut dia, jelas akan banyak-
"mengganggu perputaran arus uang." Maklum, jika sebelumnya
mereka bisa memanfaatkan laba perusahaan untuk modal kerja, maka
kelak laba itu akan banyak habis dimakan pajak. Tapi pengenaan
pajak itu tentu tidak dilakukan terhadap perusahaan, yang
biasanya pada tahun pertama dan kedua merugi.
Kendati tarif dalam RUU Pajak Penghasilan lebih rendah, obyek
yang kena pajak kelak semakin bertambah lebar. Penghasilan dari
modal berupa harta bergerak, seperti bunga, dividen, royalti,
dan penghasilan dari modal berupa harta tak bergerak, seperti
rumah, kelak juga kena pajak. Dengan kata lain, pembebasan pajak
untuk deposito berjangka, sampai pun tabanas,dan taska, serta
keringanan pajak bagi perusahaan yang memasyarakat, ditiadakan
sama sekali.
Mungkin saja ketentuan dalam RUU Pajak Penghasilan itu kelak
akan membuat orang lebih senang menyimpan uang di bawah bantal,
misalnya denan cara membeli emas. Bagi Sutadi Sukarya, ketua
Badan Pelaksana Pasar Modal, peniadaan keringanan pajak untuk
perusahaan yang go public, "bukan satu-satunya yang mempengaruhi
pasar modal.
Menurut dia, bukan tak mungkin ada perusahaan yang tertarik
menjual saham karena diizinkan melakukan perluasan usaha. Apapun
akibatnya kelak, kata Sutadi, "yang lebih sehat memang jika
pengecualian dari ketentuan pokok, seperti pembebasan dan
keringanan pajak, dihilangkan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini