Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Sejarah Food Estate, Proyek Ketahanan Pangan Prabowo yang Dikritik PDIP

Sejarah food estate, program ketahanan pangan yang terdiri dari tiga era, di masa pemerintahan Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga Jokowi.

18 Agustus 2023 | 17.50 WIB

Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Bupati Keerom Piter Gusbager (kiri) usai memanen jagung di kawasan lumbung pangan (food estate) Kampung Wambes, Distrik Mannem, Keerom, Papua, Kamis, 6 Juli 2023. ANTARA/Sakti Karuru
Perbesar
Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Bupati Keerom Piter Gusbager (kiri) usai memanen jagung di kawasan lumbung pangan (food estate) Kampung Wambes, Distrik Mannem, Keerom, Papua, Kamis, 6 Juli 2023. ANTARA/Sakti Karuru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyebut proyek food estate yang dicanangkan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto masuk dalam kategori kejahatan lingkungan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Dalam praktiknya, kebijakan itu ternyata disalahgunakan, kemudian hutan-hutan justru ditebang habis, dan food estate-nya tidak terlaksana dengan baik. Itu merupakan suatu kejahatan terhadap lingkungan,” ucap Hasto di Bogor, Selasa, 15 Agustus 2023. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Merujuk pada Peraturan Presiden No. 108 Tahun 2022 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2023, food estate tergolong proyek prioritas strategis pemerintah dengan anggaran sebesar Rp 235,46 miliar. Proyek lumbung pangan yang sedang digarap pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi tersebut merupakan tanggung jawab Menhan Prabowo

Lantas, bagaimana asal-usul program food estate? 

Sejarah Food Estate

Dilansir dari situs Loka Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Pangandaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes), program food estate atau ketahanan pangan terdiri dari tiga periode, yaitu food estate era I, food estate era II, dan food estate era III. 

1.    Program Food Estate Era I

Melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 82 Tahun 1995, Presiden ke-2 Republik Indonesia (RI) Soeharto mencanangkan Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah. Keberadaan PLG tersebut pada akhirnya dinyatakan selesai dan gagal pada 1998 melalui Keppres No. 33 Tahun 1998 di masa kepemimpinan BJ Habibie. 

PLG dinilai tidak berjalan dengan baik lantaran kurangnya kajian sosio-ekologi pada ekosistem gambut. Dalam pelaksanaannya, ditemukan adanya ketidaksesuaian kondisi lahan gambut yang rusak dengan keadaan sosial budaya masyarakat lokal. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut justru menambah beban biaya penanggulangan bencana, sehingga menguras keuangan negara. 

Keberadaan lumbung pangan juga gagal dibangun dan justru sebagian wilayahnya berubah menjadi perkebunan sawit hingga ini. Ironisnya, proyek food estate itu menelan anggaran Rp1,7 triliun dari Dana Reboisasi (DR) yang seharusnya diperuntukkan bagi pemulihan hutan. 

Tak hanya itu, pemerintah melalui Keppres No. 80 Tahun 1999 pun mengalokasikan dana untuk membayar ganti rugi kepada yang terdampak. Begitu pula dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2007, dana sebesar Rp3,9 triliun digelontorkan untuk merehabilitasi lahan gambut, tetapi tidak ada kejelasan mengenai penggunaan di lapangan. 

2.    Program Food Estate Era II

Sejaran food estate versi kedua terjadi di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Program bertajuk Merauke Integrated Energy Estated (MIFEE) tahun 2010 tersebut diterbitkan melalui Inpres No. 5 Tahun 2009 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009 serta Inpres No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. 

Inti dari proyek MIFEE adalah membuka lahan seluas 1,2 juta hektare untuk sawah di Merauke, Papua. Tujuan utamanya supaya memperkuat cadangan pangan dan bioenergi untuk memantapkan serta melestarikan ketahanan pangan nasional. 

Dalam implementasinya, program food estate MIFEE justru menghancurkan hutan sagu rakyat. Akibatnya, masyarakat lokal mengalami kesulitan mendapatkan bahan pangan, seperti sagu, daging rusa, daging babi, dan ikan, setelah hutan-hutannya dikonversi. 

Tak berhenti di situ, SBY juga menyelenggarakan program ketahanan pangan Bulungan, Kalimantan Utara pada 2011. Serupa dengan MIFEE, proyek dilakukan dengan membuka lahan untuk sawah seluas 30.000 hektare. Program itu diproyeksikan untuk membangun lahan transmigrasi di kawasan Kota Terpadu Mandiri Salim Batu. 

Program food estate selanjutnya di Ketapang, Kalimantan Barat pada 2013. Dengan menyediakan 100.000 hektare, hanya sekitar 0,11 persen lahan yang berhasil dimanfaatkan. Ketidakberhasilan proyek lumbung pangan tersebut disebabkan oleh ketidaksesuaian sosial budaya masyarakat dan belum tersedianya infrastruktur pendukung. 

3.    Program Food Estate Era III

Presiden Jokowi mulai menggarap proyek ketahanan pangan dengan menyiapkan 30.000 hektare lahan di Kalimantan pada 2020. Sebanyak 20.000 hektare lahan sawah yang digunakan berasal dari bekas Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar warisan Soeharto. Sedangkan sisanya merupakan hasil pembukaan lahan baru di Pulang Pisang (daerah transmigrasi).

Program food estate dilaksanakan dengan metode intensifikasi sistem pengairan. Untuk mempercepat seluruh kebutuhan pertanian, meliputi bibit, pupuk, dan mesin-mesin telah disediakan pemerintah. Selain itu, prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilatih untuk selanjutnya dikaryakan menjadi petani. 

Pada 2021, Jokowi juga mulai menggaungkan program untuk mencetak cadangan karbohidrat. Adapun proyek yang dijalankan berupa membuka perkebunan singkong seluas 31.000 hektare di daerah Gunung Mas. Tak bekerja sendiri, Indonesia menggandeng Korea Selatan dengan melakukan investasi penawaran singkong sebagai pengganti gandum. 

Hasilnya, kondisi alam menjadi terganggu karena 600 hektare hutan alam beralih fungsi. Sebanyak 61.000 ton karbon yang dilepaskan telah menyebabkan bencana banjir di sejumlah daerah yang sebelumnya tidak pernah terjadi. 

Kemudian, program food estate yang dihadirkan Jokowi dilaksanakan di Humbang hasundutan, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dan Pakpak Bharat. Lahan seluas 30.000 hektare disiapkan dan diberikan kepada petani. 

Dalam implementasinya, petani terikat kontrak kerja sama, yaitu diberi 3 hektare lahan, alat, dan bahan kebutuhan pertanian. Jenis tanaman yang dibudidayakan juga berasal dari bibit pemerintah. Bahkan pola cocok tanam dilaksanakan sesuai aturan pemerintah. Nantinya, hasil panen akan dibeli oleh koperasi dengan harga yang sudah ditentukan. 

Namun fakta di lapangan menunjukkan, pengelolaan pengadaan alat, bibit, dan pupuk program food estate diserahkan kepada korporasi swasta. Bibit yang diberikan bukan untuk pemenuhan pangan rakyat, tetapi untuk keperluan industri. Imbasnya, petani lebih memilih untuk menjual hasil panen ke pasar karena memiliki harga jual lebih tinggi. 

Prabowo Disebut Punya Kepentingan di Proyek Food Estate

Sebelumnya, Hasto juga menyatakan terdapat kepentingan pribadi dalam implementasi program Food Estate. Hasto menyinggung soal PT Agro Industri Nasional (Agrinas) sebagai pelaksana program Food Estate Menurut Hasto, perusahaan ini diisi oleh orang yang berhubungan dengan Prabowo.

"Vested of interest, sehingga dibentuk misalnya PT Agrinas yang diisi oleh sahabat-sahabat dan juga (anggota) partai-partai politik yang seharusnya tidak ikut campur tangan dalam menggunakan anggaran dari negara," kata Hasto. 

Berdasarkan penelusuran Tempo pada 2021, PT Agrinas memiliki lahan seluas 60 hektare di Desa Kertarahayu, Bekasi, Jawa Barat. Di lahan tersebut terdapat papan nama dengan tulisan, "Tim Kajian Krida Karya Semesta Kementerian Pertahanan Republik Indonesia."

Dalam akta pendirian perseroan pada 3 April 2020 tertulis pemilik perusahaan itu adalah Yayasan Pengembangan Potensi Sumber Daya Pertahanan (YYSDP). Pengurus Yayasan tersebut di antaranya merupakan orang-orang yang terafiliasi dengan Partai Gerindra, partai yang dipimpin oleh Prabowo Subianto.

Hasto menyebutkan bahwa PDIP pada dasarnya sangat mendukung program Food Estate tersebut. Karena menurut Hasto, program itu bertujuan untuk menciptakan kedaulatan di bidang pangan

"Jadi kebijakan dari bapak presiden itu bagus hanya implementasinya sama dengan infrastruktur itu bagus. Nah kebijakan bagus, implementasinya tidak baik," kata Hasto.

MELYNDA DWI PUSPITA | M JULNIS FIRMANSYAH I TIKA AYU

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus