Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah bisa menyelesaikan masalah lahan sawit ilegal melalui proses hukum pidana.
Audit BPKP menemukan adanya 3,3 juta hektare lahan sawit yang berada di kawasan hutan.
Sepanjang 2012 hingga 2020 pemerintah sudah tiga kali melakukan pemutihan lahan sawit.
PEMUTIHAN sawit di kawasan hutan, yang oleh sebagian pihak disebut sebagai penyelesaian keterlanjuran, dianggap tak bisa memastikan perkara serupa tak berulang di masa depan. Direktur Sawit Watch Achmad Surambo menilai langkah-langkah pengampunan melalui sanksi administratif atas perkara yang semestinya masuk ke ranah pidana membuat para pelaku tidak jera.
“Pemutihan ini menunjukkan pemerintah kalah,” kata Surambo kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surambo menyebutkan pemerintah sebetulnya bisa menyelesaikan masalah lahan sawit ilegal di kawasan hutan melalui proses hukum pidana, seperti yang dilakukan dalam kasus lahan sawit di kawasan hutan Register 40 Padang Lawas, Sumatera Utara, milik PT Torganda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menegaskan, hukum yang sama harus diberlakukan untuk semua kasus lahan sawit di kawasan hutan. Penegakan hukum melalui pidana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Kasus di Padang Lawas itu memiliki kekuatan hukum tetap di Mahkamah Agung. Kini lahan itu telah kembali ke negara dan wajib dihutankan kembali oleh pemerintah. Artinya, kata Surambo, penyelesaian melalui penegakan hukum bisa dilakukan. “Masalahnya, apakah pemerintah benar-benar serius?”
Baca juga: Menjaga Hutan Tak Jadi Kebun Sawit
Alih-alih menyelesaikan dengan melakukan penegakan hukum pidana, pemerintah justru mengedepankan sanksi administratif yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aturan sapu jagat itu membagi dua penyelesaian lahan sawit di kawasan hutan.
Pertama, Pasal 110A berlaku untuk perkebunan di kawasan hutan yang memiliki izin lokasi atau izin usaha di bidang perkebunan yang diterbitkan sebelum UU Cipta Kerja lahir. Berdasarkan mekanisme ini, pengusaha bisa mendapat surat keputusan pelepasan kawasan hutan jika memenuhi komitmen berupa pembayaran dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan. Perusahaan yang tidak mengurus hal tersebut akan dikenai sanksi administratif berupa denda dan/atau pencabutan izin usaha.
Kedua, Pasal 110B berlaku untuk penyelesaian terhadap pertambangan, perkebunan, atau kegiatan lain di dalam kawasan hutan yang belum memiliki perizinan di bidang kehutanan. Perusahaan yang masuk kriteria ini akan dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administratif, dan/atau paksaan pemerintah.
Sementara itu, pekebun yang memiliki lahan di kawasan hutan di bawah 5 hektare dan telah menempatinya paling singkat lima tahun dikecualikan dari sanksi administratif dan diselesaikan melalui penataan kawasan hutan.
Pekerja menggunakan alat berat untuk menumbangkan pohon kelapa sawit dalam realisasi program peremajaan sawit rakyat di Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 29 April 2023. ANTARA/Budi Candra Setya
3,3 Juta Hektare Lahan di Kawasan Hutan
Pada Juni lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan hasil audit industri kelapa sawit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menunjukkan terdapat 3,3 juta hektare lahan sawit di kawasan hutan. Pemerintah akan menyelesaikan lahan-lahan perkebunan yang berada di kawasan hutan ini melalui dua mekanisme tersebut.
“Mau kami apakan lagi? Masak, mau kami copot (tanamannya)? Ya, pakai logika saja. Kami putihkan terpaksa.”
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono mengatakan pemerintah bakal mencabut perizinan perusahaan sawit yang terindikasi berada dalam kawasan hutan dan tidak menuntaskan perizinan sebelum 2 November 2023. Di samping itu, perusahaan-perusahaan tersebut akan dikenai sanksi administratif berupa 15 kali provisi sumber daya hutan.
Kementerian Lingkungan, tutur Bambang, menerapkan sistem restorative justice dan ultimum remedium dalam menegakkan peraturan tersebut. Kementerian Lingkungan pun mengklaim meminta semua pengusaha sawit melapor sejak November 2020 ketika UU Cipta Kerja pertama kali diterapkan. Jika pengusaha sawit yang termasuk Pasal 110A mengajukan perizinan, mereka dijanjikan akan selesai perizinannya dalam enam bulan dengan keluarnya surat keputusan terdaftar memenuhi syarat.
Temuan pemerintah mengenai luas lahan sawit di kawasan hutan lebih banyak daripada temuan organisasi lingkungan Greenpeace dan TheTreeMap yang mencatat ada 3,12 juta hektare lahan sawit di kawasan hutan Indonesia pada akhir 2019. Dari jumlah tersebut, separuhnya merupakan perusahaan perkebunan. Setidaknya ada 600 perusahaan perkebunan dengan luas lahan di atas 10 hektare yang berada di kawasan hutan. Sementara itu, sisanya merupakan perkebunan swadaya mandiri.
Tiga Kali Pemutihan Izin Sawit
Greenpeace mencatat, sepanjang 2012 hingga 2020, ada tiga kali pemutihan yang diterbitkan dengan syarat yang semakin ringan. Meski begitu, praktik yang dilakukan itu tidak disebut sebagai “pemutihan” dalam peraturan legislatif terkait. Dua pemutihan pertama dipenuhi dengan berbagai ketentuan dan diskresi dari pemerintah. Sementara itu, pemutihan ketiga termasuk UU Cipta Kerja.
“Hal ini memberikan peluang kepada perusahaan untuk melegalisasi kegiatan mereka di dalam kawasan hutan secara retrospektif,” demikian lembaga tersebut menulis dalam laporannya yang berjudul “Sawit Ilegal dalam Kawasan Hutan: Karpet Merah Oligarki” yang terbit pada Oktober 2021. Pengampunan ini juga membuat perusahaan-perusahaan yang belum memenuhi syarat pada pemutihan sebelumnya dapat memperoleh kesempatan lagi.
Menurut Greenpeace, legalisasi lahan sawit di kawasan hutan dilakukan atas dasar bahwa, kendati banyak perusahaan perkebunan beroperasi dengan melanggar hukum nasional, mereka telah mendapat persetujuan dari otoritas setempat atau pemerintah daerah. Contoh kasusnya terjadi pada penanaman sawit di kawasan hutan Kalimantan Tengah dan Riau. Dua provinsi tersebut, menurut Greenpeace, belum menyesuaikan rencana tata ruang agar selaras dengan tata guna hutan kesepakatan (TGHK).
Proses TGHK dimulai pada 1980 dan merupakan payung kebijakan yang memetakan batas-batas definitif di antara berbagai kategori lahan yang berada di bawah Kementerian Kehutanan. Pada 2007, UU Penataan Ruang terbit dan mengatur bahwa rencana tata ruang di setiap tingkat pemerintahan harus dijalankan melalui suatu kebijakan nasional. Namun, pada 2012, Mahkamah Konstitusi memutuskan pemerintah pusat tidak bisa secara sepihak menentukan batas-batas kawasan hutan.
Pemerintah saat itu lantas merespons dengan kebijakan pemutihan untuk mengantisipasi perbedaan peta kawasan hutan secara nasional dengan tata ruang wilayah provinsi. “Pemutihan pertama terjadi pada 2012, yakni saat terjadi amendemen Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan,” demikian Greenpeace menulis. Aturan itu memberikan waktu bagi perusahaan selama enam bulan untuk melepaskan lahannya dari kawasan hutan atau melakukan tukar-menukar kawasan hutan.
Pada 2015, peraturan yang sama kembali diamendemen dan memberikan waktu bagi perkebunan di kawasan hutan untuk dapat mengajukan pelepasan atau tukar-menukar lahan. Aturan itu juga memungkinkan perkebunan di kawasan hutan lindung atau hutan konservasi dapat dilegalisasi melalui daur tanam yang dapat berlangsung selama puluhan tahun.
Pada 2019, aturan itu digugat di Mahkamah Agung dan akhirnya pasal yang memungkinkan perusahaan di kawasan hutan bisa beroperasi selama masa daur dibatalkan. Namun Mahkamah tetap membiarkan adanya proses pemutihan selama satu tahun. Terbitnya UU Cipta Kerja lantas dianggap memperpanjang masa tenggang perusahaan-perusahaan yang berada di kawasan hutan serta mengubah sanksi pidana dengan sanksi administratif yang dianggap lebih ringan.
Melalui siaran pers pada 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membantah ihwal adanya pemutihan atau pengampunan bagi lahan sawit di kawasan hutan. Kementerian menyatakan masalah lahan sawit di kawasan hutan ini diselesaikan dengan proses hukum administrasi. Bahkan lahan yang masuk kategori Pasal 110B UU Cipta Kerja setelah ditangani akan tetap berstatus kawasan hutan.
Kementerian Lingkungan juga memastikan pendekatan hukum ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif, tapi bukan berarti sanksi hukum hilang begitu saja. Jika sanksi administratif dalam bentuk denda tidak dipenuhi perusahaan, pemerintah akan melangkah ke sanksi penegakan hukum berikutnya, dari pencabutan izin hingga paksaan berupa penyitaan dan paksa badan.
Ketua Departemen Bidang Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Roni Septian Maulana, menilai pengampunan sawit di kawasan hutan melalui alasan ketelanjuran sama saja dengan pemutihan alias land laundering atas ratusan kasus dugaan pidana agraria. “KPA menemukan praktiknya sangat tertutup dan tanpa kontrol publik di dalamnya. Padahal keduanya merupakan dua prinsip penegakan hukum atas korupsi agraria,” ujar dia.
Roni menuturkan pemerintah seharusnya menindaklanjuti temuan pelanggaran hukum atas lahan ini dengan mencabut izin atau hak atas tanah untuk diredistribusikan kepada petani, nelayan, masyarakat adat, dan perempuan di perdesaan, bukan membolehkan perusahaan melanjutkan bisnisnya. Pasalnya, menurut dia, sanksi denda yang dipenuhi pengusaha sama sekali tidak sebanding dengan kerugian masyarakat dan negara.
Asumsinya, Roni melanjutkan, kalau ada 3,3 juta hektare bisnis ilegal pengusaha lalu di dalamnya terdapat 1.000 desa, itu berarti kurang-lebih ada 2,5 juta keluarga. Apabila satu keluarga berpenghasilan Rp 5 juta per bulan, jika dikalikan 2,5 juta keluarga, artinya penghasilan masyarakat yang hilang bisa mencapai Rp 12,5 triliun. “Sedangkan kalau dari SK Menteri LHK Nomor 196 Tahun 2023 terdapat 890 pelanggar dan satu pelanggar membayar denda Rp 5 miliar, artinya pemerintah hanya mendapat Rp 4,4 triliun,” kata dia.
CAESAR AKBAR | RIANI SANUSI | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo