Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Senayan Goyang Microsoft

Pemerintah akan mendapat hibah untuk membeli lisensi peranti lunak. DPR meminta kesepakatan dengan Microsoft dibatalkan.

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesepakatan pembelian lisensi peranti lunak antara pemerintah dan Microsoft Asia Tenggara mulai menyengat anggota DPR di Senayan. Mereka mempersoalkan penandatanganan kesepakatan tersebut.

Pekan lalu, beberapa anggota parlemen membentuk kaukus dan meminta pemerintah membatalkan kesepakatan. Komisi Penyiaran DPR akan memanggil Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil pada 2 Februari. ”Selain rahasia dan berbau monopoli, kesepakatan itu berpotensi merugikan negara,” kata Abdillah Toha, anggota Komisi.

Sengatan Senayan ini, tak pelak, makin membuat hari-hari Presiden Direktur PT Microsoft Indonesia Tony Chen makin tak tenang. Sebelumnya, Tony dipusingkan oleh merebaknya persoalan ini di sejumlah media massa dalam sebulan terakhir. ”Terus terang, semua itu mengganggu pikiran,” kata Tony.

Dia mengaku prihatin dengan munculnya pelbagai spekulasi mengenai latar belakang kesepakatan yang diteken Sofyan Djalil dengan Chris Atkinson, 14 November 2006 itu. Ada yang menuding, kesepakatan itu merupakan syarat Bill Gates membantu Indonesia memajukan teknologi informasi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang pernah bertemu empat mata dengan Tuan Gates pada 27 Mei 2005 di markas Microsoft di Redmond, Amerika Serikat.

Tony, yang ikut sesi lain pertemuan itu, membantah ada ”tekanan”. Sang bos, menurut dia, hanya menyarankan pentingnya pendidikan dan kemampuan bahasa Inggris serta kemudahan akses terhadap Internet jika teknologi mau maju. Dalam pertemuan itu juga disinggung soal perlindungan hak cipta.

Sudah tiga tahun Indonesia bercokol di urutan ketiga negara pencuri lisensi peranti lunak setelah Zimbabwe dan Vietnam. Dari 5,9 juta unit komputer, 87 persen memakai peranti lunak bajakan. Menurut laporan Business Software Alliance pada Mei 2006, kerugian industri dan pajak akibat pembajakan mencapai US$ 280 juta atau Rp 2,6 triliun. ”Inilah sebabnya pemerintah meneken pembelian lisensi,” kata Sofyan.

Ada 35.496 lisensi Microsoft Windows dan 177.480 Office senilai Rp 377,6 miliar yang akan dibeli pemerintah. Imbalannya, Microsoft akan menghibahkan lisensi dua peranti itu masing-masing 266.220 dan diskon 70 persen lebih. Tony menghitung, jumlah itu akan memangkas 10 persen angka pembajakan. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi naik tiga kali lipat, penerimaan pajak lima kali, dan lapangan kerja baru tumbuh 13 kali lipat. ”Niatnya mulia, membantu pemerintah,” katanya.

Masalahnya, penandatanganan pembelian itu terkesan buru-buru dan tertutup. Jangankan publik, para menteri saja harus bersiasat untuk mendapatkan salinannya. Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman menjelaskan, kesepakatan diteken karena Vietnam sebagai tuan rumah Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), 18-19 November 2006, akan mengumumkan legalisasi dan migrasi ke sistem kode terbuka (open source). ”Kalau posisi mereka naik, kita jadi juara satu pembajak,” katanya.

Alasan lain, kesepakatan buru-buru diteken untuk ”menyambut” kedatangan Kepala Riset dan Strategi Microsoft Corporation, Craig Mundie, ke Jakarta sebelum ke sidang APEC itu. Rumor yang didengar Kusmayanto dan para menteri, tangan kanan Bill Gates itu ogah mampir jika belum ada kesepakatan. Benar saja, Mundie bertandang ke Istana Negara dua hari setelah kesepakatan diteken. Ia diminta khusus oleh Presiden menjadi penasihat Dewan Teknologi Nasional.

Menurut Sofyan, pemerintah tidak harus keluar uang untuk membeli lisensi Microsoft. Ada banyak negara yang akan mengucurkan hibah untuk membantu perlindungan hak cipta. Amerika Serikat, kata Kusmayanto, menjanjikan US$ 55 juta (Rp 500 miliar) lewat program Millennium Challenge Account.

Jika duit gratisan tak diperoleh karena prosesnya tak semudah meminta utang, pemerintah tetap akan membeli lisensi dengan duit APBN. Departemen akan diminta menyisihkan anggaran pembelian lisensi dengan merevisi anggaran tahun ini. ”Kita sudah bertekad mau be legal,” kata Sofyan.

Nah, mekanisme ini yang memunculkan kontroversi. Pasalnya, dua tahun lalu pemerintah sudah mendeklarasikan Indonesia Go Open Source sebagai tindak lanjut disahkannya Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual pada 2003. Surat edaran Menteri Komunikasi dan Informasi mewajibkan semua lembaga negara memakai sistem operasi terbuka yang gratis ini.

Namun, kata Sofyan, proyek itu tidak jalan. Baru Kementerian Riset yang menerapkan. Alhasil, Indonesia tetap menyandang gelar negara pencuri lisensi. Kesepakatan itu, kata dia, sebagai cara instan keluar dari daftar hitam. Alasan yang tak cukup meyakinkan politisi di Senayan.

Bagja Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus