Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati tak lagi duduk di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Ade Armando ikut masygul mendengar putusan Mahkamah Agung (MA), yang salinannya disampaikan pada akhir Mei lalu. Putusan itu membatalkan surat keputusan Komisi tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3/SPS) pada 2004.
Maklum, dulu ia ikut menyusun konsep surat keputusan tersebut setelah membandingkan dengan berbagai aturan sejenis di Inggris, Australia, Prancis, dan Jepang. Surat keputusan itu, menurut dia, merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang Penyiaran agar Komisi menerbitkan pedoman perilaku.
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran sesungguhnya memiliki niat mulia, yakni menjerat pornografi, mengekang kekerasan, dan mengusir tayangan ”hantu-hantuan” dari layar televisi. Namun niat mulia itu ditanggapi berbeda oleh sepuluh pengelola televisi swasta. Mereka menilai surat keputusan Komisi sebagai ancaman.
Melalui Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), pada akhir Januari 2005 mereka mengajukan uji materi atas surat keputusan itu ke Mahkamah Agung. Sidang Mahkamah yang diketuai Muchsan akhirnya mengabulkan permohonan tersebut. Mahkamah menilai sebagian isi keputusan Komisi itu justru bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran.
Ambil contoh soal sanksi. Keputusan Komisi mengatur hukuman bagi pelanggar Pedoman Perilaku Penyiaran. Padahal undang-undang hanya menyebut sanksi administratif bagi lembaga penyiaran yang melanggar Standar Program Siaran. Majelis juga menilai keputusan Komisi disusun tanpa partisipasi lembaga seperti ATVSI ataupun Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).
Kedua pihak selama ini memang tak akur dan saling menyalahkan. Ade mengatakan, dulu Komisi sudah mengirim bahan ke ATVSI tapi tak pernah mendapat balasan. ”Diundang juga mereka tidak datang,” ujarnya. Ketua Umum ATVSI Karni Ilyas balik membalas. ”Semua masukan kami tidak pernah diakomodasi,” katanya.
Uniknya, sebelum turun keputusan Mahkamah Agung, Komisi telah mencabut surat keputusan tersebut. Sebagai gantinya, pada 5 Agustus 2006 mereka menerbitkan peraturan yang isinya persis sama dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.
Komisi beralasan, pencabutan dilakukan karena ada ketidaksesuaian antara materi dan bentuk ketentuan. ”Surat keputusan bentuknya ketetapan, padahal materinya mengatur,” kata Mochamad Riyanto, Komisioner KPI. Jadi, peraturan itu dianggap sebagai ”baju” yang lebih pas.
Bagaimana dengan isi peraturan tersebut yang ternyata tetap bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran? Para pengelola televisi swasta sendiri tetap fokus menentang adanya sanksi dalam peraturan apa pun. ”Sanksi ini bikin teman-teman televisi takut,” kata Selamun Yoanes Bosko, mantan Pemimpin Redaksi MetroTV, yang sekarang menjadi anggota komisi.
Karni Ilyas juga berkukuh menolak sanksi yang ada dalam peraturan ”baru tapi lama” itu. ”Kalau teguran hingga denda masih oke, tapi tidak sampai mencabut izin siaran dan kriminalisasi wartawan,” katanya. Menurut Karni, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran seharusnya tidak memuat sanksi. ”Sanksi cukup diatur Undang-Undang Penyiaran,” kata Pemimpin Redaksi Lativi itu.
Apakah silang-sengkarut mengenai masalah ini akan kembali berakhir di Mahkamah Agung? Kali ini Komisi memilih bersikap lunak. ”Konflik ini tidak produktif,” kata Bimo Nugroho Sekundatmo, anggota Komisi. Pihaknya sekarang memilih membuka dialog dan mendengarkan rekomendasi ATVSI. Bila perlu, menurut Bimo, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran akan direvisi.
Sapto Pradityo, Eko Nopiansyah, Muslima Hapsari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo