Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berdasarkan dokumen Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHP) Semester II Tahun 2023, BPK menemukan saldo bansos yang dikelola Kementerian Sosial tak tersalurkan senilai Rp 227,43 miliar.
Peningkatan anggaran bansos di tengah klaim pertumbuhan ekonomi tinggi juga menjadi sorotan. Seharusnya jumlah penerima bansos makin menurun seiring dengan perbaikan kondisi perekonomian.
Kementerian Sosial berdalih penetapan data penerima sekaligus proses penyaluran dana bansos sudah berjalan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali menemukan masalah dalam penyaluran bantuan sosial atau bansos. Berdasarkan dokumen Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHP) Semester II Tahun 2023, BPK menemukan terdapat kekurangan penerimaan negara atas saldo bansos yang belum disetor ke kas negara sebesar Rp 227,43 miliar.
Hasil audit BPK sepanjang 2022 sampai semester I 2023 itu menunjukkan adanya saldo bansos Program Keluarga Harapan (PKH) senilai Rp 208,58 miliar untuk 365.023 keluarga penerima manfaat (KPM) yang tidak bertransaksi. Ditambah dana bansos program Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) senilai Rp 18,91 miliar yang tak sampai ke tangan 71.779 keluarga.
Akibatnya, terdapat kekurangan penerimaan negara atas saldo bansos yang belum disetor ke kas negara sebesar Rp 227,43 miliar. Temuan tersebut ditindaklanjuti Kementerian Sosial dengan menyetor ke kas negara sebesar Rp 226,84 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil evaluasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas pun menunjukkan ada 46 persen penerima yang salah sasaran. Penyebabnya adalah kesalahan memasukkan data penerima yang layak menerima bansos. Adapun data KPM bansos dihimpun oleh Kementerian Sosial dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Sengkarut berulang penyaluran bansos dikritik para ekonom. "Salah sasaran penerima bansos masih menjadi permasalahan yang besar," ujar Koordinator Bidang Kajian Kemiskinan dan Ketimpangan Universitas Gadjah Mada Wisnu Setiadi Nugroho kepada Tempo, kemarin, 24 Juni 2024.
Wisnu mengatakan Kementerian Sosial harus memperbarui data secara rutin dalam beberapa tahun sekali. Diiringi dengan pembersihan data penerima bansos, baik menggunakan data sampling maupun populasi. Pasalnya, kemiskinan sangat dinamis sehingga data perlu diperbarui setiap saat.
Jika hanya memperbarui data sesuai dengan permintaan atau on demand, Wisnu memperkirakan dua permasalahan muncul. Pertama, data penerima bansos cenderung didominasi oleh orang-orang yang memiliki akses dengan baik. Kedua, ada risiko politisasi bansos, khususnya di desa. Contohnya, seseorang yang berhak mendapatkan bansos tapi dianggap sebagai musuh kepala desa tidak dimasukkan ke dalam kategori penerima bansos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain masalah data, Wisnu mengatakan, masalah jenis bantuan, ketepatan waktu, serta jumlah bansos yang diberikan masih menjadi persoalan. Sebab, kesalahan jenis bantuan yang diberikan bisa menimbulkan celah korupsi yang lebar.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM itu menjelaskan, jenis bansos berupa barang komoditas akan membuat penyediaan dan penyalurannya menjadi kompleks. Misalnya, bansos beras harus sesuai dengan standar tertentu sehingga dibutuhkan monitoring kualitas dan kuantitas produk yang disalurkan. Selain itu, ada kemungkinan terdapat berbagai pungutan di setiap rantai produksi dan distribusi bansos tersebut. Berbeda dengan jenis bantuan berupa uang tunai yang lebih mudah disalurkan dan diawasi karena dapat langsung dikirim melalui rekening atau kantor pos.
Ketidaktepatan waktu penyaluran bansos juga menjadi sorotan. Menurut Wisnu, bantuan tidak boleh diberikan terlalu lama atau terlalu cepat. Apabila bansos terlambat disalurkan, daya beli masyarakat miskin bisa hilang dan mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan. Sedangkan apabila terlalu cepat, masyarakat dengan literasi keuangan kurang dikhawatirkan tak dapat mengelola uangnya dengan baik. Dengan demikian, uang berlebih akan bisa digunakan untuk hal yang tidak sesuai dengan tujuan bansos, seperti membeli rokok dan berjudi.
Ada dua faktor dalam menentukan waktu yang tepat untuk menggelontorkan bansos. Wisnu menuturkan, faktor pertama adalah menyalurkannya sesuai dengan rencana program yang umumnya dilakukan per kuartal. Penyaluran bansos di luar jadwal tersebut hanya boleh dilakukan ketika situasi ekonomi sedang tidak baik, seperti cuaca ekstrem El Nino dan pandemi Covid-19.
Peningkatan anggaran bansos di tengah klaim pertumbuhan ekonomi tinggi juga menjadi perhatian. Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono berpendapat bahwa jumlah penerima bansos seharusnya makin menurun seiring dengan perbaikan kondisi perekonomian.
Anggaran bansos PKH hingga akhir periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014 hanya memiliki 2,7 juta KPM. Namun, empat tahun kemudian pada 2018, penerima PKH berlipat menjadi 10 juta KPM. Seiring dengan perluasan bansos ini, anggaran belanja bansos pun melonjak signifikan dari Rp 49,6 triliun pada 2016 menjadi Rp 112,5 triliun pada 2019. Anggaran belanja bansos yang sangat besar juga terus dipertahankan meski pandemi telah berakhir.
Hingga menjelang Pemilu 2024, jumlah penerima PKH tetap 10 juta keluarga. Jika menerapkan konsep graduasi 5 persen setiap tahun, antara 2018 dan 2023 seharusnya jumlah penerima PKH menurun 2,3 juta. Dengan demikian, jumlah penerima PKH pada 2024 seharusnya tinggal 7,7 juta.
Sependapat dengan Yusuf, peneliti bidang sosial The Indonesian Institute, Dewi Rachmawati Nur Aulia, menilai program bansos hingga saat ini justru tidak mampu menuntaskan akar ketergantungan masyarakat terhadap bantuan pemerintah. Akar masalahnya, tutur Dewi, adalah mekanisme penyaluran bansos yang semrawut.
Seperti diketahui, program bansos tersebar ke dalam beberapa program yang dibawahkan oleh kementerian dan lembaga yang berbeda-beda. Misalnya, PKH yang dibawahkan oleh Kementerian Sosial serta bantuan pangan beras dan bansos stunting oleh Badan Pangan Nasional. Ada pula program Bantuan Presiden (Banpres) yang dikelola oleh Istana Kepresidenan.
Selain berisiko tidak tepat sasaran, Dewi berujar, kondisi itu dapat membuat pemberian bansos dilakukan pada waktu yang salah dan jenis yang tidak tepat. Karena itu, Dewi mendorong pemerintah mereformasi bentuk bansos serta mekanismenya supaya lebih produktif dan terukur, misalnya bantuan langsung tunai yang diberikan setiap periode tertentu. Sebab, penanganan masalah kemiskinan ini hanya bersifat jangka pendek yang belum tentu dapat mengubah perilaku masyarakat, terutama meningkatkan produktivitasnya.
"Ini jelas merugikan keuangan negara. Jadi mekanisme penyaluran bansos perlu dipertanyakan kembali kepada kementerian terkait," ujar Dewi.
Staf Khusus Menteri Bidang Pengembangan SDM dan Program Kementerian Kemensos Suhadi Lili. Dok. Kemensos
Sementara itu, Kementerian Sosial berdalih penetapan data penerima sekaligus proses penyaluran dana bansos sudah berjalan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Staf Khusus Menteri Bidang Pengembangan SDM dan Program Kementerian Kemensos Suhadi Lili juga menyatakan data yang ada merupakan hasil usulan dan verifikasi dari pemerintah daerah.
Bila nantinya ada aduan ihwal penyalahgunaan dana bansos dari masyarakat yang terbukti, kata Suhadi, Kementerian Sosial akan menindaklanjuti aduan tersebut. Dari mengeluarkan nama penerima manfaat hingga memproses jalur hukum terhadap pihak yang terlibat.
Suhadi berujar, anggaran bansos merupakan uang negara untuk seluruh rakyat Indonesia yang tidak mampu sehingga semua harus diberi kesempatan untuk menerima bansos. "Jangan sampai ada saudara kita yang tidak mampu, tapi luput tidak dapat bansos itu, kita usulkan. Begitu pun sebaliknya," ujarnya.
Adapun Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Robben Rico mengklaim semua dana bansos yang tidak tersalurkan kepada KPM sudah dikembalikan ke kas negara. Dia berujar, tak ada uang yang tertahan di Kementerian Sosial. Sedangkan soal sisa dana bansos yang belum disetor ke kas negara sebesar Rp 593,97 juta, pelaksana tugas Inspektur Jenderal Kementerian Sosial, Dodi Sukmono, menyatakan dana tersebut sudah disetor ke kas negara sebesar Rp 592,4 juta. Sementara itu, sisanya sebesar Rp 1,57 juta, kata Dodi, telah dikirim ke KPM sebesar Rp 1,45 juta oleh bank penyalur, ditambah Rp 120 ribu yang merupakan beban administrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini