Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OPTIMISME menghadapi konflik Inalum mungkin adalah senjata terbaik yang bisa diandalkan pihak Indonesia sebelum maju ke meja perundingan, Rabu pekan lalu. "Apa pun perbedaan interpretasi yang tlmbul mengenai master agreement, saya yakin akan bisa diatasi," demikian harapan Menko Ekuin Radius Prawiro, yang memimpin delegasi Indonesia dan yang sampai hari-hari akhir menjelang perundingan selalu menghindar dari wartawan. Dalam pada itu, Ir. Abdul Rauf Soehoed Ketua Otorita Asahan, kendati sekitar dua bulan silam tampak cerah, belakangan juga menjauhi nyamuk pers. Memang, 15 Oktober lampau ia pernah berkata, "Mungkin tak lebih dari tiga minggu sejak sekarang, masalah Inalum sudah bisa diatasi." Waktu itu pihak Jepang belum mengirim kapal Vigor, yang akhirnya berhasil menembus "blokade", dengan mengangkut 12.500 ton aluminium ingot dari pelabuhan Kuala Tanjung (TEMPO, 19 November 1988). Sukses Vigor berarti mencairkan konflik Inalum -- sementara -- sekaligus merupakan satu langkah maju bagi pihak Jepang. Sementara pemberitaan di media asing kian "panas", adalah Dubes Jepang Sumio Edamura yang sikapnya dengan gamblang mencerminkan cuaca yang dipantulkan Tokyo. Apa pun yang dicetuskan Edamura -- mengenai konflik Inalum ataupun utang Indonesia pada Jepang -- selalu mengarah pada satu hal: bahwa Jepang tidak plong dengan situasi di Indonesia akhir-akhir ini. Dalam suasana yang tidak sepenuhnya terjembatani itu, apa yang diperoleh dari perundingan Indonesia-Jepang pekan lalu tidaklah terlalu mengecewakan. Berakhir Sabtu, perundingan membuahkan temporary measures alias kesepakatan sementara. Isinya: ada jumlah jatah sementara aluminium yang disetujui kedua pihak, Indonesia dan Jepang. Sayang, angka yang telah disepakati ini masih dirahasiakan. Tapi seorang pejabat MITI (Departemen Industri dan Perdagangan LN) di Tokyo menyebutkan, "Untuk sementara, sampai akhir tahun ini, Indonesia tetap memperoleh jatah sepertiga bagian." Ini berarti posisi Indonesia masih tidak bergeser dari pernjanjian awal. Baru Januari depan, sampai tersusunnya master agreement yang baru, jatah Indonesia akan dinaikkan menjadi 40% dari total produksi. Sisanya yang 60% merupakan hak Jepang. Kalau benar, maka secara tertulis ini merupakan kemajuan kecil bagi Indonesia. Sebab, tuan rumah, yang sejak Agustus 1987 menguasai 41% saham Inalum -- di luar master agreement -- hanya memperoleh jatah sepertiga dari total produksi, atau 75 ribu ton saja (produksi Inalum 190.000 ton, kapasitasnya 225.000 ton). Hal lain yang tidak kurang pentingnya ialah, antara delegasi Indonesia, yang pada hari pertama dipimpin oleh Menko Ekuin Radius Prawiro, dan MITI yang dipimpin oleh Wakil Dirjen Industri Dasar Masaaki Noguchi, tercapai kesepakatan untuk membentuk manajemen terbuka yang lebih kukuh. Maklum, selama ini tak pernah jelas benar apa yang terjadi dengan Inalum, perusahaan patungan yang bernilai US$ 2,4 milyar itu. Dan ada lagi satu kesepakatan yang monumental: Indonesia berhak mengekspor jatah yang diperolehnya. "Kedua belah pihak setuju, kalau Indonesia menjual sisa dari kebutuhannya ke negara ketiga di luar Jepang," ujar Pejabat MITI tersebut kepada Seiichi Okawa dari TEMPO. Memang, penjualan sisa kebutuhan ini merupakan salah satu soal yang cukup sengit diperdebatkan. Sesuai dengan master agreement yang ditandatangani tahun 1982, Indonesia beroleh jatah aluminium 75.000 ton sementara kebutuhan industri dalam negerinya sekitar 50.000 ton. Meski ada sisa, sesuai dengan master agreement dan yang juga selalu ditekankan oleh Jepang, maka Indonesia tidak boleh mengekspor sendiri sisa jatah itu. Mereka menuntut supaya ekspor dilakukan lewat PT Inalum. Tapi ujung-ujungnya, tercapai kompromi tahun 1987. Indonesia boleh menerima jatah 40% --naik 7,6% -- dengan syarat, sisa dari jatah yang nak terpakai harus diekspor melalui Inalum ke Jepang. Belakangan, April 1988, Otorita Asahan mengajukan usul baru. Ketua Otorita, A.R. Soehoed menginginkan, pembagian jatah dilakukan setelah hasil produksi dipotong sepertiga bagian -- yang 75 ribu ton itu. Alasannya: meningkatnya kebutuhan aluminium di dalam negeri. Baru setelah itu, sisanya dibagi 59% untuk Jepang dan 41% Indonesia. Kalau saja usul Soehoed disetujui dari 190 ribu ton produksi Inalum yang sekarang, Indonesia bisa memperoleh jatah maksimal 122.150 ribu ton, atau 64,28%. Tapi inilah yang membuat 12 investor Jepang -- tergabung dalam Nippon Asahan Aluminium -- jadi berang. "Kami bisa kompromi sampai batas menurut jumlah saham. Tapi kalau mau lebih dari itu, kendati pihak Indonesia bicara keras, tampaknya sulit untuk disetujui oleh investor Jepang," kata pejabat MITI tersebut. Dan Jepang agaknya tidak mau bergeser Satu sentlipun dari posisi itu. Ini terbukti Juni lalu, ketika Ketua Otorita Asahan memerintahkan agar Inalum (untuk sementara) menyetop pengiriman aluminiumnya ke Jepang. Investor Jepang, yang juga merangkap sebagai pembeli, kalang kabut. Sampai-sampai Dubes Jepang Sumio Edamura pun turut angkat suara. Dalam sebuah siaran persnya, ia mengemukakan bahwa sengketa semacam ini takkan pernah terjadi kalau prinsip dari master agreement dilaksanakan. Ia juga tak canggung mengingatkan, betapa besar jasa pihak Jepang pada Indonesia. Buktinya, pinjaman 2,3 milyar dolar yang diberikan Jepang beberapa bulan lalu. "Kepercayaan ini merupakan kekayaan yang sangat penting bagi Indonesia," ujarnya. Seorang pakar ekonomi langsung saja mengaitkan ucapan Edamura dengan sengketa Inalum. Ekonom ini menduga, Edamura berucap seperti itu dengan harapan: Indonesia mau sedikit mengalah. Ya, kemungkinan untuk mengalah, seperti halnya kemungkinan untuk ngotot, sama-sama ada. Dan pendulumnya berat ke mana, itulah yang sulit ditebak. Yasuo Fujimoto, salah seorang pejabat MITI, Oktobe lalu mengatakan bahwa kasus Inalum sedikit banyak akan menimbulkan dampak yang kurang baik bagi iklim investasi Jepang di Indonesia. Pernyataan ini diperkuat oleh Eksekutif Keidanren (perkumpulan pengusaha di Jepang), Takashi Kudo. Sebagai proyek investasi Jepang, "Inalum merupakan soal yang serius," ujarnya. Tapi pihak Indonesia juga melihatnya cukup serius. Seperti dikemukakan Soehoed pada konperensi persnya dua bulan lalu. Salah satu alasan Otorita menuntut jatah yang lebih banyak ialah meningkatnya kebutuhan industri dalam negeri. Tahun lalu, tak kurang dari 69 ribu ton aluminium batangan yang diserap industri lokal. Percaya atau tidak, angka ini akan terus meningkat 15-20% setiap tahunnya. Alasan lain, kelak kalau dari jatah itu ada sisanya, Otorita ingin melakukan ekspor sendiri. Lain halnya kalau sisa jatah dijual melalui Inalum, yang hanya akan menambah keuntungan para investor Jepang. Itulah sebabnya, konon, mengapa dibentuk PT Asahan Aluminium Alloys, yang akan memasarkan sisa itu bagi Otorita. Kini hak "ekspor sendiri" itu sudah diperoleh. Dan Otorita Asahan tinggal menunggu bagaimana juklaknya. Apakah hak ekspor tetap di tangan PT Asahan Aluminium Alloys, apakah akan ada alternatif lain, dan rumus apa yang membuat Jepang bisa plong? Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo