STUDIO film di Sunggai, Metan, yang telantar dan tak berfungsi,
jadl sasaran kritik lagi. Kritik tersebut muncul dari suatu
acara TVRI Stasiun Medan. Malam itu kelompok panrun Nyanyi Sunyi
bertarung dengan kelompok Buah Rindu. Keduanya beranggotakan
mahasiswa Fakultas Sastra dan Sejarah USU. Nyanyi Sunyi mendapat
kesempatan pertama menjuat pantunnya, begini:
Mario Pinem si anak tunggal
harapan ibu kepada dirinya,
Studio film yang di Sunggal
bangunan itu apa fungsinya.
Tepuk tangan penonton yang memenuhi studio rekaman TVRI lokal
riuh terdengar. Studio film di Sunggal itu di bangun dengan
biaya Rp 400 juta di zaman Gubernur Marah Halim. Nasibnya memang
sudah lama dipertanyakan. Dari studio itulah Marah Halim pernah
berambisi melahirkan film-film berbobot, yang kalau bisa
menandingi produksi Jakarta. Tapi karena tak jelas pengelolanya,
studio tadi nyaris remuk. Semua kenyataan suram itu kemudian
digambarkan kelompok pantun Buah Rindu dalam jawaban berikut:
Buab duku belumlah busuk
ambil kulitnya tarub di bangku,
Rumab bantu dan sarang nyamuk
itu fungsinya yang kami tahu.
Terdengar lagi tepuk tangan riuh. Lewat acara Berbalas Pantun
itulah orang Medan, juga umumnya penduduk Sumatera Utara dan
Riau, seolah mendapat kembali sesuatu yang hilang. Program tadi
mengudara sejak 2 April -- dan disiarkan sekali sebulan. Dan di
luar dugaan TVRI Medan, peminat pantun -- terutama dari kalangan
usia muda -- ternyata cukup banyak.
Paham Kaidah
Siapa saja dan dari golongan mana pun -- menurut J. Terkelin
Tarigan, Kepala Seksi Siaran Budaya Drama dan Niaga TVRI Medan
--boleh mendaftarkan sebagai pemantun. Mereka, tentu, harus
sudah memahami kaidah pantun Melayu yang terdiri dari empat
baris. Setiap baris terdiri dari empat sampai 12 suku kata.
Keempat baris pantun itu, harus saling berkait dan selalu
berakhiran menuruti a-b-a-b. Baris pertama kedua merupakan
sampiran, sedang baris ketiga dan keempat merupakan isi. Jika
syarat itu sudah dikuasai, pantun yang mereka bawakan "tidak
boleh bersifat menghina, menghasut apalagi sampai menimbulkan
keresahan," lanjut Terkelin.
Kepada setiap kelompok, yang terdiri dari lima orang termasuk
juru bicaranya pihak TVRI sebelumnya memberikan penataran. Di
situ, misalnya, bila suatu kelompok penjual mengajukan scbuah
pantun, 20 detik kemudian pembeli dilatih sudah harus memberikan
jawaban. Mereka pun dilatih mengajukan pantun agar tidak lari
dari suatu tema yang telah ditetapkan. Jika dalam undian kedua
pihak harus membawakan pantun pembangunan, misalnya, maka tema
itulah yang harus tetap dipegang. "Siapa yang lari dari tema
yang ditentukan, nilainya akan berkurang," kata Drs Sabaruddin
Achmad, seorang dari tiga juri pantun. Selain pantun
pembangunan, ada pula pantun jenaka. pantun sindiran dan pantun
kasih (muda-mudi).
Sesudah menguasai soal elementer itu, rekaman pun kemudian
diselenggarakan. Di sinilah sesungguhnya ketangkasan berpikir
seorang pemantun diuji. Tanpa teks, kedua pihak tersebut harus
secara cepat dan spontan menjual dan membeli pantun. Di situ
diperlukan "otak yang cerdas supaya bisa menjual dan membeli,"
kata Drs Tengku Sita Syaritsa, Koordinator Siaran - Berbalas
Pantun.
Adakalanya dua kelompok pemantun sudah rontok di studio rekaman.
Karena tidak mampu berpantun secara cepat dan spontan. Namun
peminat tetap tak surut. "Sekarang saja ada lima kelompok yang
antre menunggu penampilan," ujar Tengku Syaritsa.
Baguskah kualitas pantun yang diudarakan? Menurut Sabaruddin,
para peserta "masih belum mampu mengungkapkan keindahan sastra
(pantun) Indonesia. Pantun yang pernah dibawakan "nilai
sastranya sangat kurang," katanya. "Mereka masih terpaku pada
usaha menjaga secara hati-hati kaidah a-b-a-b saja." Ia juga
menilai sampiran sejumiah pantun yang telah disiarkan TVRI Medan
itu belum membayangkan isi sesungguhnya. Sesungguhnya "setiap
baris pantun harus punya hubungan batin, irama dan falsafah,"
tambahnya.
Toh semua kekurangan itu, untuk suatu usaha permulaan, dianggap
masih wajar. "Yang pertama memancing minat dulu. Soal kualitas,
hal kedua," kata Sabaruddin .
Tapi selagi acara itu merangkak naik, TVRI Medan mendadak
mengubah sikapnya. Menurut Heri Pribadi Ms., pimpinan kelompok
pantun Kuala Deli, setiap kelompok kini harus mengajukan
terlebih dulu materi pantun yang akan dipertandingkan. Teks itu,
sebelum diudarakan, harus dikoreksi pihak TVRI Medan. "Kami
sekarang terpaksa menghafal teks, tidak bisa spontan dan tidak
bisa berimprovisasi lagi," kata Heri. Mereka konon tak boleh
lagi melancarkan kritik.
Kenapa sensur itu dilakukan? Ini gara-gara kelompok Senandung
Rindu mengkritik secara tajam soal kekotoran kota Medan karena
sampah, dan kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap
jalan-jalan yang rusak. Pihak yang terkena tak menyukainya. Maka
penyelenggara diminta melakukan sensur preventif. "Padahal kalau
diperkenankan mengkritik," kata Heri "kami akan lebih keras lagi
menyindir dalam membawakan pantun pembangunan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini