Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jalan Menutup Ekspor LNG

Pemerintah menargetkan penghentian ekspor gas bumi paling lambat pada 2036.

6 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rencana larangan ekspor gas kembali muncul.

  • Infrastruktur gas di dalam negeri menjadi kendala.

  • Pengusaha gas mengharapkan jaminan serapan gas.

JAKARTA – Dewan Energi Nasional (DEN) tengah menggodok rencana pengurangan ekspor gas bumi, termasuk gas bumi cair atau LNG, dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Moratorium ekspor gas bumi ditargetkan paling lambat pada 2036.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota DEN, Eri Purnomohadi, belum bersedia memberikan detail rencana pengurangan ekspor gas bumi yang masuk revisi Rencana Umum Energi Nasional sebagai turunan PP Nomor 79 Tahun 2014. Dia hanya memastikan kebutuhan gas domestik bakal terus meningkat sehingga kepastian pasokan menjadi penting. Menurut dia, gas bakal menjadi jembatan untuk peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan di dalam negeri. "Tapi, untuk mewujudkannya, tentu harus disiapkan infrastruktur penerimaan gas yang sesuai dengan cadangan dan produksi gas nasional," kata Eri kemarin, 5 Juni 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 30 Mei lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menggaungkan rencana larangan ekspor LNG. Dia mengklaim pemerintah sudah siap menerapkan kebijakan tersebut. Bicara dalam forum peluncuran Indonesia Carbon Capture and Storage Center di Jakarta, Luhut mengklaim sudah memiliki kajian larangan ekspor LNG. Analisis tersebut digarap oleh Kedeputian Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi di kementerian yang ia pimpin. "Sudah kami siapkan laporan ke Presiden," tuturnya.

Menurut Luhut, kebijakan ini penting untuk memenuhi kebutuhan domestik yang bakal meningkat. Dia berharap kenaikan konsumsi dalam negeri juga bisa menjadi solusi atas tingginya harga gas untuk industri di Indonesia. Pemerintah saat ini harus mengurangi bagian pendapatan negara guna mewujudkan harga gas US$ 6 per MMBTU untuk tujuh industri khusus.

Luhut tak mendetailkan rencana implementasi larangan ekspor LNG. Namun dia memastikan kontrak yang sudah berjalan tak akan terkena dampak kebijakan larangan ekspor ini nantinya. Tempo juga berupaya menghubungi Jodi Mahardi sebagai Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi. Namun ia tak merespons. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Tutuka Ariadji, juga tak merespons pertanyaan ihwal larangan tersebut.

Rencana larangan ekspor LNG sebenarnya bukan hal baru. Merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional, pemerintah berencana mengurangi ekspor gas bumi secara bertahap. Targetnya, pada 2025 ada penurunan porsi ekspor gas bumi menjadi kurang dari 20 persen. Kemudian pemerintah harus menghentikan ekspor gas bumi paling lambat pada 2036. Dengan catatan, ada jaminan penyerapan produksi gas di dalam negeri untuk industri yang terintegrasi hulu-hilir, transportasi, dan sektor lainnya.

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Hudi Suryodipuro, mengatakan porsi penyaluran gas untuk kebutuhan domestik sudah melebihi ekspor sejak 2012. "Saat ini alokasi domestik sudah mencapai 70 persen," katanya. Menurut dia, selama ini pihaknya memprioritaskan kebutuhan gas di dalam negeri sebelum menyisakan kuota untuk ekspor. 

Kapal pengangkut Liquefied Natural Gas (LNG) produksi Kilang LNG Senoro di Kilang LNG Donggi Senoro, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. TEMPO/Subekti

Kebutuhan Gas Dalam Negeri Diperkirakan Melonjak

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga, pun memperkirakan kebutuhan gas di dalam negeri melonjak dalam beberapa tahun ke depan sehingga larangan ekspor tak mustahil terwujud. Melonjaknya permintaan itu tidak hanya karena rencana transisi energi. Pemerintah memiliki beberapa proyek strategis nasional yang membutuhkan pasokan gas dalam jumlah besar, seperti pembangunan jaringan gas untuk 4 juta sambungan rumah pada 2024 serta pengembangan industri petrokimia hingga menjadi peringkat pertama di Asia Tenggara pada 2030.

Tantangannya adalah infrastruktur untuk distribusi gas dari mulut sumur belum tersedia secara masif. Tak banyak investasi masuk untuk infrastruktur gas karena tingginya biaya dan pasar yang terbatas. "Memang harus ada good will dari pemerintah, dan omongan Pak Luhut bisa menjadi sinyal bahwa pemerintah serius meningkatkan permintaan gas," kata dia.

Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas, Moshe Rizal, mengaku baru pertama kali mendengar rencana larangan ekspor LNG. "Belum ada diskusi soal ini," ujarnya.

Jika rencana itu diterapkan, Moshe berharap pemerintah bisa menjamin serapan dari pasokan gas di dalam negeri. Pasalnya, infrastruktur distribusi gas belum masif. Menurut dia, kondisi ini membuat biaya distribusi meningkat. "Untuk pengiriman ke Jawa, misalnya, ada tambahan US$ 2-3 per MMSCFD dari harga di mulut tambang."

VINDRY FLORENTIN | ANTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus