Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Sinyal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi semakin kuat. Pemerintah menyiapkan tambahan bantalan sosial sebagai bentuk pengalihan subsidi BBM senilai Rp 24,17 triliun. Nilai tambahan bantuan sosial tersebut dihitung dengan mempertimbangkan kemungkinan kenaikan harga BBM.
Seusai rapat terbatas di Istana Negara, kemarin, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan rencana pemerintah memberikan bantuan tersebut. Dia menuturkan, tujuannya adalah menjaga daya beli masyarakat selagi pemerintah merespons tendensi kenaikan harga yang berasal dari pengaruh global beberapa waktu terakhir.
"Pemerintah akan mulai memberikan bantalan sosial sebagai bentuk pengalihan subsidi BBM," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bantalan sosial ini sebagian besar atau total Rp 12,4 triliun akan disalurkan dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT). Selain itu, pemerintah menyediakan bantuan untuk 16 juta pekerja yang memiliki gaji maksimal Rp 3,5 juta per bulan. Anggarannya sebesar Rp 9,6 triliun.
Bantuan lainnya akan disalurkan lewat pemerintah daerah. Sebanyak 2 persen dari Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil dengan total Rp 2,17 triliun disisihkan untuk bantuan sosial.
Pemerintah memutuskan memberikan bantuan sosial tambahan sebesar Rp 24,17 triliun. Bantuan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat di tengah tekanan kenaikan harga akibat pengaruh global. Masyarakat akan diberi tiga jenis bantuan berupa bantalan sosial. Berikut ini jenisnya:
Mempertimbangkan Kenaikan Harga BBM 30-35 Persen
Menurut Staf Khusus Wakil Presiden, Bambang Widianto, angka kompensasi langsung ke masyarakat yang masing-masing senilai Rp 600 ribu dihitung dengan mempertimbangkan kenaikan harga BBM. Berdasarkan estimasi pemerintah, setiap keluarga masyarakat miskin dan rentan butuh tambahan Rp 100 ribu per bulan agar tingkat kesejahteraannya stabil jika harga BBM disesuaikan sebesar 30-35 persen.
Kebijakan untuk memberikan bantuan langsung ke masyarakat bisa perlahan mengubah skema subsidi. Bambang mengatakan pemerintah berniat memindahkan subsidi BBM dari komoditas ke orang. "Subsidi barang, komoditas, itu pasti orang kaya akan lebih banyak menikmati, karena dia lebih banyak punya akses," tuturnya.
Pertalite, misalnya, hanya 20 persen dari total konsumsi yang digunakan masyarakat miskin. Sedangkan solar 89 persen dikonsumsi oleh dunia usaha. Dari 11 persen yang dikonsumsi rumah tangga, hanya 5 persen yang dinikmati rumah tangga miskin. Jika diberikan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan, penyaluran tidak tepat sasaran diasumsikan bisa diatasi.
Petugas keamanan memeriksa mobil tangki pengangkut bahan bakar minyak di Depot Terminal Bahan Bakar Minyak Plumpang, Jakarta. TEMPO/Subekti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyaluran tidak tepat sasaran solar dan Pertalite membuat kuota subsidi untuk dua bahan bakar ini terus melonjak. Ditambah dengan kondisi global seperti kenaikan harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah, anggaran subsidi dan kompensasi terus membengkak. Tahun ini kuota yang tersedia hanya cukup sampai Oktober saja.
Pemerintah menganggarkan subsidi dan kompensasi BBM tahun ini sebesar Rp 152,5 triliun. Namun jumlahnya naik menjadi Rp 502,4 triliun setelah harus menambah anggaran menutup kekurangan kuota BBM subsidi. Jika harga BBM, termasuk LPG, tidak naik, hingga akhir tahun pemerintah harus menanggung Rp 698 triliun.
Itu sebabnya, belakangan ini pemerintah mempertimbangkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Kenaikan harga BBM bersubsidi dilakukan sebagai upaya menekan anggaran subsidi yang terus membengkak. Pada 23 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan kenaikan harga BBM bersubsidi menyangkut hajat orang banyak. Karena itu, ia ingin keputusan itu dibuat secara hati-hati dan dikalkulasi dampaknya.
Pengisian bahan bakar minyak biosolar di stasiun pengisian bahan bakar umum Pertamina, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Kenaikan Harga BBM Ditentang
Rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi mendapat tentangan dari beberapa pihak. Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah, menuturkan risiko dari kenaikan harga BBM lebih tinggi dari penghematan yang akan didapat pemerintah. Sebab, kenaikan harga BBM bersubsidi bukan sebatas tambahan pengeluaran energi, melainkan bisa berujung pada kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya.
Kalaupun pemerintah berkukuh menyelamatkan APBN, dia mengatakan bantalan sosial yang disiapkan pemerintah sangat terbatas. Selain itu, belajar dari pengalaman selama ini, bantuan langsung tunai diketahui banyak tidak tepat sasaran.
"Sementara dampak kenaikan BBM subsidi akan sangat luas," kata Piter. Dia meyakini banyak masyarakat yang terkena dampak tidak mendapat bantuan langsung tunai nantinya. Di sisi lain, mereka yang kebagian pun belum cukup terbantu.
Direktur Celios, Bhima Yudhistira, menyatakan bantuan tunai pemerintah belum mencakup semua pihak yang terkena dampak. Dia menilai kelas menengah rentan yang jumlahnya 115 juta orang perlu dilindungi dengan dana kompensasi kenaikan harga BBM. Selain itu, para pekerja dengan upah minimum yang hanya naik 1 persen perlu ikut dibantu. "Harga BBM bersubsidi naik, semua bisa kena dampaknya. Bahkan yang selama ini tidak menggunakan subsidi juga ikut kena inflasi," kata dia.
Adapun Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata memastikan anggaran untuk tambahan bantuan sosial (bansos) senilai Rp 24,17 triliun tersedia. Anggaran tambahan bansos ini tidak akan mengurangi anggaran subsidi BBM senilai Rp 502,4 triliun pada 2022. “Saya pastikan anggaran bansos itu bukan anggaran subsidi. Jadi anggaran subsidi sudah ada Rp 502,4 triliun, dan tambahan bansos ada anggarannya sendiri,” katanya.
VINDRY FLORENTIN | FAJAR PEBRIANTO | GHOIDA RAHMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo