Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bangkit Seusai Dihantam Pandemi

Perolehan laba Pertamina ditopang upaya efisiensi perusahaan.

11 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pertamina mengantongi laba US$ 1 miliar hingga Desember 2020.

  • Capaian tersebut melebihi ekspektasi perusahaan.

  • Kondisi keuangan Pertamina mulai membaik pada kuartal ketiga.

JAKARTA – Kondisi keuangan PT Pertamina (Persero) diklaim mulai membaik pada akhir tahun lalu. Kinerja positif itu diperkirakan dapat dipertahankan pada tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengatakan perusahaan mampu mengantongi laba US$ 1 miliar hingga Desember 2020. Angka tersebut didapat dari penghitungan laporan keuangan yang belum diaudit. “Mudah-mudahan ada lagi tambahan laba karena audit masih belum selesai,” kata dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Capaian tersebut melebihi ekspektasi perusahaan. Pada awal Desember 2020, Pertamina sempat menargetkan laba sebesar US$ 800 juta setelah merugi pada semester pertama 2020. Selama paruh pertama tahun lalu, perusahaan mencatat kerugian hingga US$ 767,91 juta.

Kerugian itu dipicu anjloknya harga minyak mentah dunia. Konsumsi bahan bakar minyak pun turun hingga 30 persen selama masa pembatasan kegiatan. Dibanding pada semester I 2019, total penjualan produk Pertamina menurun 20,91 persen. Selain itu, Pertamina mengalami kerugian akibat selisih kurs sebesar US$ 211,83 juta.

Namun, sejak kuartal III, situasi mulai membaik. Harga minyak mentah yang jatuh pada kuartal II membuat produsen minyak bumi dunia memangkas produksinya. Hasilnya, harga komoditas ini sempat naik dua kali lipat pada Oktober lalu dari titik terendahnya pada April. Di sisi hilir, konsumsi bahan bakar juga meningkat setelah adanya pelonggaran pembatasan kegiatan.

Perbaikan kondisi keuangan pada kuartal III dibuktikan dengan peluncuran obligasi global senilai US$ 1,9 miliar pada 10 Februari lalu di Singapore Exchange. Penerbitan surat utang ini didasari kinerja keuangan pada kuartal III. Obligasi pertama yang dirilis senilai US$ 900 juta dengan kupon 2,3 persen dan jatuh tempo pada 2031. Sementara itu, obligasi senilai US$ 1 miliar ditawarkan dengan kupon 1,4 persen dan jatuh tempo pada 2026.

Pengisian bahan bakar di SPBU Kuningan, Jakarta, 10 Februari 2021. Tempo/Tony Hartawan

Emma menyatakan perolehan laba juga terbantu upaya efisiensi perusahaan. “Mulai dari biaya usaha, operasional, hingga biaya pokok produksi,” katanya. Perusahaan memotong biaya operasi hingga 30 persen.

Pertamina pun mengatur ulang prioritas belanja modal tahun lalu. Dari rencana investasi senilai US$ 6,4 miliar, hanya US$ 4,7 miliar yang direalisasi setelah kebijakan tersebut dikeluarkan.

Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional Ignatius Tallulembang menyatakan efisiensi belanja modal salah satunya datang dari penyesuaian pembangunan kilang. Sebelum pandemi merebak, perusahaan menargetkan penambahan kapasitas kilang dari 1 juta barel per hari menjadi 2 juta barel per hari. Namun, setelah pandemi merebak dan mempengaruhi konsumsi, penambahan kapasitas hanya sebanyak 400 ribu barel per hari pada 2020. “Peningkatan kapasitas 100 ribu barel dilakukan di Balikpapan, 25 ribu barel di Balongan, dan sisanya di Tuban,” kata Ignatius.

Pertamina juga menggunakan strategi time to buy alias mengoptimalkan pembelian minyak mentah saat harganya rendah. Sementara itu, saat harganya mulai meningkat, perusahaan mengekspor hasil produksinya.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyatakan perusahaan melakukan simulasi sejak pertengahan 2020 untuk mengatasi fluktuasi harga komoditas ini. “Ternyata ada beberapa crude domestik yang akan lebih baik nilai tambahnya kalau kita ekspor, lalu kita impor pasokan dengan lebih murah,” tutur dia.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati. TEMPO/Tony Hartawan

Strategi tersebut juga akan digunakan Pertamina tahun ini sehingga perusahaan mengestimasi kenaikan impor minyak mentah pada 2021. Namun angka tersebut akan dikompensasi ekspor perusahaan. Strategi ini dipercaya Nicke juga mampu membantu memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, menyatakan kenaikan harga minyak mentah membuka peluang kinerja keuangan Pertamina semakin baik. Tren kenaikan ini diprediksi masih berlanjut. Salah satunya karena sentimen vaksinasi yang memberikan kepercayaan diri pada sektor usaha. “Peluang memperoleh laba yang lebih tinggi pasti lebih besar,” ujarnya. Pasalnya, sekitar 80 persen laba perusahaan ditopang oleh sektor hulu.

Kinerja positif juga diperkirakan terjadi di sisi pendapatan karena kebijakan pemerintah yang masih melonggarkan mobilitas masyarakat meski jumlah kasus Covid-19 terus meningkat. Faktor lainnya adalah pertumbuhan sektor usaha pengguna bahan bakar, seperti transportasi, manufaktur, hingga konstruksi yang sudah menggeliat.

Penguatan rupiah terhadap dolar Amerika pun diperkirakan masih berlanjut. Sejak awal tahun, rupiah menguat didorong kemenangan Joe Biden dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat serta vaksinasi Covid-19. Dampak sentimen ini diperkirakan belum akan memudar. “Ini akan menguntungkan Pertamina karena 93 persen biaya operasional menggunakan dolar,” tuturnya.

HENDARTYO HANGGI | VINDRY FLORENTIN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus