Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ketar-ketir Menjelang Musim Kering

Kedatangan El Nino membuat petani harus mengeluarkan ongkos produksi lebih besar. Kian tercekik akibat harga pupuk masih mahal.

20 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Para petani mengandalkan pompa untuk mengairi lahan mereka.

  • Petani harus mengeluarkan biaya lebih untuk membeli bahan bakar pompa dan pupuk.

  • Pemerintah daerah mulai menjalankan program antisipasi dampak El Nino.

PREDIKSI puncak musim kering akibat El Nino pada Agustus hingga September mendatang membuat Sutikno ketar-ketir. Petani di Desa Ngampel, Madiun, itu khawatir padi yang akan ia tanam pada musim kemarau kedua tahun ini tidak berbuah maksimal. Padahal, tanpa adanya El Nino pun, ia mesti merogoh kocek lebih dalam untuk biaya produksi pada masa tanam musim kemarau kedua ketimbang pada masa tanam di musim hujan dan musim kemarau pertama setiap tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ongkos mahal tersebut dikeluarkan Sutikno dan para petani lainnya untuk biaya irigasi dengan sistem bergilir dari sumur pompa yang berada di kawasan lahan sawahnya. Berdasarkan hitung-hitungannya, modal yang diperlukan untuk menggarap sepetak lahan pada musim kemarau kedua mencapai Rp 13 juta. Nominal itu lebih tinggi Rp 4 juta dibandingkan dengan masa tanam musim kemarau pertama pada Mei lalu. “Karena airnya harus beli dan butuh beberapa kali irigasi,” ujar dia kepada Tempo, kemarin, 19 Juli 2023. Ongkos itu belum termasuk biaya untuk pupuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan Kabupaten Madiun, Suharno, menyatakan, mayoritas petani di daerahnya sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kemarau panjang. Mereka berencana mengajukan surat keterangan pembelian solar bersubsidi lewat pemerintah desa masing-masing. Solar itu digunakan untuk mengoperasikan mesin pompa pada sumur dangkal yang masih ada di kawasan persawahan mereka. Mereka tak bisa mengandalkan mesin pompa sumur dalam yang menggunakan listrik karena jumlahnya terbatas. "Se-Kabupaten Madiun jumlah (pompa listrik) hanya 200-300 unit. Idealnya ada ribuan."

Tak hanya di Madiun, para petani di sentra produksi padi lainnya juga bersiap menghadapi musim kering dalam beberapa bulan ke depan. Abdul Somad, petani di Kecamatan Patampanua, Pinrang, mengatakan bahwa para petani di kampungnya telah menyiapkan pompa air untuk mengairi lahan atau sawah, apalagi saat ini tanaman padi di sana sudah berumur sebulan lebih. “Saya sudah siapkan pompa air,” ujar Comat—sapaan akrab Abdul.

Dengan persiapan tersebut, Comat mengaku tak terlalu khawatir akan datangnya El Nino. Apalagi para petani di Pinrang sudah terbiasa dengan masalah kekeringan dalam beberapa musim tanam. Persoalan yang justru menjadi kekhawatiran mereka adalah pasokan pupuk urea yang sulit diperoleh. Padahal pupuk tersebut sangat dibutuhkan saat masuk musim tanam. “Harga pupuk di pedagang eceran mencapai Rp 170 ribu satu sak. Ya, mau tidak mau dibeli, karena kami butuh,” tutur lelaki berusia 39 tahun itu.

Sawah yang mengering di Kandanghaur, Indramayu, Jawa Barat, 15 Juni 2023. ANTARA/Dedhez Anggara

Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan fenomena iklim El Nino mencapai kondisi puncak pada Agustus hingga September mendatang. Pada saat itu, suhu muka laut di kawasan Samudra Pasifik tengah akan berada di atas kondisi normal. Kondisi tersebut akan meningkatkan potensi pertumbuhan awan di kawasan tersebut dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia.

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Ayip Said Abdullah, mengatakan bahwa para petani yang siap menghadapi kekeringan biasanya berada di daerah dengan sistem irigasi dan kecukupan air yang masih baik. Sementara itu, para petani di wilayah dengan sistem pengairan tadah hujan diperkirakan menghadapi periode sulit.

"Para petani di Indramayu, misalnya, sekarang ada yang sedang panen di wilayah Gabuswetan, tapi hasilnya turun. Sebagian tidak optimal karena kekurangan air," ujar dia. Karena kekeringan, para petani akhirnya melakukan pemompaan air yang menambah pengeluaran hingga 25 persen dari biaya tanam. Pompa digunakan untuk menyedot air dari sungai, yang kini ikut kering.

Akibat dari kondisi ini, Said memproyeksikan produksi beras secara agregat nasional bisa turun di kisaran 10 persen, terutama pada musim tanam berikutnya. Dalam situasi seperti ini, ia melanjutkan, pemerintah seharusnya melakukan antisipasi karena El Nino sudah diprediksi sejak jauh hari. Ia meminta pemerintah menyiapkan petani dalam berbagai hal, dari sarana dan prasarana pendukung, kapasitas adaptasi petani, hingga pendampingan bagi para petani. "Dengan demikian, para petani bisa menghindari kerugian."

Sawah yang kering di Desa Pasir Jambu, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, 8 Juni 2023. ANTARA/Syifa Yulinnas

Pemerintah Daerah Bersiap

Situasi yang berlainan menjelang periode puncak El Nino yang kian dekat membuat beberapa daerah mengambil pendekatan yang berbeda-beda. Pemerintah Sulawesi Selatan, misalnya, telah memperbaiki irigasi tersier agar para petani di sana tidak kekurangan air. Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Sulawesi Selatan, Imran Jauzi, mengatakan, saat ini El Nino sudah mulai terasa, khususnya di wilayah barat provinsi tersebut. Ia melihat ada beberapa wilayah yang kesulitan air, seperti Kabupaten Pinrang, Barru, dan Kota Parepare. “Tapi tidak semua wilayah itu mengalami kekeringan karena ada irigasinya. Tinggal dimaksimalkan saja,“ kata Imran.
 
Selain memperbaiki irigasi, Imran mengatakan, pemerintah menyiapkan mesin pompa dan pipa bagi para petani. Hal itu dilakukan agar proses penanaman dapat dipercepat dan mengurangi lahan yang kekurangan air. “Langkah ini untuk menutupi kekurangan produksi dari lahan kering." Dengan begitu, Imran berharap hasil panen Oktober-November tak menurun drastis agar stok masih bisa tercukupi. Apalagi Sulawesi Selatan merupakan salah satu penyangga pasokan beras nasional, sehingga stoknya harus tetap terjaga.

Adapun Pemerintah Kabupaten Cirebon menyatakan tak khawatir akan datangnya El Nino. “Produksi gabah kami tahun lalu juga surplus,” kata Kepala Bidang Ketahanan Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon, Samsina. Pada 2022, ia mengatakan, kabupatennya mencatatkan surplus beras 110 ribu ton. Hal ini terjadi karena produktivitas lahan yang cukup tinggi di wilayahnya. Samsina mengklaim 1 hektare lahan sawah di sana bisa memproduksi sampai 6,2 ton gabah. Karena itu, ia optimistis pasokan pangan di wilayahnya tidak bakal terganggu pada musim kering.

Senada dengan Samsina, Pemimpin Perum Bulog Kantor Cabang Cirebon, Imam Firdaus Jamal, meyakini stok beras yang ada di gudang mereka berada pada tingkat yang aman. “Saat ini kami memiliki stok 56.982 ton beras,” tutur Imam. Stok beras tersebut tersimpan di sejumlah gudang yang mereka miliki dan tersebar di wilayah Kota dan Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, serta Kabupaten Majalengka. Hingga hari ini, Bulog Cirebon menyatakan telah melakukan pengadaan sebanyak 82.048 ton beras. “Target prognosis kami tahun ini sebanyak 96.500 ton,” tutur Imam. Kendati ada El Nino, ia optimistis penyerapan tahun ini bisa mencapai target.

CAESAR AKBAR | NOFIKA DIAN NUGROHO (MADIUN) | DIDIT HARYADI (MAKASSAR) | IVANSYAH (CIREBON)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus