Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor Indonesia sepanjang Juli 2022 mencapai US$ 25,573 miliar, turun 2,2 persen dibanding Juni 2022 yang senilai US$ 26,15 miliar. Namun nilai ekspor Juli 2022 naik 32,03 persen dibanding Juli 2021 yang senilai US$ 19,37 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut BPS, penurunan ekspor Juli 2022 dibanding Juni 2022 disebabkan menurunnya ekspor nonmigas sebesar 1,64 persen, yaitu dari US$ 24,6 miliar menjadi US$ 24,198 miliar. Demikian juga ekspor migas turun 11,24 persen, dari US$ 1,549 miliar menjadi US$ 1,375 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penurunan terbesar ekspor nonmigas bulanan terjadi pada besi dan baja yang turun 11,51 persen, sedangkan peningkatan terbesar terjadi pada bahan bakar mineral yang naik 6,86 persen. Komoditas lain yang juga menurun nilai ekspornya adalah timah dan barang daripadanya; nikel dan barang daripadanya; kapal, perahu, dan struktur terapung; serta alas kaki.
Adapun komoditas yang meningkat selain bahan bakar mineral adalah lemak dan minyak hewan/nabati, bubur kertas dari kayu, bijih logam, terak, dan abu, serta bahan kimia organik. “Secara tahunan ekspor Indonesia masih tumbuh, meskipun melambat dibanding Juli 2021,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Setianto, kemarin, 15 Agustus 2022.
Harga Komoditas Turun
Ia juga menyoroti potensi berakhirnya momen windfall profit atau rezeki nomplok dari lonjakan harga komoditas di pasar global. “Penurunan harga komoditas unggulan ekspor utama kita, seperti CPO (minyak sawit mentah) dan nikel, menjadi perhatian sebagai tanda berakhirnya windfall profit harga komoditas,” ujar Setianto.
Dia menjelaskan, harga CPO turun cukup tajam menjadi US$ 1.056,6 per metrik ton. Pada Juli 2021, harga CPO masih sebesar US$ 1.062,9 per metrik ton. Selain CPO, penurunan harga dialami oleh minyak mentah, nikel, dan gas alam. Minyak mentah secara bulanan turun 10,03 persen, tapi secara tahunan masih meningkat 43,4 persen.
Pengolahan bijih nikel di Kolaka, Sulawesi Tenggara. Tempo/M Taufan Rengganis
“Gas alam juga menunjukkan tren penurunan pada Juli lalu. Dibanding Juni 2022 turun 5,45 persen, sementara secara tahunan masih naik,” ujar Setianto. Sedangkan harga nikel turun pada Juli 2022 menjadi US$ 21.005 per metrik ton, turun cukup dalam dari posisi akhir Juni sekitar US$ 22.800 per metrik ton.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, melihat penurunan nilai ekspor Indonesia pada Juli 2022 sebagai hal yang wajar. “Wajar, karena tidak mungkin (harganya) terus-menerus meningkat,” kata Piter. Menurut dia, meski harga beberapa komoditas sudah menurun, posisinya masih terbilang mahal.
Selain mewaspadai potensi berakhirnya windfall komoditas global, Setianto menyoroti tentang ketegangan politik antara Cina dan Taiwan. “Tiongkok merupakan mitra dagang strategis kita. Sedangkan ekspor ke Taiwan juga cenderung meningkat,” kata Setianto.
Resesi Amerika Serikat
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, sepakat bahwa ketegangan di Selat Taiwan dapat menjadi salah satu penyebab turunnya neraca perdagangan Indonesia. Namun ia lebih menyoroti resesi di Amerika Serikat sebagai penyebab yang paling signifikan.
“Kalau resesinya berkembang menjadi resesi global, berarti banyak negara industri yang mengurangi pasokan bahan baku, khususnya komoditas, dan itu bisa menyebabkan harga terkoreksi,” ucap Bhima.
Dia memandang kondisi ini sebagai tanda bahwa terjadi pembalikan arah harga komoditas utama Indonesia. Menurut Bhima, walaupun saat ini harga komoditas masih berada di puncak karena gangguan pasokan, menurunnya sisi permintaan tetap mendorong turun harga komoditas. “Daya beli masyarakat turun di negara-negara tujuan ekspor utama,” ujar Bhima.
Kendati demikian, Bhima optimistis terdapat sejumlah komoditas Indonesia yang harganya masih bagus di pasar internasional, seperti etanol, teh, beras, kayu, kentang, katun, serta uranium dan litium.
Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, sepakat bahwa beberapa harga komoditas, seperti nikel, masih berpeluang berada di posisi tinggi selama beberapa tahun ke depan. “Karena produk ini masih akan dibutuhkan, terutama untuk mendukung bahan baku produk turunannya, seperti baterai kendaraan listrik,” kata Yusuf.
JELITA MURNI | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo