Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Perlu Rem agar Tak Kepanasan

Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi selama lima kuartal berturut-turut. Inflasi yang tinggi menjadi peringatan bahwa laju ekonomi bakal melambat. 

6 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pertumbuhan ekonomi di akhir Juni mencapai 5,44 persen.

  • Pemicu utama pertumbuhan ekonomi adalah melonjaknya harga komoditas ekspor.

  • Inflasi sudah jauh dari target yang ditetapkan oleh pemerintah.

ADA pengumuman tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Jumat, 5 Agustus lalu. Cukup impresif, per akhir Juni 2022, ekonomi Indonesia tumbuh 5,44 persen jika dihitung secara tahunan, lebih tinggi ketimbang prediksi para analis. Dengan demikian, Indonesia sudah menikmati ekspansi ekonomi selama lima kuartal berturut-turut. Ekonomi terlihat sudah pulih setelah sempat terjerembap karena pandemi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tentu saja kabar baik ini membuat banyak orang terbuai optimisme. Namun, sebelum terlena lebih jauh, ada baiknya kita menengok beberapa data yang bisa menjadi petunjuk ke mana ekonomi Indonesia akan mengarah di bulan-bulan mendatang. Apakah ekonomi kita akan terus melanjutkan pemulihan dengan tumbuh cepat? Atau sebaliknya, kita mulai memasuki siklus perlambatan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk mencari petunjuk arah itu, yang pertama perlu kita telaah adalah tren harga komoditas. Sebab, pemicu utama pertumbuhan ekonomi dalam dua tahun terakhir adalah melonjaknya harga berbagai komoditas ekspor utama yang menghasilkan surplus perdagangan amat besar. Itulah bahan bakar utama penggerak ekonomi Indonesia belakangan ini.

Sejak Juli, tren harga komoditas mulai berbalik. Salah satunya harga minyak sawit mentah alias CPO yang sudah merosot amat tajam. Harga referensi CPO Indonesia yang menjadi patokan pemerintah untuk periode 1-15 Agustus 2022 hanya US$ 872 per ton. Padahal harga per Juli 2022 masih US$ 1.616 per ton. Ada penurunan hampir separuhnya, sekitar 46 persen.

Latar belakang penurunan itu adalah ekonomi global yang mulai melambat. Konsekuensinya, harga berbagai komoditas juga akan merosot karena berkurangnya permintaan. Maka bukan hanya harga CPO yang mulai memasuki tren menurun. Harga berbagai komoditas ekspor lain, seperti batu bara dan nikel, juga sudah mulai melorot. Jika tren ini terus berlanjut di bulan-bulan mendatang, surplus perdagangan Indonesia yang besar akan menurun pula, jika tak habis menguap. Dus, jika daya dorongnya menurun, investor lebih baik mulai mengantisipasi pergerakan ekonomi Indonesia yang lebih lambat.

Sebetulnya, jika kita melihat indikator lain yang juga tak kalah penting, yakni inflasi, perlambatan ekonomi memang tak terelakkan akan tiba di bulan-bulan mendatang. Setelah tumbuh dengan cepat selama lima kuartal berturut-turut, bisa dibilang ekonomi Indonesia kini sudah terlalu panas. Itu tecermin pada angka inflasi tahunan per akhir Juli 2022 yang sudah melejit menjadi 4,95 persen, tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Patut dicatat, inflasi ini juga sudah jauh melampaui target maksimal Bank Indonesia yang sebesar 4 persen.

Menimbang angka inflasi yang sudah setinggi itu, pasar mulai mengantisipasi kemungkinan bahwa bank sentral mau tak mau harus sedikit menginjak rem, memperlambat ekonomi agar inflasi lebih terkendali. Rem paling pakem untuk menurunkan suhu ekonomi yang terlalu panas adalah kenaikan suku bunga. Jika tidak ada rem, ekonomi bisa kian kepanasan. Inflasi pun makin tak terkendali, fenomena ekonomi yang sungguh merusak. Daya beli masyarakat, terutama yang berpenghasilan tetap dari upah, akan tergerus. Nilai rupiah merosot.

Tak hanya menggerus kesejahteraan orang banyak, inflasi tinggi akan makin menurunkan kredibilitas kebijakan moneter ekonomi Indonesia. Modal asing yang selama ini sudah merembes keluar dari pasar keuangan Indonesia bisa kabur lebih cepat. Neraca pembayaran Indonesia bisa menghadapi ancaman serius jika pelarian modal keluar terus berlangsung ketika surplus perdagangan sudah tak ada lagi karena harga komoditas telah melorot.

Jika kita melihat satu lagi indikator, cadangan devisa, ancaman terhadap neraca pembayaran itu bahkan sudah nyata. Dalam tempo hanya satu bulan, selama Juli 2022, cadangan devisa berkurang US$ 4,2 miliar, menjadi US$ 136,4 miliar.

Jika statistik berkata pertumbuhan ekonomi kita tinggi, itu memang menyenangkan. Tapi itu sudah berlalu. Berbagai indikator, yang dapat menjadi petunjuk bagaimana kondisi ekonomi kita di bulan-bulan mendatang, saat ini sudah mengirim sinyal berbeda. Siklus perlambatan ekonomi sepertinya akan mulai tiba.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus