Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Riza A. Pujarama merespons pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati soal kemungkinan tahun depan tak ada lagi tren lonjakan harga komoditas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Riza menilai penurunan harga komoditas yang diperkirakan terjadi pada tahun 2023 harus diwaspadai karena bakal signifikan mempengaruhi penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Ini perlu diperhatikan karena akan memengaruhi penerimaan perpajakan dari ekspor. Nilai ekspor di 2023 juga kemungkinan akan menurun,” ujar Riza dalam diskusi “Arah Kebijakan Anggaran dan Ekonomi di Tahun Politik” daring, Selasa, 16 Agustus 2022.
Penurunan ekspor itu, menurut dia, perlu diantisipasi dengan penguatan hilirisasi sumber daya alam (SDA) yang dapat meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri sehingga ekspor beserta penerimaan negara dapat dijaga.
“Diperlukan percepatan hilirisasi sehingga ekspor kita yang telah meningkat di 2021 dan 2022 bisa tetap terjaga,” kata Riza.
Ia berharap implementasi Undang-undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan juga bakal meningkatkan penerimaan perpajakan pada 2023. “Kalau di 2023 terjadi penurunan harga komoditas, diharapkan hilirisasi dan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bisa menahan perlambatan penerimaan perpajakan dari sisi ekspor,” ucapnya.
Pada tahun 2023, ia memperkirakan masih akan ada risiko nilai tukar rupiah yang melemah dan imbal hasil obligasi pemerintah akan meningkat sehingga anggaran pembiayaan juga akan meningkat.
Akibatnya, kata Riza, beban bunga utang bakal meningkat. "Perlu diingat juga sinergi dengan Bank Indonesia melalui skema burden sharing akan berakhir pada 2022,” katanya.
Selanjutnya: Belanja bunga utang pada 2023 bakal mencapai Rp 441,4 triliun.
Dalam RAPBN 2023, pemerintah menyebutkan belanja bunga utang akan mencapai Rp 441,4 triliun. Angka ini lebih tinggi dari tahun sebelumnya senilai Rp 405,9 triliun.
Sri Mulyani sebelumnya memastikan insentif pajak masih akan tetap ada pada tahun 2023. Insentif tersebut tetap disiapkan pemerintah di tengah naiknya target penerimaan pajak saat harga-harga komoditas diperkirakan melandai dan ekonomi mulai pulih.
Total besaran insentif perpajakan yang telah disiapkan tahun depan sebesar Rp 41,5 triliun. Namun ia belum merinci bentuk insentif perpajakan apa yang akan diberikan pemerintah tersebut.
Adapun pada tahun depan target penerimaan pajak dinaikkan dan untuk bea dan cukai diturunkan. "Tahun depan pajak itu masih akan memberikan insentif perpajakan yang mencapai Rp 41,5 triliun," kata Sri Mulyani saat konferensi pers di Jakarta, Selasa, 16 Agustus 2022.
Ia menjelaskan, kendati target pajak pada tahun depan ditargetkan naik hingga 6,7 persen, tapi tidak akan banyak ditopang oleh durian runtuh atau windfall dari naiknya harga-harga komoditas seperti yang terjadi pada 2022.
Oleh sebab itu, target penerimaan bea dan cukai malah diturunkan 4,7 persen tahun depan. "Komoditas diperkirakan akan menurun dan menyebabkan penerimaan yang tidak terulang pada tahun depan," ucap Sri Mulyani.
ANTARA | ARRIJAL RACHMAN
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.