Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Serikat Pekerja Nusantara (SPN) menyebut pailitnya raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) bukan merupakan kasus perdana. Sejumlah perusahaan di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) telah lebih dahulu berhenti beroperasi tahun ini karena pailit hingga bangkrut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Di sektor garmen ada beberapa perusahaan yang memang kondisinya sulit,” ucap Ketua Bidang Riset, Penelitian dan Pengembangan Organisasi SPN, Sugianto, saat dihubungi Tempo, Ahad, 27 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sugianto mencontohkan, kondisi pailit dialami oleh pabrik tekstil di Pekalongan. Pada Kamis, 12 September 2024, Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Semarang memutuskan pailit kepada PT Pandanarum Kenangan Textil (Panamtex). Permohonan pailit diajukan oleh mantan karyawan mereka.
Di Tangerang, pabrik pakaian olah raga PT Tuntex Garment Indonesia yang berada di Cikupa, Kabupaten Tangerang lebih dahulu gulung tikar pada April 2024. Perusahaan ini kemudian melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK terhadap 1.163 buruh.
Akibat PHK besar-besaran itu, Sugianto mengatakan serikatnya sampai saat ini masih mengadvokasi hak-hak yang seharusnya diterima oleh para buruh. Hak-hak yang dituntut terutama adalah pesangon dalam jumlah layak. Proses itu kini masih berjalan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Kepada para buruh korban PHK, Sugianto mengingatkan hal yang harus dipersiapkan adalah mental dan emosi untuk berjuang. Sebab, menurut dia, perjuangan tak akan mudah dan cepat, tapi akan terus-menerus.
Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang, Jawa Tengah, menyatakan perusahaan tekstil legendaris, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, dalam status pailit. Keputusan ini tercantum dalam nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg pada Senin, 21 Oktober 2024.
Sritex memberikan klarifikasi tentang utang terhadap PT Indo Bharat Rayon (IBR) yang melakukan gugatan di Pengadilan Niaga Semarang. Sritex menyatakan memiliki utang sebesar Rp100.308.838.984 terhadap perusahaan tersebut berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasian per tanggal 30 Juni 2024.
Pailitnya Sritex dan sejumlah perusahaan lain melanjutkan tren negatif industri TPT selama beberapa tahun terakhir. Utilitas pabrik-pabrik pakaian jadi di dalam negeri kian berkurang karena pasar yang menghilang. Penurunan pendapatan ini ditengarai akibat pasar dibanjiri produk impor dari luar negeri, terutama Cina.