Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kenaikan suku bunga The Fed memicu pelarian modal ke luar negeri.
Kurs rupiah terancam terus melemah.
Lesunya harga komoditas memperparah ancaman terhadap rupiah.
SUKU bunga akan bercokol di level tinggi dalam waktu lebih lama. Itulah sentimen negatif yang terjadi di pasar keuangan setelah terbitnya keputusan The Federal Reserve pekan lalu. Suku bunga The Fed memang tidak naik, tetap 5,25-5,5 persen. Namun bank sentral Amerika Serikat itu malah melepas isyarat bunga masih bisa naik lagi hingga menjelang akhir tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasar pun sampai pada konsensus bunga The Fed baru akan turun secepat-cepatnya pada kuartal III 2024. Pasar keuangan global pun makin bergejolak mengantisipasi rezim bunga tinggi ini. Dollar Index, yang terkenal dengan kode DX, langsung melejit ke angka 105,5. Ini adalah angka tertinggi sejak Maret 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pergerakan DX sangat penting sebagai patokan pasar keuangan lantaran mencerminkan naik-turunnya nilai dolar Amerika Serikat terhadap enam mata uang utama dunia (yen, pound sterling, euro, krona Swedia, dolar Kanada, dan franc Swiss).
Jika dihitung dalam tiga bulan terakhir, DX sudah menguat 2,85 persen. Tingginya bunga dan menguatnya dolar Amerika memicu kaburnya dana investor ke luar negeri. Mereka berburu imbal hasil yang lebih baik. Di pasar modal, data RTI mencatat penjualan bersih oleh investor asing senilai Rp 20,46 triliun dalam tiga bulan terakhir.
Di pasar obligasi pemerintah, arus dana asing keluar deras sejak pertengahan Agustus hingga akhir pekan lalu. Dana asing yang parkir di obligasi pemerintah amblas hampir Rp 20 triliun. Akibatnya, di pasar spot, kurs rupiah melemah ke arah 15.400 per dolar Amerika Serikat. Nilai rupiah terhadap dolar Amerika sudah tergerus 2,55 persen dalam tiga bulan terakhir, nyaris sejalan dengan penguatan DX.
Di tengah tekanan kaburnya modal asing, Bank Indonesia memilih bertahan tidak menaikkan suku bunga. Sidang Dewan Gubernur BI pada Kamis, 21 September lalu, memutuskan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate tetap 5,75 persen.
Ini memang pilihan sulit. Jika BI menaikkan bunga, akan muncul insentif bagi manajer investasi untuk tidak memindahkan dananya ke luar negeri. Bunga tinggi di dalam negeri berarti imbal hasil investasi di sini juga naik. Namun naiknya bunga patokan BI punya konsekuensi sampingan yang serius. Kegiatan ekonomi di dalam negeri bisa melambat karena biaya modal naik, bunga berbagai kredit pun meningkat.
Maka, alih-alih menaikkan bunga, BI mengandalkan dua instrumen baru untuk menahan merosotnya nilai rupiah. Yang pertama adalah implementasi kewajiban membawa pulang devisa hasil ekspor sumber alam.
Sayangnya, aturan ini boleh dibilang setengah hati karena cuma mewajibkan eksportir menarik devisa sebesar 30 persen saja. Kalau toh aturan itu berjalan efektif, nilai devisa yang dibawa pulang eksportir tidak akan bertambah secara signifikan. Tanpa ada aturan ini pun tentu eksportir harus membawa sebagian devisa ke dalam negeri untuk menutup berbagai ongkos operasi ataupun produksi di sini.
Yang lebih baru, BI menjual Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) bagi investor yang ingin menempatkan dana dalam rupiah. BI menggunakan obligasi pemerintah miliknya sebagai aset yang mengalasi penjualan SRBI. Pada lelang pertama SRBI, Jumat, 15 September lalu, pasar cukup antusias merespons. Investor membeli total SRBI senilai Rp 24,46 triliun. Ada prospek positif SRBI menjadi alternatif bagi investor yang ingin menahan dana dalam rupiah, apalagi jika BI menawarkan imbalan yang menarik.
Persoalannya, tekanan pada rupiah tidak hanya bersumber dari pergerakan dana di pasar keuangan. Di sektor riil, bunga The Fed yang tetap awet tinggi juga berpotensi memperlambat perputaran ekonomi global. Pada gilirannya, harga berbagai komoditas ekspor Indonesia makin lemah lantaran turunnya tingkat permintaan. Penerimaan ekspor kita menurun sehingga Indonesia bisa kembali jatuh ke defisit perdagangan dan juga defisit neraca pembayaran.
Kesimpulannya, keseimbangan neraca eksternal Indonesia akan memasuki masa-masa sulit jika suku bunga The Fed bertahan tinggi. Investor mungkin harus melepas harapan melihat kurs rupiah menguat ke bawah level 15 ribu per dolar Amerika Serikat tahun ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Deras Tekanan pada Rupiah"