Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, menilai skema iuran BPJS Kesehatan terbaru sudah lebih baik. Dalam Perpres 64 Tahun 2020 tersebut, sudah ada pengelompokan skema iuran yang lebih baik serta kepesertaan dan watak gotong royong yang lebih adil.
"Hal bagus di Perpres 64/2020 syarat pengaktifan kembali diperlonggar. Sebelumnya harus bayar tunggakan 24 bulan. Sekarang, untuk dukungan di masa pandemi, pelunasan cukup 6 bulan saja. Pelunasan juga boleh sampai 2021. Pripun, enak njih?" kata Yustinus dalam Twitternya, Sabtu, 16 Mei 2020.
Dalam beleid itu juga ada penurunan besaran denda, yakni sebesar 5 persen dari perkiraan paket INA CBG. Namun untuk dukungan di masa Covid-19, tahun 2020 hanya dikenakan denda 2,5 persen.
"Pesannya jelas: naikin iuran gak asal naikin, ada pertimbangan masa pandemi juga. Adil dan bijak?" tulis Yustinus lagi.
Yustinus pun membeberkan biaya perawatan peserta BPJS per kelas. Untuk, kelas satu Rp 286.065, kelas dua Rp 184.617, kelas tiga Rp 137.221. Tarif sejak 2016 Kelas satu Rp 80.000, kelas dua Rp 51.000, dan kelas tiga Rp 25.500.
Di Perpres itu, untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) iuran Rp 42.000 dibayar Pemerintah. Jika sebelumnya untuk 96,5 juta orang, kini diperluas menjadi 132 juta orang. Artinya, orang miskin dan tak mampu tetap tak bayar iuran dan menikmati layanan yang sama.
Sedangkan Peserta Penerima Upah dengan batas atas gaji+tunjangan Rp 12 juta dan batas bawah UMR Kab/Kota, iurannya tetap 5 persen: 4 persen dibayar Pemberi Kerja, 1 persen dibayar Pekerja. Artinya selain 132 juta orang, yang 37 juta peserta juga tarifnya tetap.
"Lalu kenapa dibilang naik? Nah ini dia. Untuk Peserta Bukan Penerima Upah/Bukan Pekerja ada penyesuaian iuran. Tapi ingat ya tadi siapa penyebab defisit? Kelompok ini menyumbang defisit Rp 27,4 triliun. Demi keberlanjutan Jamkes, maka diperbaiki," kata dia.
Peserta BPJS Kesehatan Kelas I, kata dia, membayar Rp 150 ribu, Kelas II Rp 100 ribu, dan Kelas III Rp 25.500. Dia membandingkan dengan biaya menurut aktuaris, masih jauh di bawah. Dibandingkan dengan iuran di Perpres 75/2019 pun lebih rendah.
Bahkan untuk kelas tiga, cukup bayar Rp 25.500 karena pemerintah pun menyubsidi Rp 16.500. Tahun 2021 baru jd Rp 35.000 dengan subsidi Rp 7.500. Penyesuaian iuran itu, kata Yustinus dirasakan oleh Peserta Bukan Penerima Upah. Ini kelompok non-karyawan yang penghasilannya bervariasi.
"Sesuai prinsip ability to pay, silakan yang mampu bayar lebih tinggi. Yang tak mampu silakan ikut Kelas 3. Bukankah cukup fair? Layanan medisnya sama kok," kata dia.
Jika masih ada yang protes karena pandemi, semestinya bukan PBI maupun PPU, tapi kelompok PBPU yang ternyata kepatuhannya selama ini baru 54 persen. "Banyak yang hanya mengiur (membayar iuran) saat butuh layanan, sesudahnya menunggak. Ya ini potret masyarakat kita yang masih butuh edukasi dan sosialisasi," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini