Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kabar kenaikan suku bunga acuan The Fed terasa di pasar saham.
Inflasi AS mencapai rekor tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Fundamental perekonomian Indonesia diklaim mampu meredam tekanan eksternal.
JAKARTA — Kabar kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), terasa di pasar saham. Indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia tertekan ke zona merah dan ditutup di level 7.007, kemarin.
Head of Investment Research Infovesta, Wawan Hendrayana, menuturkan pelemahan tersebut merupakan bentuk antisipasi pelaku pasar terhadap kebijakan The Fed. "Kalau suku bunga naik 75 basis point, IHSG akan terkoreksi (lagi)," ujarnya saat dihubungi, kemarin. Meskipun dia memperkirakan efeknya tak bertahan lama.
Pekan lalu, Amerika Serikat mengumumkan tingkat inflasi per Mei 2022 mencapai 8,6 persen, tertinggi selama empat dekade terakhir. Saat inflasi melesat, pemerintah membutuhkan tambahan likuiditas sebagai rem. Pada 4 Mei lalu, The Fed telah menaikkan suku bunga hingga 50 basis point. Pekan ini kembali beredar kabar bahwa bank sentral tersebut akan mengerek lagi suku bunga acuan mereka menjelang Federal Open Market Meeting (FOMC) yang digelar pada 14-15 Juni.
Kementerian Keuangan memperkirakan The Fed menaikkan suku bunga sebesar 50 basis point dalam pertemuan tersebut. Berkaca dari pengalaman pada 2008, 2013, dan 2020, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu, menuturkan pengetatan likuiditas serta kenaikan suku bunga The Fed kerap terjadi dalam kondisi ekonomi yang tidak pasti. Itulah sebabnya dia memproyeksikan sampai akhir tahun masih akan ada kenaikan suku bunga. Dalam kalender agenda The Fed, FOMC dijadwalkan lagi pada 26-27 Juli, 20-21 September, 1-2 November, dan 13-14 Desember.
"Kami proyeksikan paling tidak dia akan naik ke atas 3 persen pada akhir tahun dan kami antisipasi The Fed akan lakukan ini hampir di setiap pertemuan FOMC ke depan," kata Febrio.
APBN Menjadi Bantalan
Pemerintah menyatakan sudah bersiap mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed sampai akhir tahun. Dia optimistis dampaknya terhadap Indonesia tak terlalu besar lantaran fundamental perekonomian Indonesia saat ini mampu meredam tekanan eksternal, termasuk dengan adanya bantalan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, seperti subsidi serta kompensasi. Menurut Febrio, pengelolaan keuangan pada 2022 berjalan dengan sangat hati-hati, begitu juga dengan perencanaan untuk tahun berikutnya.
Fundamental yang kuat itu disampaikan juga oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Menurut dia, saat ini bank sentral Indonesia tidak harus terpaksa menaikkan suku bunga. "Kami sudah menyerap likuiditas dengan menaikkan giro wajib minimum (GWM)," tutur dia. Per Juni ini, GWM naik menjadi 6 persen dan meningkat lagi pada bulan berikutnya menjadi 7 persen. Pada September, GWM dipatok 9 persen. Kenaikan tersebut diklaim tak mengganggu kemampuan perbankan menyalurkan kredit dan pembiayaan surat berharga negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. TEMPO/Nita Dian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Perry, likuiditas di perbankan domestik saat ini sangat longgar. Sebab, dalam dua tahun terakhir, Bank Indonesia menambah likuiditas quantitative easing dengan jumlah yang sangat besar. Indikatornya adalah rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (DPK) yang akan menurun dari 29 persen menjadi 27 persen setelah kebijakan GWM diberlakukan.
Pelonggaran Perbankan dan Pasar Modal
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah menyiapkan antisipasi dampak kebijakan The Fed, baik terhadap perbankan maupun sektor pasar modal. Deputi Komisioner Pengawasan Pasar Modal I OJK, Djustini Septiana, menyatakan pihaknya bersama para pemangku kepentingan di sektor perbankan bakal duduk bersama membahas antisipasi kenaikan suku bunga. "Kami akan membuat kebijakan pelonggaran, dan tentunya sosialisasi kepada masyarakat mengenai bagaimana kita mempertahankan ekonomi," kata dia.
Salah satu pelonggaran yang sudah berjalan saat ini bagi industri pasar modal, antara lain pelonggaran dalam penyelenggaraan rapat umum pemegang saham (RUPS) perusahaan terbuka melalui pemanfaatan teknologi informasi e-RUPS, e-proxy, dan e-voting. Selain itu, disediakan pelonggaran perpanjangan batas waktu penyampaian laporan berkala emiten atau perusahaan publik serta waktu pelaksanaan RUPS.
Untuk pengendalian volatilitas dan menjaga kestabilan pasar modal dan sistem keuangan, OJK mengeluarkan kebijakan pembelian kembali saham tanpa melalui RUPS oleh emiten, perubahan batas atas auto rejection (asymmetric) dalam perdagangan di bursa efek, serta penyesuaian mekanisme pra-pembukaan kepada PT Bursa Efek Indonesia.
Khusus di pasar modal, Djustini menyampaikan ada kekhawatiran banyaknya uang keluar dari pasar modal sejalan dengan menurunnya IHSG. Namun, dengan bertumbuhnya investor lokal yang didominasi kaum milenial, kekhawatiran tersebut tak begitu signifikan. "Ada penurunan, tapi ternyata diserap kembali oleh investor lokal, sehingga kekhawatiran indeks jatuh bisa tertahan. Bahkan tetap dalam tren positif," ujarnya.
VINDRY FLORENTIN | ALI AKHMAD NOOR HIDAYAT | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo