Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MINYAK dan gas bumi, dalam pandangan Ginandjar Kartasasmita, tak bisa lagi jadi sokoguru APBN. Pernyataan Menteri Pertambangan dan Energi itu ternyata tak sedikit pun mengurangi gairah Pertamina, yang berulang tahun ke-31 Senin lalu. Dan Faizal Abda'oe, Dirut swasta pertama yang menggantikan A.R. Ramly, Agustus lalu, masih bisa menyusun rencana perusahaan untuk lima tahun mendatang. "Dulu Pertamina hanya memperhatikan masalah pengolahan, tapi sekarang akan memanfaatkan semua aset yang ada," kata Abda'oe. Nadanya optimistis. Jelaslah, Pertamina akan dikembangkan dari berbagai kegiatannya yang sudah ada. Menurut Abda'oe, dewasa ini 70% kegiatan Pertamina adalah untuk menstabilkan pemasokan BBM. Memang itulah misi utama Pertamina. "Kalau rugi, pemerintah memberi subsidi. Kalau untung, diteruskan kepada pemerintah," tutur Abda'oe. Rekor baru subsidi BBM, di luar dugaan, tercipta pada tahun anggaran silam. Hal itu terungkap dari laporan yang disampaikan Dirut Pertamina di DPR awal bulan ini. Biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan BBM tahun anggaran 1987-1988 mencapai Rp 7,3 trilyun. Sedangkan penjualan BBM -- yang antara lain berupa minyak tanah, solar, premium, super -- hanya Rp 5,3 trilyun. Berarti tekor berat, yang hampir mencapai Rp 2 trilyun. Subsidi sebesar itu memaksa kita berkerut kening. Ironis. Bukankah subsidi Rp 2 trilyun itu melampaui rekor subsidi BBM Rp 1,3 trilyun yang tercatat pada APBN 1981-1982? Di samping itu, bujet BBM Rp 226 milyar, untuk tahun anggaran berjalan pun, tak cukup. Sebab, untuk periode April-Juni 1988 saja, pemerintah harus memberikan subsidi Rp 435 milyar. Sementara itu, pengadaan BBM triwulan itu saja menyedot Rp 1.802 milyar (mulai dari pembelian minyak mentah, pengolahan, dan distribusi). Runyamnya, penjualan BBM hanya menghasilkan Rp 1.367 milyar. Toh sampai detik ini, Dirut Pertamina maupun Menteri Pertambangan dan Energi sama sekali belum memberikan aba-aba kenaikan harga BBM. Dan mudah-mudahan itu tak terjadi. Sebab, defisit BM terutama timbul dari harga crude, yang ternyata berkibar di atas perkiraan US$ 16 per barel. Bahkan dengan harga patokan US$ 15 per barel, pemerintah menganggarkan penerimaan minyak dan gas sebesar Rp 6.938 milyar dalam APBN 1987-1988. Angka realisasi itu masih sedang diaudit, tapi konon mencapai Rp 10 trilyun. Dengan demikian, dalam APBN yang berakhir 31 Maret lalu itu, pemerintah mendapat tambahan penghasilan sekitar Rp 2 trilyun lebih. Agaknya, tambahan penghasilan itu masih disimpan, tidak dipakai untuk subsidi BBM. Sebab, Pertamina praktis sudah menikmati langsung dari pemasokan minyak mentah (crude). Untuk pengadaan BBM itu, Pertamina menghabiskan 239 juta barel (crude) -- sekitar 71% dipasok oleh Pertamina sendiri. Seperti diketahui, crude produksi dalam negeri mendapatkan harga tinggi, yakni dihitung menurut patokan OPEC US$ 17,56 perbarel. Baru sejak Juli 1988, harga jualnya diberikan diskon 1-5 dolar per barel. Kendati harga minyak mentah sekarang 12-13 dolar per barel, Menteri Ginandjar menjamin, "Belum membahayakan APBN." Mengapa? Sejak Januari 1988, Indonesia ternyata belum menggenjot produksi minyak melampaui jatah yang ditentukan OPEC, 1,24 juta barel per hari. Produksi minyak mentah Indonesia pada periode April-Oktober rata-rata hanya 1,16 juta barel per hari -- 1,32 juta barel kalau dengan kondensat. Berarti jumlah produksi dengan kondesat itu pun masih di bawah target APBN, yang 1,35 juta barel per hari. Sementara ini, pemerintah telah memutuskan bahwa ekspor minyak nantinya bukan lagi dalam bentuk mentah. "Proyek Exor (export oriented refinery) itu ada dua," kata Direktur Pengolahan Pertamina, Tabrani Ismail. Yang pertama, akan dibangun oleh perusahaan Inggris, British Petroleum (BP) dalam waktu dekat, dan satu lagi akan dibangun oleh perusahaan patungan dengan Arab Saudi dan Jepang. Proyek pertama yang akan dibangun oleh British Petroleum, semula lokasinya direncanakan sekitar Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Tapi kemudian dianggap kurang efisien. Lalu dicari sekitar Jakarta, kemungkinan antara Tanjung Krawang dan Tanjung Gembong, Bekasi, Jawa Barat. Akhir Oktober lalu, BP telah menyerahkan konsep bagi hasil (off-take agreemen). Tapi pembahasan konsep itu sementara tertunda sejak awal November. Pertama, karena Pertamina ingin mengubah disain proyek. Kedua, Pertamina menginginkan hasil proyek Exor ini dipakai untuk memenuhi kebutuhan BBM Pulau Jawa saja, terutama untuk DKI, yang paling rakus menelan BBM (lebih dari 30% kebutuhan nasional). Katanya lagi, studi pemasaran ekspor telah dilakukan oleh suatu perusahaan konsultan indenpenden, yakni Petroleum Economist Limited (PEL). Tapi perundingan proyek Exor pertama tampaknya akan rumit. Sebab, BP harus membangun proyek di sekitar Jakarta, sedangkan minyak kilang yang akan diekspor -- yang kelak akan merupakan sumber penghasilannya -- diambil dari pabrik-pabrik pengilangan yang ada di luar Jawa. Ada indikasi, dalam kerja sama dengan BP, Pertamina sangat mengutamakan kepentingannya sendiri. Dewasa ini, menurut Tabrani, dua kilang minyak di Balikpapan masih bekerja di bawah kapasitas. Sebab, dua kilang ini semula dirancang untuk mengilang dua jenis minyak, yakni Handil dan Bekapai, yang banyak mengandung gas. Tapi kini, Balikpapan mengilang 11 jenis minyak mentah yang tak banyak gasnya, cukup dengan satu kilang saja. Praktis satu kilang menganggur. Untuk mengefisienkan itu, maka Pertamina antara lain menyewakan mesin. Seperti diketahui, kilang Balikpapan telah dimanfaatkan untuk mengilang minyak Petronas dari Malaysia. Selain itu, Pertamina juga berusaha mencari pasar BBM. "Tadi pagi, Pertamina juga menang tender untuk memasok bahan bakar jet GT 4 untuk Defense Fuel Center, AS," tutur Tabrani. Itulah sebagian langkah kongkret Pertamina dalam memanfaatkan asetnya. Tak dapat dipungkiri bahwa Pertamina merupakan perusahaan terbesar di Indonesia. Aset Pertamina sendiri pada akhir Juni lalu tercatat Rp 13.344 milyar, jika digabung dengan asetnya pada 21 perusahaan patungan menjadi Rp 18.453 milyar. Sekitar separuh (Rp 9.425 milyar) dari aset itu merupakan penyertaan modal pemerintah (PMP). Tapi menurut Abda'oe, pendapatan Pertamina secara konsolidasi berjumlah Rp 14.921 milyar. Sedangkan biaya yang dikeluarkan berjumlah Rp 13.378 milyar. Masih ada laba kotor Rp 1.543 milyar. Dari laba itu, sekitar Rp 865 milyar harus disetorkan kepada pemerintah sebagai dana pembangunan (pajak). Laba bersih Pertamina secara konsolidasi (bersama 21 perusahaan patungan minyak) masih Rp 678 milyar. Namun, para wakil rakyat dari Komisi VI belum puas. "Setiap kali rapat dengan Komisi VI DPR, kami mengharapkan Pertamina bisa menunjukkan hasil usaha penghematan. Tapi kami melihat biaya pengelolaan Pertamina masih lebih tinggi dibandingkan biaya para kontraktor minyak," kata Tadjudin Noer Said, yang ikut membahas laporan Pertamina di Komisi VI DPR, Jumat pekan silam. Max Wangkar, Moebanoe Moera, Tommy T., Dyah P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo