Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Risiko Utak-atik Subsidi Energi

Subsidi energi bisa membengkak akibat konflik Timur Tengah. Pemerintah perlu waspada sebelum menyesuaikan subsidi energi.

18 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jika konflik Iran dengan Israel meningkat, harga minyak bisa naik ke kisaran US$ 100 per barel atau di atas asumsi harga minyak mentah di APBN 2024 sebesar US$ 82.

  • Dengan kenaikan harga minyak serta pelemahan nilai tukar rupiah saat ini, anggaran subsidi energi dan kompensasi bisa membengkak. Tiap kenaikan ICP sebesar US$ 1, dengan asumsi kurs Rp 15 ribu, pemerintah diperkirakan harus menombok Rp 5,3 triliun.

  • Kementerian ESDM memproyeksikan subsidi BBM dan kompensasinya berpotensi membengkak menjadi Rp 249,8 triliun dari asumsi APBN 2024 yang hanya Rp 160,91 triliun.

SERANGAN Israel ke gedung konsulat Iran di Distrik Mezzeh Barat, Damaskus, Suriah, pada 1 April lalu, yang kemudian dibalas dengan gempuran pesawat nirawak alias drone Iran pada 13 April, mengguncang pasar minyak mentah dunia. Harga komoditas ini untuk jenis Brent, misalnya, merangkak naik dari kisaran US$ 85 per barel pada bulan lalu ke kisaran US$ 90 pada pekan ini. Ini level tertinggi sejak setengah tahun terakhir. Buntutnya, subsidi energi di dalam negeri bisa membengkak.

Hingga saat ini, Israel belum bereaksi terhadap serangan balik Iran yang merupakan salah satu produsen minyak besar dunia. Namun, jika konflik Iran dengan Israel meningkat, harga minyak bisa naik ke kisaran US$ 100 per barel. "Jika perang makin memburuk, terbuka peluang ke US$ 120-140 per barel," kata analis komoditas dan pendiri Traderindo.com, Wahyu Tribowo Laksono, kepada Tempo, kemarin.

Kenaikan harga minyak dunia ini bakal mengerek harga acuan minyak di dalam negeri. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2024, pemerintah mematok harga minyak mentah domestik atau Indonesia Crude Price (ICP) hanya US$ 82 per barel. ICP dihitung berdasarkan rata-rata sejumlah minyak mentah utama, seperti Brent serta West Texas Intermediate. 

Asumsi ICP menjadi salah satu dasar menentukan besaran volume dan nilai subsidi energi. Selain itu, pemerintah mempertimbangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dalam asumsi APBN 2024, nilainya diperkirakan Rp 15 ribu untuk satu dolar. Namun, hingga kemarin, kurs sudah tembus Rp 16 ribu per dolar AS.

Dengan asumsi nilai tukar Rp 15 ribu per dolar AS, pemerintah menetapkan anggaran subsidi energi sebesar Rp 189,1 triliun. Dana itu terbagi untuk subsidi bahan bakar minyak tertentu dan elpiji tabung 3 kilogram sebesar Rp 113,27 triliun serta subsidi listrik senilai Rp 75,83 triliun. Ditambah dengan kompensasi, total pemerintah menganggarkan Rp 329,9 triliun.

Dengan kenaikan harga minyak serta pelemahan nilai tukar rupiah saat ini, anggaran subsidi energi dan kompensasi bisa membengkak. Kepala Pusat Kajian Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Indef Abra Talattov menghitung, pemerintah harus mengeluarkan dana tambahan buat subsidi energi dan kompensasi sekitar Rp 106 triliun jika ICP mencapai US$ 100 per barel serta kurs Rp 15 ribu per dolar AS. Artinya, tiap kenaikan ICP sebesar US$ 1, dengan asumsi kurs Rp 15 ribu, pemerintah harus menombok Rp 5,3 triliun. 

Nilainya bisa bertambah besar jika ICP mencapai US$ 100 per barel dan kurs sampai akhir tahun di kisaran Rp 16 ribu. Abra mencatat, tiap kenaikan ICP US$ 1, pemerintah harus menambah anggaran sebesar Rp 7,8 triliun. Tahun ini total tambahan biaya subsidi energi dan kompensasi bisa mencapai Rp 156,5 triliun.

Estimasi itu belum menghitung risiko peningkatan konsumsi BBM dan elpiji bersubsidi. "Kalau kuota jebol 10 persen, potensi tambahan subsidi dan kompensasi bisa Rp 194,7 triliun," ujarnya. Dengan asumsi, ICP sebesar US$ 100 per barel dan kurs Rp 16 ribu.

Sejumlah tanker berada dekat instalasi penyulingan minyak di kawasan industri Jurong yang merupakan pintu masuk impor bahan bakar minyak ke Indonesia di Singapura. ANTARA/Joko Sulistyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Skenario pembengkakan kuota subsidi perlu menjadi perhatian pemerintah. Ketika harga minyak naik, harga jual BBM nonsubsidi bisa ikut naik. "Masyarakat (dalam upaya) untuk mengurangi beban pengeluaran pasti akan migrasi ke BBM subsidi," kata Abra. Selama bertahun-tahun penyaluran subsidi energi, kecuali listrik, belum bisa dilakukan secara tepat sasaran. 

Menurut Abra, risiko ini sangat serius karena ruang fiskal pemerintah makin terbatas. Tahun ini tidak ada kebijakan pelebaran defisit seperti saat masa pandemi. Ditambah lagi ada agenda-agenda politik calon presiden dan wakil presiden baru yang juga membutuhkan anggaran besar. 

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira juga menilai manuver pemerintah bakal terbatas untuk mengantisipasi pembengkakan subsidi energi dan kompensasi. "APBN sudah sangat boros dalam beberapa bulan terakhir, terutama untuk bantuan sosial," ujarnya. Dia juga menyebutkan potensi anomali pergerakan harga komoditas mineral, batu bara, serta perkebunan yang umumnya terkerek saat harga minyak dunia naik. Permintaan yang menurun seiring dengan ketidakpastian global bisa mengganggu penerimaan negara yang mengandalkan komoditas-komoditas tersebut. 

Kondisi ini akan mendorong pemerintah membatasi volume energi bersubsidi di beberapa tempat untuk mengurangi tekanan pada keuangan negara. Opsi lainnya adalah menaikkan harga BBM bersubsidi. Seperti saat konflik Rusia dan Ukraina meletus, kenaikan harga minyak dunia pada 2022 mendorong pemerintah menaikkan harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10 ribu per liter dan solar dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter.

Namun mengutak-atik volume dan harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi punya risiko besar. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan energi punya peran sebagai katalis pertumbuhan ekonomi. Indonesia yang ingin ekonominya tumbuh di atas 5 persen butuh insentif dari sisi ini.

Energi berfungsi mendukung kegiatan produksi barang dan jasa. Saat terganggu, muncul ancaman pemutusan hubungan kerja yang menambah masalah pengangguran di dalam negeri. Dari sisi distribusi pun perannya sentral lantaran mempengaruhi harga jual ke konsumen yang berujung pada lonjakan inflasi tak hanya dari energi, tapi juga barang lain. Kondisi ini akan menurunkan daya beli masyarakat. Padahal kontribusi konsumsi lebih dari 50 persen ke ekonomi nasional. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

''Kalaupun harga BBM naik, perlu dipertimbangkan di titik mana supaya dampaknya tidak signifikan," ujar Komaidi.

Petugas melakukan pengecekan rutin sebuah tangki bahan bakar di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Plumpang, Jakarta Utara. TEMPO/Tony Hartawan

 

Di tengah keterbatasan fiskal negara, Komaidi mengatakan, pemerintah masih punya ruang dengan realokasi program. Kegiatan studi banding atau bersifat seremoni, misalnya, bisa ditunda sementara. Untuk jangka panjang, pembenahan penyaluran subsidi dilakukan agar bisa lebih tepat sasaran. Subsidi yang tepat sasaran bisa menjadi solusi mencegah pembengkakan belanja tiap kali harga minyak naik. Selain itu, ini momentum yang tepat untuk mematangkan lagi rencana peralihan ke energi non-fosil.

Pemerintah masih memantau perkembangan konflik dan pergerakan harga minyak saat ini. Mereka menanti respons Israel terhadap serangan balik Iran. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tutuka Ariadji mengatakan sejumlah simulasi dampak konflik di Timur Tengah juga terus dikerjakan sebagai antisipasi.

Dia mengatakan potensi kenaikan ICP hingga US$ 100 per barel mungkin terjadi. Artinya, subsidi BBM dan kompensasinya berpotensi membengkak menjadi Rp 249,8 triliun dari asumsi APBN 2024 yang hanya Rp 160,91 triliun. Dengan catatan, kurs senilai Rp 15.900 per dolar AS. 

Soal kenaikan BBM, dia menuturkan belum ada rencana perubahan hingga paruh pertama tahun ini. "Harga BBM masih seperti itu (hingga Juni)," katanya seperti dilansir Antara.

Adapun Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan memonitor kondisi selama dua bulan ke depan sebelum membuat keputusan ihwal anggaran subsidi energi. "Kami lihat satu-dua bulan situasi seperti apa. Kalau tidak ada eskalasi kami berharap harga minyak bisa flatten tapi kalau ada eskalasi tentu berbeda," kata Airlangga di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, pada Selasa, 16 April 2024. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Riani Sanusi Putri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus