Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Surplus neraca perdagangan mencetak rekor tertinggi dalam 15 tahun terakhir.
Neraca perdagangan pada 2021 ditopang oleh tren kenaikan harga komoditas global.
Tingginya nilai surplus neraca perdagangan bisa mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional.
JAKARTA – Surplus neraca perdagangan mencetak rekor tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan sepanjang 2021 mencapai US$ 35,34 miliar atau setara dengan Rp 506 triliun dengan kurs 14.325 per dolar Amerika. “Rekor tertinggi sebelumnya pada 2006 sebesar US$ 39,37 miliar,” kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang 2021, nilai ekspor tercatat sebesar US$ 231,54 miliar. Angka itu naik 41,88 persen secara tahunan (yoy). Secara sektoral, ekspor pertambangan dan lainnya mencatatkan kenaikan tertinggi dibanding pada 2020, yakni sebesar US$ 37 miliar atau naik 92,15 persen. Pada tahun sebelumnya, sektor tersebut hanya menyumbang US$ 19,73 miliar. Kontribusi ekspor pertambangan pada 2021 terhadap neraca perdagangan mencapai 16,38 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenaikan nilai ekspor ini diikuti kenaikan nilai impor. Tahun lalu, nilai impor tercatat sebesar US$ 196,19 miliar atau naik 38,59 persen dibanding pada 2020. Kenaikan nilai impor tertinggi berasal dari bahan baku penolong industri, yakni sebesar 42,80 persen. Nilai impor kelompok ini tercatat sebesar US$ 147,38 miliar, naik dari tahun sebelumnya yang sebesar US$ 103,21 miliar. Adapun impor barang modal tercatat US$ 28,62 miliar dan impor barang konsumsi sebesar US$ 20,18 miliar.
“Kami berharap (surplus) ini bisa terus dipertahankan dan ditingkatkan, sehingga rencana pemerintah terhadap pemulihan ekonomi bisa tercapai dengan cepat sesuai dengan harapan kita semua,” tutur Margo.
Deputi Menteri Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan moncernya surplus neraca perdagangan pada tahun lalu memberikan manfaat berupa penerimaan devisa yang lebih besar daripada pengeluaran. Dengan kata lain, tutur Iskandar, pendapatan masyarakat bisa meningkat.
Menurut dia, momentum capaian kinerja perdagangan ini baik untuk percepatan pemulihan ekonomi. Salah satunya melalui peningkatan investasi. “Sehingga bisa tercipta dunia usaha baru atau ekspansi usaha. Misalnya petani sawit dapat memperluas area tanaman sawitnya atau melakukan replanting (penanaman kembali) dengan bibit yang lebih produktif,” tutur Iskandar.Pekerja mengangkut tandan buah segar kelapa sawit di Kabupaten Siak, Riau. ANTARA/FB Anggoro
Adapun surplus neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2021 menyusut hingga US$ 1,02 miliar. Angka itu lebih rendah daripada surplus US$ 5,74 miliar pada Oktober 2021 dan US$ 3,52 miliar pada November 2021. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno, menilai hal itu terjadi akibat krisis kontainer yang masih berlangsung. “Namun ini memang surplus tertinggi sejak 2007. Tentu hal ini dapat mendukung ketahanan rupiah,” ujar Benny.
Koordinator Wakil Ketua Umum III Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kadin Indonesia, Shinta Widjaja Kamdani, menilai penurunan kinerja ekspor pada Desember cukup normal dan sudah terprediksi. Harga komoditas di pasar global secara keseluruhan turun pada Desember jika dibanding pada bulan sebelumnya. Penurunan terbesar terjadi pada komoditas batu bara, dengan penyusutan sekitar 30 persen dari harga pada November, sehingga kontribusi ekspornya ikut menurun.
Impor juga mengalami normalisasi karena pengendalian pandemi yang baik pada akhir tahun. Jadi, ada peningkatan produktivitas industri nasional untuk produksi manufaktur. Besaran kontraksi ekspor pada Desember pun tidak terlalu signifikan, hanya sekitar 2 persen. Penurunannya dinilai tak sebesar penurunan harga komoditas sebulan terakhir. “Kami cukup yakin volume ekspor pada Desember 2021 justru lebih tinggi dibanding pada November 2021,” ujar Shinta.
Aktivitas bongkar muat ekspor-impor di Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 16 November 2021. TEMPO/Tony Hartawan
Ekonom dari Bank Permata, Josua Pardede, membenarkan bahwa tingginya surplus neraca dagang pada 2021 ditopang oleh tren kenaikan harga komoditas global (commodity boom). Hal ini, kata dia, dipicu oleh disrupsi rantai pasokan global dan pemulihan ekonomi global.
Meskipun impor sepanjang 2021 juga meningkat, Josua menyebutkan hal itu sejalan dengan pemulihan ekonomi domestik. “Namun tingkat impor belum dapat mengimbangi tingginya ekspor, sehingga surplus perdagangan tercatat begitu tinggi,” ujar Josua.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Subandi, menilai kenaikan impor pada Desember 2021 disebabkan oleh berakhirnya kuota impor beberapa komoditas dilarang atau dibatasi. Dengan demikian, importir berupaya menghabiskan kuota yang dimiliki agar tidak mendapat nilai jelek dari Kementerian Perdagangan karena tak bisa merealisasi izin impor yang sudah diberikan. “Selain itu, importir sudah melakukan transaksi sebelumnya untuk stok pada awal 2022,” ujar Subandi.
LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo