Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun 2009 bisa jadi akan menjadi tahun penuh kekacauan. Anno horribilis. Dampak gejolak subprime mortgage (kredit macet hipotek perumahan) di Amerika Serikat belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Padahal, ketika kekacauan mulai membesar pada Agustus 2008, efek dari krisis ini sudah sangat luar biasa. Harga saham berjatuhan, bursa-bursa dunia ambles. Perusahaan keuangan global sekelas Lehman Brothers satu per satu tumbang.
Majalah Business Week memperkirakan kekayaan orang Amerika saja yang "hilang" mencapai US$ 10 triliun. Jumlah itu setara dengan Rp 105.000 triliun atau seratus kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia. Ini belum menghitung hilangnya kekayaan di belahan dunia lain, termasuk benua kaya seperti Eropa. Di Indonesia, kekayaan para pelaku bursa menyusut hampir separuhnya dari Rp 1.998 triliun menjadi Rp 1.072 triliun (Rp 926 triliun atau US$ 84 miliar).
Krisis kini bahkan mulai menghantam sektor riil. Raksasa-raksasa otomotif Amerika sudah mengibarkan bendera putih. Begitu juga banyak perusahaan di Amerika dan Eropa. Itu terjadi karena permintaan di Amerika dan Eropa ikut menyusut. Resesi pun menyebar secepat dampak krisis finansialnya. Berbagai upaya untuk mengerem laju dampak buruk krisis ini juga belum menunjukkan hasil.
Gelontoran dana ratusan miliar dolar oleh berbagai negara tampaknya belum memberikan efek yang signifikan. Amerika, sebagai sumber krisis, sebetulnya sudah memprogramkan pengucuran dana talangan US$ 700 miliar. Tapi para ekonom pesimistis krisis di negeri itu segera berakhir. "Paling cepat pemulihan baru terasa pada 2010," kata Stephen Roach, Kepala Ekonom Morgan Stanley Asia, di Jakarta belum lama ini.
Dibanding krisis moneter 1998, yang hanya mendera negara-negara Asia, termasuk Indonesia, krisis keuangan kali ini jauh lebih besar dan lebih parah. Krisis ini telah membuat perekonomian global bukan lagi sekadar melesu, tapi sudah meleleh (meltdown) menuju jurang resesi, sesuram resesi besar (great recession) pada 1930. Ketika itu, resesi hanya melanda Eropa dan Amerika. Negeri-negeri Asia dan Afrika memang masih menjadi kawasan jajahan.
Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini akan menyusut menjadi 0,9 persen dari prediksi semula tiga persen. Pertumbuhan ekonomi negara berkembang akan mengkerut menjadi 4,5 persen dari prediksi semula enam persen. Yang mengkhawatirkan, kata ekonom Bank Dunia, Hans Timmer, resesi global ini bisa berlangsung lama. "Mungkin akan menjadi resesi terpanjang sejak Perang Dunia Kedua," ujarnya seperti dilansir AFP.
Tak ada satu pun negara yang kebal dari krisis. Indonesia pun begitu. Tahun lalu, dampak krisis finansial dan resesi memang belum terasa. Perekonomian masih bisa tumbuh 6,2 persen. Tapi tahun ini dampaknya akan membuat perekonomian nasional tersendat. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya 4,4 persen. Menurut majalah The Economist malah hanya 3,7 persen. Tapi pemerintah masih optimistis ekonomi bisa tumbuh 5-5,5 persen (lihat tabel).
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, risiko perlambatan ekonomi tak bisa dihindari. Dampaknya diprediksi akan cukup dalam pada semester pertama tahun ini. Penyebabnya, faktor pendorong pertumbuhan, seperti ekspor dan investasi, terpukul. "Perlambatan ekonomi otomatis membuat permintaan ekspor produk kita merosot," ujarnya. Investasi juga sulit diharapkan karena likuiditas global masih ketat. Satu-satunya yang bisa diandalkan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi rumah tangga.
Sektor riil akan menjadi sektor yang paling terpukul akibat perlambatan ekonomi global dan nasional. "The most severe impact memang ke sektor riil," kata Sri. Lesunya permintaan global akan membuat industri berbasis ekspor, seperti kerajinan, permebelan, dan tekstil, babak-belur. Kapasitas produksi akan menurun dan kebutuhan tenaga kerja pun berkurang. Buntutnya, gelombang pemutusan hubungan kerja pun sulit dihindari.
Pada triwulan keempat 2008 saja, sudah ada 20-an ribu tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan akibat melorotnya perekonomian. Kamar Dagang dan Industri Indonesia memperingatkan akan ada ancaman pemangkasan tenaga terhadap 250 ribu orang di awal tahun ini. Bahkan sumber Tempo yang dekat dengan pemerintah mengatakan, pada Januari-Februari, jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja bisa mencapai 1,6 juta orang.
Pemutusan hubungan kerja akan memukul negara ini. Tanpa itu saja, angka pengangguran pada Agustus 2008 sudah tinggi, yakni mencapai 9,39 juta orang atau 8,39 persen dari total angkatan kerja, tertinggi kedua setelah Filipina. Angka pengangguran akan melonjak tajam bila pemerintah tak membuat kebijakan yang tepat untuk mengantisipasinya. Banyaknya penganggur bisa memicu kerawanan stabilitas keuangan dan stabilitas keamanan.
Sektor moneter tak kalah berisiko pada tahun ini. Cadangan devisa sudah tergerus dari US$ 60,56 miliar pada Agustus 2008 menjadi US$ 51,6 miliar hingga awal tahun ini. Posisi cadangan devisa sekarang memang masih tergolong aman. Tapi jumlahnya bakal tergerus karena masih ada ancaman gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar di tengah seretnya likuiditas global. Sepanjang 2008, rupiah telah terdepresiasi sekitar 16 persen dari semula 9.395 per dolar menjadi 11.100 per dolar.
Menurut ekonom Bank BRI, Djoko Retnadi, investor asing akan terus menjual aset dan portofolionya di Indonesia. Mereka lalu menempatkan dananya ke dalam dolar. Rontoknya nilai aset di dunia dan turunnya daya tarik investasi pada komoditas minyak, energi, dan perkebunan membuat para pemilik duit lebih senang menyimpan dalam dolar Amerika. "Semua kembali ke khitah. Lebih senang pegang dolar. Dolar bisa terus menguat atas mata uang dunia," ujarnya.
Terus melemahnya rupiah bisa memicu tingginya inflasi (imported inflation). Target inflasi tahun ini sebesar 6,5 persen pun bisa meleset. Padahal inflasi tahun lalu sangat tinggi, 11,06 persen. Tapi Bank Indonesia pekan lalu membuat kejutan dengan menurunkan suku bunga BI Rate sebesar 50 basis point menjadi 8,75 persen. "Keputusan ini diambil setelah melihat kondisi keseluruhan ekonomi moneter dan prospek perekonomian 2009. Pertimbangan risiko tahun 2009 mengharapkan otoritas moneter lebih memberikan perhatian," ujar Gubernur Bank Indonesia Boediono.
Sebelumnya, pada November lalu, ekonom The Economist, Justin Wood, mengatakan penurunan suku bunga mungkin bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi jangka pendek, tapi stabilitas jangka panjang akan terganggu. Sebaliknya, suku bunga yang dipertahankan tinggi dapat menstabilkan nilai tukar rupiah dan makroekonomi, termasuk pertumbuhan di dalamnya. "Saya memprediksi BI akan mempertahankan BI Rate 9-an persen hingga kuartal pertama 2009." Ramalan Wood ternyata meleset. Bank Indonesia justru membuat langkah kejutan.
Kebijakan Bank Indonesia ini mungkin kado awal tahun yang diperkirakan bisa menggairahkan perekonomian yang melesu belakangan ini. Semula, masih tingginya BI Rate membuat perbankan nasional tak leluasa menurunkan bunga kredit. Tingkat bunga yang masih tinggi, dalam kisaran 13-18 persen, sudah pasti memukul sektor riil, terutama yang sangat bergantung pada kredit, antara lain perumahan, elektronik, dan otomotif.
Industri dan sektor usaha lain juga akan menunda ekspansi karena terbatasnya likuiditas dan tingginya suku bunga. Biaya menjadi mahal. Buntutnya, pertumbuhan sektor riil melemah dan mempengaruhi pertumbuhan perekonomian nasional. Tapi, dengan turunnya suku bunga, setidaknya berbagai ancaman itu bisa dikurangi.
Ketatnya likuiditas juga membuat sektor perbankan tak bisa dibilang aman. "Potensi ancaman masih akan datang dari ketatnya likuiditas di pasar uang pada tahun ini," kata pengamat perbankan, Mirza Adityaswara. Menurut Boediono, kondisi likuiditas sebenarnya sudah lebih baik dibanding pertengahan tahun lalu. Beberapa bank bahkan kelebihan duit. Tapi memang masih ada bank yang pontang-panting memenuhi kebutuhan likuiditasnya. "Masih ada sekat-sekat di pasar," ujarnya. Yang jelas, kata Boediono, Bank Indonesia terus memantau persoalan likuiditas agar kasus tumbangnya Bank Century tak terulang.
Potensi ancaman terhadap perbankan juga bisa datang dari memburuknya risiko kredit akibat lesunya perekonomian global. Kemampuan debitor membayar utang bisa menurun dan berpotensi menaikkan rasio kredit seret (non-performing loan). "Kami sudah memperingatkan potensi naiknya kredit macet, terutama pada industri berbasis ekspor," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Siti Ch. Fadjrijah menambahkan. Wakil Direktur Bank Internasional Indonesia Sukatmo Padmosukarso mengatakan, seiring dengan ketatnya likuiditas dan pelemahan perekonomian, kini saatnya perbankan nasional mengkaji ulang target-target, terutama penyaluran kredit.
Di tengah berbagai ancaman tadi, beberapa sektor masih berpotensi bertahan, bahkan tumbuh. Salah satunya sektor usaha kecil dan menengah. Menurut Ketua Komisi Tetap Usaha Kecil dan Menengah Kamar Dagang dan Industri Sandiaga Uno, sektor usaha kecil dan menengah relatif tak terpengaruh ketatnya likuiditas perbankan dan tingginya bunga. "Usaha kecil sudah biasa dengan bunga tujuh persen seminggu," ujarnya. Usaha ini juga relatif tak terpengaruh krisis karena penjualan umumnya di pasar domestik.
Sektor energi, terutama batu bara dan gas, tetap berpotensi bangkit, kendati tahun lalu harga cenderung menurun. Permintaan batu bara pada tahun ini masih cukup bagus kendati ekspansi industri global menurun. "Turunnya harga akan diikuti oleh turunnya biaya. Saya masih optimistis investasi di sektor ini," kata Sandiaga, yang juga salah satu pemegang saham PT Adaro Indonesia Tbk., produsen batu bara. Chairman Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Jeffrey Mulyono sependapat. "Seburuk-buruknya sektor ini, permintaan batu bara masih oke," ujarnya.
Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Muhammad Lutfi, selain sektor energi, dua sektor lain, yakni pangan dan infrastruktur, bisa menjadi andalan investasi tahun depan. Ketiga sektor industri ini masih prospektif karena punya pangsa pasar yang besar. "Ketiganya akan jadi pilar-pilar penting," katanya.
Sektor infrastruktur, seperti jalan tol, pembangkit listrik, irigasi, pelabuhan, atau bandar udara, diprediksi bisa bergairah kendati perekonomian melesu. Ini terkait dengan rencana pemerintah menggenjot pencairan anggaran senilai Rp 140 triliun lebih yang belum terpakai tahun lalu. Pencairan anggaran ke sektor infrastruktur ini telah masuk ke dalam tujuh agenda ekonomi prioritas 2009 yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhir tahun lalu. Pemerintah lebih optimistis lagi, kecuali sektor kehutanan, semua sektor masih akan tumbuh positif tahun ini (lihat tabel).
Untuk mencapai pertumbuhan pada 2009, menurut Sri Mulyani, pemerintah akan berfokus pada upaya penyelamatan sektor riil dan penciptaan lapangan pekerjaan agar tidak terjadi peningkatan angka pengangguran. "Misalnya memberikan stimulus perpajakan dan kepabeanan," ujarnya. Pemerintah juga akan memberikan fasilitas trade financing, seperti rediskonto wesel ekspor, agar ekspor kembali bergairah.
Adapun program stimulus fiskal akan dilakukan untuk menggenjot belanja infrastruktur, khususnya di sektor pekerjaan umum, perhubungan, dan pertanian. Dana paket stimulus fiskal ini mencapai Rp 55 triliun. "Ini di luar dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menambahkan. Stimulus fiskal juga akan diberikan melalui stimulus pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.
Sejauh ini, pemerintah sudah berada di jalur yang benar dalam mengantisipasi dampak krisis dan resesi global. Kini tinggal pemerintah mengimplementasikan agenda-agenda penyelamatan yang sudah disusun. Apalagi Bank Indonesia sudah merespons permintaan dunia usaha dan pemerintah untuk menurunkan suku bunga. Turunnya suku bunga ini setidaknya akan membuat konsumen bisa mendapatkan dana murah, sehingga tingkat konsumsi mereka bisa meningkat. Dengan begitu, diharapkan Indonesia lebih cepat keluar dari krisis atau bahkan lolos dari jurang krisis sama sekali.
Prediksi 2009 (%)
Inflasi | PDB | |
Pemerintah | 6,5 | 5-5,5 |
Bank Danamon | 7,5 | 4,3 |
Bank Dunia | 7 | 4,4 |
Indef | 6,5 | 4,9 |
Bright Indonesia | 9 | 4,4 |
Bank Indonesia | 6-7 | 4,9 |
Prediksi Pertumbuhan Versi Pemerintah
Subsektor | (%) |
Perkebunan | 2,5 |
Kehutanan | -2,5 |
Pertambangan migas | 2,5 |
Industri nonmigas | 2,0 |
Listrik, gas, dan air minum | 6,5 |
Bangunan | 5,0 |
Perdagangan | 6,5 |
Telekomunikasi | 10,0 |
Keuangan | 5,0 |
Tujuh Agenda Ekonomi Prioritas 2009
- Membatasi pengangguran baru akibat resesi dunia.
- Mengelola inflasi pada batas tertentu.
- Menjaga sekuat tenaga gerak sektor riil dengan sejumlah kebijakan, termasuk insentif fiskal.
- Mempertahankan daya beli masyarakat.
- Melindungi masyarakat miskin dengan penyaluran bantuan langsung tunai dan lain-lain.
- Memelihara kecukupan pangan dan energi.
- Menjaga momentum pertumbuhan di atas 4,5 persen.
Tim Edisi Proyeksi Ekonomi 2009
Penanggung Jawab
Pemimpin Proyek
Editor
Penulis
Penyumbang Bahan
Periset Data
Foto
Desain
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo